Kirana langsung terdiam.
"Hubungan kita baru saja mulai membaik, kenapa ingin kau rusak lagi?"
"Maaf, aku hanya, aku ... hhhh, lupakanlah." Karina menggigit bibirnya, bayangan Arsyl yang menggenggam jari Karina tiba-tiba saja berkelebat di matanya.
"Aku ingin mandi, sebentar lagi subuh
" Kirana berusaha menolakan d**a Arsyl.
"Subuh masih lama, Kirana, kita teruskan dulu ini ya," bujuk Arsyl.
Kirana ingin menggeleng, tapi bibir Arsyl sudah menyergap bibirnya, tangan Arsyl meremasi dadanya.
Bibir, lidah, dan tangan Arsyl sangat lihai dalam hal mencumbu kulit wanita, dan Kirana tak bisa lepas dari pesona Arsyl. Kecupan Arsyl yang terus merayap turun di tubuh Kirana sudah sampai di pangkal paha Kirana.
"Tutup matamu Kirana, jangan buka apapun yang kau rasakan, percaya saja kepadaku kalau aku tidak akan menyakitimu," pinta Arsyl, dan Kirana menuruti apa yang diperintahkan Arsyl.
Meski apa yang dirasakan begitu memaksa untuk membuka matanya, tapi Kirana tetap berusaha bertahan, untuk tidak membuka matany. Hanya saja, ia tak bisa menahan ceracau liar yang ke luar dari mulutnya. Ceracau liar yang tak pernah terbayangkan, bisa keluar dari mulutnya.
Erangan beraroma m***m yang menggelitik gendang telinganya sendiri. Memalukan memang, tapi ia tak dapat menahannya, bibir, lidah, dan jari Arsyl sudah membuatnya melambung, dan terhempas berulang kali, Dan membuat ia merasa pipis, setiap pinggulnya terangkat, dan terhempas.
Tiba-tiba Kirana merasa Arsyl merapatkan pahanya, dan ada sesuatu yang menggesek disela pahanya yang dirapatkan, sesuatu yang keras, yang pasti ia tak berani membuka mata, karena sesungguhnya ia tahu itu benda apa..
Awalnya benda itu hanya menggesek di antara jepitan paha, tapi kemudian naik menggesek di antara bibir pangkal paha yang dibuka Arsyl dengan jarinya.
Karina ingin protes, ingin membuka matanya, tapi Arsyl menyambar bibirnya. Gesekan di pangkal pahanya semakin kuat seiring lumatan bibir Arsyl yang juga semakin ganas. Kirana mengerang panjang saat bibir Arsyl mengisap kuat bawah telinganya
Tangannya mendekap kuat punggung Arsyl, sehingga d**a mereka menjadi rapat. Pinggulnya naik turun, mengimbangi gesekan di pangkal pahanya.
"Abang ...." desis Kirana, saat ia tak bisa lagi menahan apa yang bergejolak di dalam tubuhnya, dan ingin segera disemburkan keluar.
"Kirana ...." Arsyl mengecup puncak hidung Kirana yang berkeringat, disaat tangannya meraih juniornya yang kemudian memuntahkan isinya di atas perut Kirana.
Kirana terkapar tak bisa bergerak lagi, ia tidak mengerti kenapa hal seperti ini membuatnya sangat lelah.
Arsyl membersihkan perut, dan milik Kirana dengan handuk kecil yang dibasahi dengan air hangat.
Dibetulkannya posisi tubuh Kirana, dan diselimutinya sampai ke d**a.
--
Pesawat yang membawa Kirana kembali ke kota kelahirannya sudah mendarat. Ia hanya perlu naik taksi sekitar lima belas menit untuk tiba di kampung halamannya.
Hatinya terus berdebar semenjak ia berangkat tadi, ada rasa takut, dan cemas yang berkumpul jadi satu.
Tapi rasa penasaran, rasa ingin tahu, akan keberadaan ibunya, juga soal wanita bernama Karina yang sangat mirip dengannya. Itu mengalahkan rasa takutnya dengan kemungkinan bertemu dengan pria b***t yang hampir merampas miliknya paling berharga.
Kirana sudah berdiri di depan pintu rumah yang memberikan kenangan buruk padanya. Peristiwa buruk, yang akhirnya membuat Ayahnya tak mau lagi menganggap Bik Suti sebagai adiknya, dan membuat Ayahnya membawa Kirana pergi ke Jakarta, saat ada tawaran kerja sebagai sekuriti dari seorang sahabatnya yang tinggal di Jakarta.
Selain semakin usang tak ada yang berubah dari rumah ini. Tangan Kirana sudah terangkat, untuk mengetuk pintu, ketika sebuah suara mengagetkannya.
"Cari siapa, Dek?"
Kirana memutar badannya.
Wajah di depannya tampak terkejut melihatnya.
"Kartika!" gumam wanita setengah tua di depannya.
"Owhh, maaf ... maaf, kamu pasti bukan Kartika, tapi siapa kamu? Kenapa wajahmu begitu mirip dengan Kartika?" tanya wanita tua itu beruntun.
Kirana tersenyum.
"Bibik Maryam kan, Bibik tidak mengenaliku lagi ya? Aku Kirana Bik, putri Pak Sukirman, Bibik ingatkan? apa kabar Bibik sekeluarga?" tanya Kirana dengan mata berbinar.
Bik Maryam menatap Kirana dari atas ke bawah balik lagi ke atas.
"Kirana, kamu mirip sekali dengan ibumu, Nak," gumam Bik Maryam.
"Bik, Bik Suti ke mana ya?" tanya Kirana yang tak mendengar gumaman Bik Maryam.
"Suti, dan suaminya baru dua bulan lalu pindah dari sini, entah kemana."
"Kenapa pindah Bik?"
"Mereka terlibat hutang pada lintah darat, dan rumah ini sebagai jaminannya."
Kirana terduduk lemas di kursi teras.
"Kirana ada apa?" tanya Bik Maryam cemas.
"Aku datang ke sini untuk mencari tahu tentang ibuku, Bik," jawab Kirana.
"Sebaiknya kita ke rumah Bibik saja ya, biar enak ngobrolnya di sana," ajak Bik Maryam.
Kirana mengangguk, dan mengikuti langkah Bik Maryam menuju rumah Bik Maryam, yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Bik Suti.
Tiba di rumah Bik Maryam, Bik Maryam mempersilakan Kirana untuk duduk di kursi ruang tamu.
Bik Maryam masuk ke dalam, dan ke luar dengan membawa es sirop, dan kacang goreng juga keripik singkong di dalam toples.
"Minum dulu nak."
"Terima kasih Bik."
"Apa kabarmu Ayahmu Kirana? Kalian tinggal di mana sekarang? Kamu masih sekolah atau sudah menikah?" tanya Bik Maryam beruntun. Kirana merapikan letak syal di lehernya, yang difungsikan untuk menutupi karya bibir Arsyl di kulit lehernya.
"Ayah sudah 6 tahun lalu meninggal Bik."
"Innalillahi wainnailaihi ro'jiun, Ayahmu sakit Kirana?"
Kirana menggeleng.
"Ayah kena tembak perampok, saat ingin menggagalkan aksi perampokan Bik"
"Lantas, kamu tinggal dengan siapa sekarang? Apa dengan Kartika ibumu?"
"Aku tinggal dengan Ayah angkatku Bik, beliau orang yang ditolong Ayah dari perampok, enghh ... Bibik tahu tentang ibuku Bik? Bisa Bibik ceritakan, karena tujuanku datang ke sini karena ingin mencari Ibuku," pinta Kirana.
Bik Maryam diam sesaat untuk menghela nafas.
"Kirana, Bibik kira memamg sudah waktunya kamu tahu tentang Ibumu, Ibumu namanya Kartika, Ayahmu membawanya ke sini saat ia mengandung 5 bulan, Ayahmu bilang dia, dan Ibumu sudah menikah 7 bulan. Ayahmu pulang ke sini karena perusahaan tempat Ayahmu bekerja bangkrut, dan ia mendapat tawaran sebagai supir angkutan barang antar kota di sini." Bik Maryam berhenti sesaat.
"Tapi Ibumu tampaknya bukan wanita yang terbiasa hidup sederhana, dia terbiasa hidup mewah sebagai wanita panggilan kelas atas, Kirana. Karena itulah, saat usiamu belum genap setahun, Ibumu kabur dengan seorang pria lain."
Bik Maryam kembali menarik nafas sesaat.
"Ayahmu terpaksa membawamu bekerja, Kirana, saat itu tak ada yang bisa membantunya mengasuhmu. Saat Ayahmu memegang setir, maka Mang Dulah kernetnya yang menggendongmu, begitupun sebaliknya. Sampai masa di mana kau harus bersekolah, barulah Ayahmu menitipkanmu pada Bibikmu Suti. Apa kau ingat masa sekolahmu Kirana?"
Kirana mengangguk.
"Apa Bibik tahu, atau mungkin Ayah pernah menyebut tentang saudaraku?"
"Saudara? Kau tidak punya saudara Kirana, seperti yang Bibik bilang Ayahmu datang kesini saat baru 7 bulan menikah dengan ibumu, dan saat itu Ibumu baru mengandung kamu 5 bulan, jadi kamu tidak punya saudara setahu Bibik"
"Apa ... apa Bibik tahu di mana Ibuku sekarang Bik?"
"Ibumu ... Ibumu, ya Allah ... Bibik lupa, kau punya saudara satu Ibu, lain Ayah, Kirana. Namanya ... namanya ...." Bik Maryam mengingat-ingat.
"Apa namanya Karina Bik?" tanya Kirana, membuat Bik Maryam menatapnya.
***BERSAMBUNG***