Daffa Ketakutan

1070 Words
Kapan pagi akan datang? Daffa ingin segera pergi dari sini. Hujan juga tidak reda sejak tadi. Bagaimana Daffa bisa pergi di tengah malam tanpa cahaya serta kondisi bumi yang dirintiki hujan deras. Semua yang terjadi benar-benar tidak bisa dicerna oleh otaknya. Daffa bahkan memperhatikan seisi pondok. Kali saja ada kamera yang sedang merekam untuk membuat sebuah reality show. Daffa menggantungkan kain agar cepat kering. Dia tidak mungkin terus-terusan memakai kaos yang kekecilan ini. Daffa memegang perutnya. Dia benar-benar lapar. Segala keterkejutan yang terjadi sungguh membuat ia kehilangan banyak energi. Apalagi Daffa hanya sempat makan roti sebelum pesawat berangkat. Kalau tahu begini, Daffa akan makan sepuasnya sehingga ia tidak akan kelaparan seperti sekarang. Semakin lama, Daffa semakin tidak tahan. Dia mencari batu untuk mengganjal perutnya yang sedang lapar. Dia harap perutnya bisa bertahan sampai pagi. Daffa duduk sambil bersandar di dinding. Dia ingin tidur, tapi tidak bisa. Rasa takut, was-was serta rasa lapar bersatu didalam dirinya. Lapar saja sudah membuat mata tidak akan bisa memejamkan mata, apalagi ditambah rasa takut dan rasa was-was. Daffa tidak akan bisa tidur sekalipun dipaksa sama sekali. "Hei!" panggil Mbak hantu. "Maaf, Mbak. Saya tidak melakukan apapun. Jangan bunuh saya." Otak Daffa sudah eror. Jadi mulutnya berkata begitu saja sesuai dengan isi hati. "Setelah menyebut saya hantu, sekarang kamu kira saya pembunuh?" "Maaf, Mbak." Daffa memohon maaf dengan sisa-sisa tenaga yang ada. "Saya bukan pembunuh. Jadi kamu tidak perlu takut." Perempuan itu menjelaskan setelah melihat tubuh Daffa gemetaran dengan hebat. Apalagi Daffa menangis ketakutan. Dia seperti laki-laki lemah yang tidak berdaya. Siapapun akan kasihan melihatnya. "Kalau bukan pembunuh, kenapa mbak memegang pisau?" Daffa menunjuk asal-asalan karena dia tidak berani menatap mbak hantu sama sekali. "Pisau ini?" Mbak hantu mengarahkan pisau ke Daffa. Daffa memberanikan diri untuk mengintip, ia terkejut dan langsung mundur karena takut pisau itu akan memutilasi tubuhnya. "Tolong mbak, jangan bunuh saya. Saya tidak punya apa-apa." Keringat dingin bermunculan. "Saya bukan pembunuh! Apa kamu tidak paham juga?" Tampaknya Mbak hantu marah, terdengar dari nada bicaranya. Daffa tidak ingin menambah kemarahan sehingga langsung berkata, "iya mbak, iya. Mbak bukan pembunuh, jadi jangan arahkan pisaunya ke saya." "Oh ini... Oke, saya simpan dulu. Tapi kamu jangan macam-macam." Daffa ingin menangis lagi, tapi rasanya ia tidak punya tenaga untuk itu. "Saya tidak akan berani macam-macam, Mbak," jelasnya. Bagaimana mungkin Daffa berani macam-macam, dia saja tidak punya tenaga dan takut. Pisau disingkirkan dari pandangan Daffa. Hal ini membuat Daffa bisa sedikit bernafas lega. "Apa kamu lapar?" "Tidak, Mbak. Saya-" Belum selesai menjawab, perut Daffa sudah lebih dulu berbunyi. Tidak ada satupun yang berjalan sesuai dengan keinginan. Lihat saja, perutnya pun tidak bisa diajak bekerja sama. "Tidak lapar," lanjut Daffa menahan malu. "Kalau tidak lapar, apa yang baru saja saya dengar?" "Suara cicak." Daffa menjawab dengan cepat. "Saya benar-benar tidak lapar." Daffa kembali menjelaskan. Dia tidak akan makan apapun karena banyak ketakutan yang muncul didalam dirinya. Perempuan itu seperti tidak mendengarkan Daffa. Dia tampak membuka tas besar dan Daffa diam-diam melihat. Dia ingin tahu apa ada mayat di dalam tas itu atau tidak. Ternyata dugaan Daffa salah. Tidak ada mayat di dalamnya. Hanya ada beberapa pakaian dan juga roti. Pantas saja perempuan itu marah, Daffa juga salah karena asal menuduh saja. Perempuan itu melempar dua bungkus roti ke arah Daffa. Tidak hanya roti, tapi juga minuman. "Saya tidak ingin ada yang mati disini," jelas perempuan itu. Daffa sedikit ragu. Tapi perutnya juga sangat rapat. Roti terbungkus dengan baik, sehingga rasa curiga Daffa berkurang. Sulit untuk memasukkan racun di dalamnya jika bungkusnya tidak dibuka. "Terima kasih, Mbak."Daffa mengatakan dengan nada pelan. Dia sangat malu sekali. Sudah menuduh seseorang yang ingin membantunya. Tenang saja, Daffa sudah berjanji kepada diri sendiri. Jika dia keluar dengan selamat, maka dia akan membalas kebaikan Mbak hantu tersebut. Daffa menghabiskan dua bungkus roti dengan cepat. Perutnya sedikit lebih baik daripada sebelumnya. "Kenapa kamu bisa sampai disini?" tanya perempuan itu. Tidak berbeda dengan Daffa yang penasaran kenapa perempuan itu ada di pondok ini sendiri, maka perempuan itu juga penasaran kenapa Daffa ada disini. "Saya juga tidak tau, Mbak." Perempuan itu mengerutkan kening. "Bagaimana mungkin?" Rasa curiga Daffa sedikit berkurang. Berhubung mbak hantu sudah baik kepadanya dan sampai sekarang Daffa masih hidup, maka dia akan bercerita kenapa bisa sampai disini. Daffa mulai mengatakan kronologi dari turun dari pesawat, kemudian naik mobil online yang sudah ia pesan. "Ternyata kamu bodoh." Daffa tidak menyalahkan perkataan perempuan itu. Daffa benar-benar bodoh, apalagi dia bukan anak kecil. Kenapa tingkat kewaspadaannya tidak tinggi dan asal percaya kepada orang saja. "Iya, Mbak. Saya memang bodoh." Daffa mengakui hal tersebut. "Baguslah kalau kamu sadar." "Kalau Mbak sendiri kenapa ada disini?" Daffa balik bertanya. "Saya sedang melarikan diri." Pupil mata Daffa membulat. "A-apa mbak seorang buronan?" Dia bertanya dengan suara pelan. Sayangnya perempuan itu dapat mendengarnya. "Iya." Daffa yang tadi sudah tidak takut, kini mulai takut lagi. Perempuan itu tersenyum kecil. Mungkin melihat Daffa ketakutan menjadi hiburan tersendiri. "Saya bukan buronan polisi tapi buronan keluarga." Daffa lega. Tapi tunggu, kenapa buronan keluarga? Apa Mbak hantu juga sama seperti dirinya yang tengah kabur dari keluarga? "Oh begitu..." Daffa mengangguk paham. "Saya juga sedang kabur, tapi saya malah mengalami penculikan," jelasnya. Entah kenapa Daffa mau-mau saja untuk bercerita. "Kenapa kamu kabur?" "Hidup saya seperti film." Daff tertawa kecil. Perempuan itu tidak berkomentar dan siap menjadi pendengar yang baik. "Ibu yang selama ini ada bersama saya bukan ibu kandung. Setelah dua puluh satu tahun, saya baru mengetahui fakta ini setelah seorang perempuan datang. Saya kecewa berat dan malu sendiri." "Apa ibu kamu jahat?" "Tidak, ibu saya sangat baik. Dia membesarkan saya dengan segala macam perhatian sehingga saya tidak curiga sama sekali jika ada yang mengatakan bahwa saya tidak mirip dengan Ibu dan Ayah saya." "Jadi apa masalah?" "Memang tidak masalah. Tapi saya malu untuk bertemu dengan ibu. Sejak dulu saya bertindak nakal dan selalu membuat ibu kesusahan. Ibu bisa saja menyerahkan saya kepada perempuan itu karena sudah muak mengurus saya. Tapi Ibu tidak melakukan itu." "Tindakan kabur ini malah membuat Ibu kamu kesusahan. Ternyata kamu benar-benar bodoh." Apa yang dikatakan perempuan itu tidak salah. Buktinya saat berada di ujung kesengsaraan, dia merindukan keluarganya terutama ibunya. Bahkan Daffa menangis memanggil ibunya. "Iya, Mbak. Saya sangat bodoh. Makanya setelah keluar dari sini, saya akan langsung pulang dan meminta maaf kepada keluarga saya terutama ibu saya." "Baguslah." "Kalau mbak kenapa kabur?" "Kisah saya lebih dari dari sebuah film bergenre tragis biasa. Kedua orang tua saja sudah meninggal ketika saya berumur enam tahun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD