Diciduk Warga Desa

1090 Words
"Maaf." Daffa langsung merasa bersalah. Mungkin saja dia membuat seseorang terluka karena mengingat hal yang menyakitkan. "Tidak perlu minta maaf. Saya baik-baik saja." Daffa tidak bisa berkata-kata lagi. Ia kira hidupnya paling menyedihkan, tapi banyak hidup orang lain yang lebih menyedihkan tapi mereka terlihat baik-baik saja. "Sejak itu, saya tinggal bersama Paman dan Bibi. Kehidupan saya tidak berjalan dengan baik seperti anak-anak pada umumnya. Saya sering mendapat perlakuan yang tidak baik dari mereka. Bahkan ketika mereka marah, mereka cenderung melampiaskan kesaya." Apa Daffa memang mudah merasa kasihan? Lihat saja matanya sudah berkaca-kaca setelah mendengar cerita tersebut. "Ketika saya lulus SMA, saya mendapat beasiswa untuk berkuliah di kampus Green University. Saya sangat senang karena bisa terbebas dari keluarga Paman Dan Bibi. Tapi mereka seperti tidak mau melepas saya hidup dengan tenang. Setiap bulan saya harus mengirim uang kepada mereka, jika tidak maka mereka akan mengancam mencari saya dan mempermalukan saya di kampus." Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tampak baik-baik saja, tapi nyatanya tidak seperti itu. Daffa terkejut. Kampus Green University juga merupakan kampus dimana ia berkuliah. Tapi selama ini Daffa tidak pernah melihatnya. Jelas saja karena kampus memiliki banyak jurusan serta area yang luas. "Saya tidak masalah mengirim uang setiap bulan meskipun harus berkerja kesana ke sini setelah kuliah. Tapi Paman dan Bibi saya tidak pernah puas membuat hidup saya menderita. Sampai beberapa hari yang lalu saya baru tahu kalau saya dipaksa menikah dengan laki-laki tua untuk membayar hutang judi paman saya. Saya tidak mau, saya kabur dan bersembunyi disini." "Kenapa kamu tidak lapor polisi?" "Apa polisi akan percaya?" Benar juga, sulit mencari keadilan tanpa uang untuk melancarkannya. "Kemana kamu akan pergi?" "Saya belum tau. Tapi saya akan pergi ketempat yang tidak diketahui oleh Bibi dan Paman saya." "Bagaimana dengan perkuliahan?" Mendapat beasiswa tidaklah mudah. Pasti perempuan yang sedang berbicara dengan Daffa masuk dalam ketegori pintar. "Saya tidak akan melanjutkannya." Raut wajah kesedihan terpancar disana. Daffa juga tidak punya solusi apa-apa. Jika sampai kabur ke hutan begini, maka paman dan bibi dari perempuan itu benar-benar akan mencari dirinya kemanapun. Mereka sejak tadi berbicara dan saling mengungkapkan rahasia, tapi mereka tidak saling tahu nama masing-masing. "Kalau boleh tau, siapa nama kamu? Mungkin suatu hari nanti, kita akan bertemu kembali." "Eksas." Daffa tersenyum kecil. Dia juga mengatakan namanya agar mereka saling tahu. "Kita tidak akan bertemu lagi," ujar Eksas karena tidak ada kebetulan yang terjadi dua kali. "Siapa yang tau apa yang terjadi kedepannya? Bisa saja kita menjadi orang yang sering bertemu." Eksas tertawa kecil. "Tidak mungkin." "Kita lihat saja nanti." Eksas hanya mengangguk saja. "Saya harap kamu bisa lebih menghargai waktu dengan kedua orang tua. Meskipun bukan ibu kandung, tapi orang yang bisa menyanyangi seorang anak yang tidak lahir dari rahimnya sangat luar biasa. Dia lebih dari sekedar ibu kandung." "Tentu saja. Saya akan langsung minta maaf." Eksas tidak sadar menguap. Sebenarnya setelah berjalan cukup jauh, dia sangat kelelahan. Ditambah dia memang butuh istirahat sebelum menghadapi hari yang lebih panjang keesokan harinya. "Kalau Mbak mengantuk, silahkan tidur. Saya akan tetap terjaga." Daffa berusaha menjadi orang yang bisa diandalkan. Tapi siapa sangka, yang ditakutkan oleh Eksas bukan binatang buas atau hantu melainkan Daffa sendiri. Mereka hanya berdua dipondok tersebut apalagi jenis kelamin mereka berbeda. Oleh karena itu, Eksas memegang pisau untuk menjaga dirinya kalau Daffa sampai macam-macam kepada dirinya. "Saya tidak mengantuk." Meskipun mereka sudah banyak cerita, tetap saya kewaspadaan satu sama lain tidak bisa dihilangkan. Daffa memilih untuk diam. Dia duduk sambil menatap api. Keheningan membuat rasa mengantuk Eksas semakin menjadi-jadi. Sekuat apapun ia menahan, jika rasa kantuk itu sudah menyerang maka ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Eksas duduk sambil memejamkan mata. Tangannya memegang pisau dan bagi Daffa itu sedikit mengerikan. Bagaimana saat tidur, Eksas punya kebiasan buruk seperti bergerak secara acak. Bahaya sekali, mana pisaunya juga terlihat tajam. Tapi Daffa tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dia mempunyai pisau, dia juga akan memegangnnya sepanjang malam. Daffa masih tetap terjaga. Dia memperkirakan waktu sekarang walaupun antara yakin dan tidak yakin. Ia berhadap pagi segera datang. Daripada tidak melakukan apa-apa, Daffa memilih untuk membersihkan baju yang dipinjamkan Eksas kepada dirinya dengan air hujan yang mengalir. Tentu saja Daffa harus mengembalikan dengan keadaan bersih. Apalagi setelah pagi datang, mereka akan segera berpisah menuju ke tujuan masing-masing. Daffa mengeringkan baju Eksas di dekat api agar cepat mengering. Rasa kantuk Eksas serasa menular kepadanya. Daffa benar-benar tidak sadar jika sudah memejamkan mata. Padahal dia tidak berniat tidur sama sekali. Ternyata Daffa tidak berbeda dengan Eksas, dia juga mengantuk serta kelelahan. Dua orang yang sama-sama kelelahan dengan jalan hidup tidak kunjung bangun. Padahal matahari sudah terbit dan hujan sudah berhenti. Keheningan membuat mereka sama-sama nyaman didalam tidurnya. "Pintunya terkunci, apa yang mereka lakukan didalam?" "Sungguh memalukan, mereka berbuat maksiat ditanah milik orang lain." "Buka secepatnya!" Suara-suara kehebohan dari luar pondok membuat Daffa dan Eksas terbangun. Cahaya matahari memasuki cela-cela pondok. Tentu saja keduanya sangat lega karena mereka masih hidup sampai matahari sudah datang. Kelegaan itu tidak berlangsung lama, apalagi saat telinga mereka mendengar begitu banyak orang yang berbicara dari luar. Daffa dan Eksas saling pandang. Wajah penuh kebingungan tercetak jelas disana. Mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi? Pintu yang terkunci mulai dihancurkan oleh orang-orang diluar. Mereka bahkan mengatakan hal-hal yang sulit untuk dimengerti oleh Daffa. Bahaya daerah dan Daffa tidak mengerti sama sekali. Berbeda dengan Eksas dia mengerti bahasa itu. Keringat dingin mulai bermunculan. Sepertinya warga tengah salah paham pada mereka. Memang benar mereka berada di satu pondok yang sama, tapi mereka sedang kesusahan dan hanya menumpang semalam saja. Pintu akhirnya terbuka. Terlihatlah Daffa dan Eksas dengan keadaan panik. Mereka mengatakan hal buruk tentang keduanya. Eksas mencoba menjelaskan supaya kesalapahaman bisa terselesaikan. "Jika kalian tidak bermaksiat, kenapa dia tidak menggunakan baju?" Eksas menatap Daffa. Benar saja, dia tidak menggunakan pakaian yang layak sama sekali. Padahal sebelum Eksas tidur, pakaian Daffa sangat lengkap. Bahkan Eksas yang meminjamkan. Tapi kenapa sekarang tidak? "Sudahlah, tidak ada maling yang akan mau mengaku." Daffa masih bingung. Apalagi begitu banyak orang yang menatap mereka dengan tatapan merendahkan. Daffa dan Eksas langsung dibawa ke kantor desa secara paksa. Bahkan barang-barang Eksas tinggal dipondok. Mereka diarak seperti orang yang sudah melakukan sesuatu yang memalukan. Padahal mereka tidak melakukan apapun. Memang benar, dua orang berbeda jenis kelamin kemudian berada dipondok tengah hutan akan menimbulkan kecurigaan yang besar. Apalagi banyak hal yang bisa saja terjadi dizaman sekarang. Namun Daffa dan Eksas tidak melakukan seperti yang dituduhkan oleh warga. Daffa mendapat perlakukan yang tidak baik. Bahkan tubuhnya menjadi objek pelampiasaan kemarahan dari beberapa warga. Tapi seseorang langsung mengamaknkan Daffa agar tidak terjadi tindak kekerasan yang lebih bahaya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD