Ditampar

1127 Words
Keadaan benar-benar kacau. Daffa dan Eksas sudah berusaha untuk memberi penjelasan. Suara mereka bahkan sampai habis untuk menjelaskan, tapi tidak ada siapapun yang mau mendengar. Rasa takut Eksas lebih besar dari Daffa. Meskipun ada beberapa memar di fisik Daffa, tapi hal itu tidak berarti apa-apa asalnya Eksas tidak diperlakukan sama dengan dirinya. Daffa benar-benar menyesal. Jika saja dia tidak masuk ke dalam pondok maka hal ini tidak akan terjadi. Kebaikan Eksas membuat semuanya menjadi kacau. Apa yang harus Daffa lakukan sekarang? Dia dan Eksas berada di depan orang-orang yang menghina dan menatap mereka seperti penjahat. "Ibu-ibu dan Bapak-bapak tenang dulu. Kita tidak boleh main hakim sendiri." "Tidak bisa. Mereka harus dinikahkan supaya kampung ini terbebas dari bencana." Ada peraturan yang tidak tertulis di desa ini. Jika ada yang ketahuan melakukan tindakan tercela dan tertangkap, maka mereka harus dinikahkan atau membayar denda yang sudah ditetapkan. Hal ini berguna agar tidak ada lagi orang-orang yang melakukan tindakan asusila. Daffa dan Eksas tidak masalah dengan peraturan tersebut. Setiap desa memiliki adat istiadatnya sendiri. Tapi mereka juga tidak boleh main hakim sendiri. Hanya karena mereka berada di pondok, kemudian Daffa tidak menggunakan pakaian yang layak lantas mereka dituduh sudah melakukan tindak asusila. Semua setuju untuk menikahkan Daffa dan Eksas yang diduga sudah melakukan tindakan asusila. Tentu saja Eksas menolak, bagaimana mungkin mereka menikah? Apalagi Daffa dan Eksas tidak kenal. Sorakan demi sorakan dilontarkan kepada Eksas karena mereka menolak. Agar warga tidak bertindak lebih jauh dan kondisi tetap kondusif, maka ketua di desa itu langsung membawa Daffa dan Eksas untuk masuk ke dalam kantor desa. Ketua menyuruh warga untuk tetap tenang. Dia akan berbicara dengan Daffa dan Eksas lebih dulu. Jelas saja Eksas terlihat sangat takut sekali. Bahaya jika ada yang tiba-tiba jantungan, maka desa juga yang akan mendapat masalah. "Minum dulu," ujar sang ketua sambil memberikan gelas yang berisi air kepada Eksas dan Daffa secara bergantian. Ia mendapat dengan wajah penuh prihatin. Tapi ketua tidak bisa berbuat apa-apa jika warga sudah mendesak. "Apa ada orang tua atau wali yang bisa dihubungi?" tanya sang ketua. "Maaf, Pak. Kami tidak melakukan hal yang dituduhkan oleh warga." Daffa masih berusaha menjelaskan. "Maaf. Saya tidak bisa berbuat banyak karena kalian tertangkap basah." Kepala Daffa benar-benar pusing sekali. Kenapa hidupnya jadi sekacau ini. "Apa kamu masih punya orang tua?" Daffa mengangguk dengan lesu. Ketua desa memberikan ponsel kepada Daffa. "Silahkan hubungi agar masalah ini selesai." "Apa kami akan tetap menikah?" Daffa memastikan. "Jika tidak menikah, maka kalian harus membayar denda." Daffa seperti mendapat angin segar. Menikah diusia muda bukanlah pilihan yang baik. Apalagi Daffa belum bisa mengurusi diri sendiri. Masa dia sudah mengurus anak orang lain? Menikah dalam waktu dekat tidak ada dalam pikiran Daffa. Ia bahkan ingin menikah diatas usia tiga puluh tahun. Sedangkan sekarang umurnya masih 21 tahun. Memang Daffa sudah legal menikah secara hukum dan agama. Tapi tetap saja dia tidak ingin menikah. Daffa melirik Eksas sebentar. Tampak Eksas sedang tidak baik-baik saja. "Kenapa?" tanya Daffa. "Saya belum shalat subuh." Daffa terkejut. Dilihat dari penampilan Eksas, dia memang terlihat seperti orang yang mengerjakan kewajiban seorang muslim dengan baik. Sangat berbeda dengan Daffa. Namun sekarang sudah jam sembilan pagi. Sejak bangun tidur, Eksas tidak memungkinkan untuk mengerjakan shalat subuh. Dia langsung dibawa oleh warga kesini. Bahkan dia dilempar dengan berbagai macam hal. Eksas memang terlambat bangun karena kelelahan dan dia tidak memperkirakan waktu dengan baik. Meskipun terlambat bangun, dia bisa mengerjakan shalat ketika bangun. Tapi dia tidak bisa melakukan itu. "Emang sekarang bisa shalat?" tanya Daffa sedikit terkejut. Bukankah waktu shalat subuh berakhir ketika matahari terbit? "Lebih baik shalat daripada tidak sama sekali walau sudah terlambat." Ketua desa mendengar hal itu. Dia langsung memberikan mukenah dan juga menunjukkan kamar mandi. Daffa sungguh takjub, dia saja tidak begitu peduli. Tapi berbeda dengan Eksas, dia lebih takut tidak shalat dibanding yang lainnya. Saat Eksas shalat, Daffa menghubungi nomor Papanya. Dia ingat nomor Papa dan Mama karena akan dibutuhkan untuk keadaan seperti sekarang. Daffa tidak berani menelpon sang Mama, bisa-bisa Mamanya langsung jantungan jika tahu keadaan yang menimpanya sekarang. Papanya jauh lebih baik untuk memahami situasi. Panggilan terjawab. "Halo, Pa." Suara Daffa sangat dikenal oleh sang Papa. "Kamu dimana?" tanya Papa langsung. Bahkan nada bicaranya mengandung kepanikan dan rasa khawatir yang sangat besar. Wajar saja karena tiba-tiba Daffa menghilang dan tidak bisa dihubungi. Kedua orang tua Daffa juga baru tahu kalau Daffa pergi sendiri. Bima merasa sangat bersalah. Dia juga ikut mencari Daffa dengan datang ke villa miliknya. Tapi Daffa tidak kunjung menampakkan batang hidung di villa tersebut. "Kamu dimana, Daffa?!" Daffa terkejut mendengar nada suara sang Papa. "Papa tenang dulu. Aku baik-baik aja." Daffa memilih untuk menenangkan sang Papa supaya tidak terjadi hal buruk. "Apa kamu diculik?" Daffa tidak menjawab dengan jujur meskipun yang diculik adalah barang-barang miliknya bukan dirinya. Tapi kalau Daffa mengatakan sebenarnya, pasti kedua orang tuanya lebih panik lagi. "Tidak, Pa. Aku lagi-" Daffa menatap sang ketua desa dan bertanya nama daerah ini. Langsung saja sang ketua memberi informasi. "Apakah Papa bisa datang ke sini?" "Ya, Papa akan kesana. Apa kamu baik-baik saja?" "Iya, Pa. Aku baik-baik saja." Daffa tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahaya sekali jika Papanya tahu lebih awal, pasti dia akan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi jika mengemudi sendiri. "Syukurlah. Papa akan kesana, jadi kamu jangan kemana-mana." "Iya, Pa. Dimana Mama?" Papa tidak menjawab, ia malah mengatakan hal lain. "Setelah ini, kamu harus meminta maaf kepada Mama." Ekspresi wajah Daffa langsung sedih. Dia tahu Papanya tengah marah besar. Tapi dia harus mengesampingkan itu karena khawatir dengan keadaan Daffa. "Baik, Pa." Panggilan terputus. Daffa harus menyiapkan diri untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Pasti mereka sama-sama kaget. Tapi mau bagaimana lagi, Daffa tidak bisa keluar dari keadaan ini dengan tangannya sendiri. Warga juga tidak akan melepaskan Daffa begitu saja. "Apa yang terjadi?" ujar ketua desa karena mendengar suara heboh di luar. Padahal tadi dia sudah menenangkan warga sampai orang tua atau wali dari terduga datang. "Kamu tunggu disini." "Baik, Pak." Ketua desa langsung keluar. Dia menatap tiga orang yang datang dengan wajah penuh kemarahan. Ketua desa bertanya siapa mereka bertiga. Langsung saja mereka mengatakan bahwa mereka adalah wali dari Eksas. Datang lebih cepat dari dugaan. Bahkan tanpa disangka, Eksas adalah warga dari desa tetangga. "Dimana anak yang tidak tau malu itu?" "Ibu tenang dulu." Ketua Desa tidak ingin ada kehebohan lagi. "Bagaimana bisa tenang. Dia sudah membuat keluarga malu begini." "Saya mengerti. Tapi-" Seorang laki-laki yang berumur lima puluh tahun menerobos masuk begitu saja. Ketua desa tidak bisa menghentikanya. "Pa-paman," ujar Eksas terbata-bata. Dia sangat-sangat kaget. Sosok yang disebut oleh Eksas sebagai paman langsung mendekat. Plak! Satu tamparan mengenai pipi Eksas. Tamparan yang sangat kuat sekali sampai sudut bibir Eksas berdarah. Kejadian itu begitu cepat, Daffa syok luar biasa. Jika tahu begitu, dia akan segera menghalangi tamparan tersebut bagaimanapun caranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD