two

1036 Words
Menjadi single parent adalah hal yang tidak mudah. Apalagi ketika anaknya sudah berusia 17 tahun. Banyak yang aku takuti, takut jika ia bisa mengulang kesalahanku. Memang setiap orang itu berbeda, termasuk Al. Al termasuk pribadi yang sangat tertutup, mungkin karena ia juga lelah mendengar berita yang tidak mengenakan tentang statusnya yang selalu saja mendapat omongan jelek. Aku tidak mampu menutupi status itu tetapi aku juga tidak ingin anakku terluka. Disaat anak seumurnya bisa merasakan cinta monyet, aku bahkan melarang keras ia untuk merasakan itu. Aku tidak ingin ia terjerumus oleh kesalahanku, aku bahkan lebih senang ketika mendengar mama yang pulang dari sekolahnya bercerita jika Al hanya diam dan tidak ingin berbaur dengan teman wanitanya jika di kelas. Al yang tidak peduli dengan teman wanitanya yang menangis karena selalu ditidak pedulikan olehnya. Tetapi, semakin kesini perasaanku jadi takut. Takut jika Al menyukai sesama jenis. Hemm, itu lebih menakutkan kan? Aku selalu dilanda oleh perasaan tidak menentu seperti ini. Apalagi temannya tidak pernah satupun ia pernah bawa ke rumah. Satupun, iya satupun. Bahkan jika ada kerja kelompok ia akan datang ke rumah temannya dibanding ke rumah. Entah kenapa. Ketika aku sedang melamun, ponselku berbunyi. Pesan baru baru saja masuk. From : 082278321176 Benar ini Ibu Zemora? Saya Reeve, saya ingin meminta bantuan anda untuk mengajarkan keponakan saya untuk menghadapi UN SMA. Saya mendapat nomor Ibu dari salah seorang teman saya. Maaf jika mengirim pesan saya takut mengganggu. Aku mengerutkan keningku. Kegalauan merambah ke dalam otakku, sekarang bukan kegalauan apakah Al menyukai sesama jenis tetapi kegalauan menerima atau tidak. Aku sudah lama tidak mengajar private lagi semenjak Al masuk kelas SMA 3, aku memang masih mengajar tetapi di rumah itupun hanya 3 anak dan mereka yang datang ke rumah. Fokusku hanya pada nilainya saja dan mengajarinya meskipun aku sangat jarang sekali mengajari Al karena semua mata pelajaran sudah ia kuasai tetapi tetap saja aku butuh waktu untuk fokus untuk Al. Ketika sedang berpikir, Al lewat di hadapanku membawa gelasnya yang bergambar Ironman itu. Dengan sigap aku mencegahnya. "Al!" ia hanya melihat kearahku dengan cuek. "Sini bentar." Al lalu duduk di sampingku dengan datar. Uh! Kenapa sih wajahnya datar banget, mana ada perempuan suka kalau gini? "Kamu UN kapan?" Ia menaikan bahunya malas, "Nggak tau." "Kok nggak tau? Emang belum belajar pendalaman materi?" "Udah." "Terus? Emang nggak tegang? Masa nggak tau kapan UN." "Oma yang tau, kan kemarin udah pertemuan orang tua. Tanya oma aja." Aku mengerutkan keningku, "Selama ini yang pergi ke sekolah oma emangnya?" "Ya nggak. Cuma kayanya sih April deh. Kayanya ya. Kenapa sih emangnya?" Aku berdecak kesal, "Emang kamu nggak mau daftar universitas?" "Ya mau. Tapi UN-nya kan belum." "Emang kamu yakin masuk negri? Nggak mau cari backup swasta?" "Nggak." "Kenapa?" tanyaku lagi. Biasa mama kepo. "Ma, mama nggak yakin sama kemampuan aku?" Oke, bukan nggak yakin tapi gimana ya? "Mama bukan nggak yakin. Biar mama bisa spare uang untuk kamu Al." "Lah, emang uang sekolah aku dari kelas 1 sampe sekarang kemana?" "Ya ada, tapi kamu taukan uang kuliah lebih mahal?" Ini anak siapa sih? Sombong banget perasaan dah? Memang aku akui, selama ini aku bisa menghemat karena Al mendapat beasiswa penuh, bahkan nilainya tidak pernah dapat di bawah 98 untuk semua mata pelajaran. Gila kan? Ini otak terbuat dari apa ya? "Yauda, jadi maksud mama ngomong dari tadi apa?" "Mama Cuma kepo aja." Al mendengus lalu berjalan meninggalkanku di ruang tengah. Dasar anak sombong! To : 082278321176 Maaf Pak. Saya tidak bisa. Mungkin bapak bisa mencari guru lain. Bukannya aku sombong menolak rejeki, tapi aku memang ingin fokus pada kelulusan Al yang sebentar lagi. Al lalu berjalan menuju kamarnya dan menutupnya. Lalu aku berjalan menuju kamarnya dan masuk tanpa aba-aba. Aku yakin ia pasti mengomel. Aturan mengetuk pintu sudah dibuatnya semenjak SMP 3, entah apa yang membuatnya membuat peraturan itu. Memangnya dia boss sampai harus diketuk dulu pintunya ketika mamanya sendiri ingin masuk. "Ma, bisa nggak sih itu jari ngetuk dulu sebelum masuk?" Aku lalu duduk di tempat tidurnya dan melihat kearah meja belajar yang berposisi pas di samping tempat tidurnya. "Kamu belajar apa?" tanyaku tidak menghiraukan omelannya karena aku tidak mengetuk pintu.  "Belajar UN." "Loh katanya nggak tau kapan?" "Emangnya belajar perlu tau dulu kapan UN-nya?" Aku berdecak lalu mengambil buku dari meja, aku melihat buku catatan milik Al. Tulisan tangannya tidak serapi dibayanganku. Bahkan ini jelek banget. Aku sampai tidak bisa membaca apa yang ia tulis. Lagipula hanya ada beberapa bagan yang ia buat. Tidak ada catatan seperti buku catatan umumnya. "Ini kalau ulangan gurunya bisa baca?" "Ulangan tulisannya nggak gitu." Lalu ia membuka laci dan menyerahkan folder padaku. Isinya hasil-hasil ulangannya. Tulisannya rapi bahkan semua seperti tulisan yang di ketik. Seperti biasa, nilainya tidak jauh dari 98 99 100 begitu saja terus berulang. "Kamu nggak bosen dapet nilai segini?" Ia berhenti menatap bukunya lalu melihat kearahku, "Mama mau nilai aku jelek?" Aku diam, ya bukan aku mau ia dapet jelek. Maksudnya biar ia bisa merasa berada dibawah, aku takut ia merasa selalu diatas dan tidak mampu bertahan ketika berada dibawah. Sedangkan aku menginginkannya menjadi anak yang kuat dan tangguh. Aku terlalu banyak takut pada anak ini. "Kamu pernah suka sama cewek nggak?" Ia menggeleng, sudah fokus kembali ke bukunya. "Kenapa? Nggak ada yang cantik?" "Mama lagi introgasi aku?" "Hmm.. a.. mmm nggak." Jawabku gelagapan, "Mama Cuma mau tau aja." "Aku belum mampu menghadapi perempuan k3 dihidup aku. Cukup mama dan oma aja udah bikin aku pusing." Aku tercekat mendengar jawabannya, "Maksud kamu?" "Iya, jaga mama sama oma aja aku pusing dan belum becus. Masa udah jaga anak orang?" ucapnya datar. Mau tidak mau mataku berair mendengar jawabannya. Lalu aku bangkit dan memeluk Al dengan erat. Al terbatuk sepertinya tidak siap dipeluk erat olehku. "Ma, susah napas. Uhuk. Uhuk" "Tapi kamu nggak gay kan?" Al lalu berdiri dan membuat daguku menghantam keras bahunya. Karena tingginya melebihi tinggiku. Aku meringis kesakitan. "Mama ya! Masa mikir aku gitu sih?" Aku mengusap daguku yang menjadi korban kekerasannya, "Ya nggak salah kan mama khawatir sama anak mama?" "Ya tapi nggak gitu juga! Udahlah mama keluar aja, jangan ganggu aku." Lalu Al mendorong pelan tubuhku kearah pintu dan menutupnya setelah aku berada di luar. Bunyi kunci terputar lalu terdengar. Ah, susah sekali memiliki anak yang pubertas ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD