"Itu ... itu ...." Kirana menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, terbayang dengan jelas di dalam benaknya betapa luar biasa rasa sakit yang dirasakan akibat dari benda yang baru keluar dari dalam celana Arsyl itu.
Benda itu tidak runcing tapi mampu menusuk bagaikan tombak.
Benda itu tidak tajam, tapi mampu membuat ia merasa terluka.
Kirana berusaha bangun, lalu
menggeser tubuhnm menjauhi Arsyl.
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, air mata mulai membasahi pipinya.
"Kirana ... Kirana ...." Arsyl juga menggeser tubuh, untuk berusaha mendekati Kirana.
"Kirana ...."
"Jauhkan benda itu! Buang! Buang ... aku tidak mau melihatnya!" pekik Kirana dengan wajah di palingkan, dan jari menunjuk ke arah junior Arsyl yang masih tegak.
"Eeh ini ... ini juniorku, Kirana, mana bisa dibuang!" sahut Arsyl.
Di dalam hati Arsyil, ada rasa kasihan, ada juga rasa lucu melihat reaksi, dan ekspresi Kirana saat melihat juniornya.
"Kalau nggak bisa dibuang ya dibungkus! Aku tidak mau melihat, itu! Itu ... itu bikin sakit tahu! Itu ... huuuhuuu ...." Kirana menangis panik dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya.
Arsyl mengambil celananya, lalu memakainya dengan cepat.
Arsyl meraih selimut lalu melingkarkan di bahu Kirana untuk menutupi tubuh telanjang Kirana.
Ia kemudian duduk di sisi Kirana, diraih kepala Kirana ke dalam dekapannya.
"Apa ... apa, itu pernah membuatmu merasakan sakit Kirana?" tanyanya lembut.
Rasa penasaran di dalam hatiArsyl semakin membuncah. Ia yakin, Kirana pasti pernah punya pengalaman buruk dengan hal itu.
Kirana tidak menjawab, hanya isakanya yang terdengar.
"Kamu bisa bercerita apapun padaku Kirana," bujuk Arsyl.
Kirana menarik kepalanya dari d**a Arsyl, dirapatkan selimut yang membungkus tubuhnya.
"Apa kamu tidak akan mencemooh aku, mengejekku, dan memandang hina padaku, setelah mendengar ceritaku?" tanya Kirana dengan mata tajam menatap Arsyl.
"Aku berjanji tidak akan seperti itu," janji Arsyl.
Kirana memeluk lututnya, dagunya diletakan di atas lengannya yang memeluk lutut.
Ia terdiam beberapa saat, seakan ia harus bertarung dengan dirinya sendiri, untuk mengungkapkan kisah di masa kecilnya.
"Delapan tahun lalu, saat usiaku masih sepuluh tahun hari itu ... hari itu ...." Kirana berhenti sesaat untuk menarik nafas. Arsyl mengusap lembut bahu Kirana.
"Hari itu, Ayahku pergi ke luar kota untuk mengirimkan barang, karena Ayah supir mobil angkutan antar kota." Kirana berhenti lagi sesaat, dihirupnya udara sebanyaknya seakan ingin menyingkirkan sesuatu yang menyesakan dadanya.
Arsyl mengamati wajah Kirana dengan seksama, ia melihat dengan jelas kepedihan yang luar biasa terpancar dari mata, dan wajah Kirana.
"Setiap Ayah pergi, aku ... aku dititipkan pada Bibiku. Bik Suti namanya, beliau adik Ayahku Ha ... hari ... itu, ju-ga ... be-gi-tu," Kirana berhenti lagi, keningnya berkerut dalam seakan ia tengah menahan sakit luar biasa yang tengah ia rasakan.
Arsyl tak tega melihatnya, diraihnya tubuh Kirana untuk didekapnya.
"Kirana tak perlu kamu ceritakan kalau itu membuatmu merasa sakit." Tangan Arsyl mengusap kepala Kirana lembut.
"Aku ... aku, sudah terlalu lama ... memendam ini sendirian, aku ... aku, merasa lelah, aku. ..huuhuu ...." Kirana menangis lagi.
Arsyl mengusap bahu Kirana lembut.
Dikecupnya puncak kepala Kirana, Arsyl tiba-tiba merasa hatinya yang sudah lama mati kini mulai terasa bergetar lagi.
"Itu ... itu, yang seperti punyamu, dia ... dia, huuu huuu saaakiittt. Dia, menusuk belakangku dengan punyanya, yang seperti punyamu. Sakit ... aku ... aku sampai tidak bisa buang air beberapa hari, itu sakit sekali ...." Kirana berhenti sesaat, ia mengernyitkan keningnya lagi.
"Aku ... aku, dia ... dia mengancamku, aku ... aku tidak bisa bercerita pada Ayah, atau ... atau siapapun, Dia ... dia, menelanjangiku. Dia ...
dia, memegang dadaku. Dia ... dia, meremas milikku. Dia ... dia, tidak cuma sekali melakukannya, dia ... mengulanginya di lain hari. Dia ... dia, hari itu dia ... dia, ingin menusukan punyanya yang ... yang, seperti punyamu, di bagian de-pan tubuhku ... ta-pi ... ta-pi, Mas ... Mas Damar, a-nak te-tang-ga da-tang. Mas Damar dia ... dia pahlawanku ...." Tubuh Kirana terkulai lemas, ia jatuh pingsan dalam pelukan Arsyl, setelah bercerita yang lebih tepatnya seperti menceracau.
Meski tidak begitu jelas apa yang diceritakan Kirana, tapi Arsyl bisa menangkap kalau Kirana sudah mengalami pelecehan dimasa kecil, yang membuatnya mengalami trauma.
'Siapa yang tega melakukan itu kepadanya? Kirana hanya menyebutnya 'dia''
Arsyl membaringkan tubuh Kirana, dihapus dengan tysu wajah Kirana yang berbekas air mata.
"Aku berjanji akan mengobati lukamu Kirana, aku berjanji akan menyembuhkan rasa sakit yang sekian lama kau pendam," bisik Arsyl sebelum dikecupnya lembut bibir Kirana.
Rasa benci yang ada di dalam hati Arsyl, saat pertama bertemu Kirana, sudah sirna. Bahkan, rasa benci pada Karina tak ia rasakan lagi, saat mereka sudah bertatap muka. Tak ada rasa apapun lagi di hatinya pada Karina. Cinta itu menguap, benci itu sirna, rasa sakit itu tak lagi terasa. Arsyl tidak mengerti kenapa. Sedang selama ini, ia menyimpan segenap rasa itu selama sepuluh tahun.
--
Kirana membuka mata, entah kenapa ia merasa tubuhnya sangat lelah.
Ia ingin menggeliatkan tubuhnya, tapi tubuhnya seperti terkunci.
Kirana baru menyadari kalau ia tidur dalam pelukan Arsyl. Didongakan wajahnya untuk menatap wajah Arsyl. Matanya terpaku pada sepasang bibir Arsyl.
Entah apa yang mendorong bibir Kirana, sehingga mendekati bibir Arsyl.
Mata Kirana terpejam saat bibirnya sudah berada di atas bibir Arsyl.
Dikecupnya kecil bibir itu, digigit-gigitnya dengan perasaan gemas. Bibir Arsyl terbuka, Kirana membuka matanya.
Dengan sedikit ragu Kirana memasukan lidahnya ke mulut Arsyl, diisapnya lidah Arsyl lembut.
Ia merasakan air liur mereka yang menjadi satu, Kirana semakin meningkatkan ritme lumatannya di bibir Arsyl, juga belitan lidahnya di lidah Arsyl.
Arsyl masih diam saja.
Satu tangan Kirana menelusup ke bawah tengkuk Arsyl, yang satu lagi mengusap punggung Arsyl.
Akhirnya Arsyl tak tahan juga diam saja, ditekan tengkuk Kirana dibalas lumatan bibir Kirana. Tubuh Kirana menegang sesaat, tapi kemudian menjadi rileks.
Arsyl berguling untuk memposisikan tubuh Kirana agar berada di bawah tubuhnya.
Kirana menggeleng.
"Aku mohon jangan sekarang ... aku, aku be-lum ... belum bi-sa ...." gumam Kirana, saat merasakan sesuatu di balik celana Arsyl yang mengeras menekan pahanya.
"Aku tidak akan memaksamu Kirana, kita akan lakukan pelan-pelan, dan setahap demi setahap sampai rasa takutmu menghilang," jawab Arsyl lembut.
"Tapi itu akan butuh waktu lama, aku yakin Abang tidak akan bisa menahan hasrat Abang ... eeh, tapi ... ehmm, aku lupa, Abang kan punya banyak wanita yang selalu siap sedia saat Abang butuhkan, Abang pas ...."
"Berhenti menceracau tidak jelas Kirana."
"Aku tidak menceracau, itu semua benarkan, Abang tak perlu takut punya Abang tak terpuaskan, banyak wanita antri menunggu gi ...."
"Kirana!!" sergah Arsyl yang mulai tidak sabar mendengar cericitan Kirana.
****