three

996 Words
From : Pak Reeve Siang bu. Bisakah ibu berpikir ulang tentang memberikan pelajaran tambahan untuk keponakan saya? Mungkin kita bisa bertemu hari ini?  Aku mendengus kasar. Kenapa orang ini maksa agar aku bisa memberikan pelajaran tambahan? Apa sudah sedikit orang yang memerlukan uang dan bekerja sebagai guru tambahan? To : Pak Reeve Hari ini? Saya tidak janji akan merubah jawaban saya meskipun kita bertemu, Pak. Mama datang dan duduk di sampingku. Ia melihat beberapa bunga yang sedang kurangkai untuk menjadi bouquet. Lalu ia mengambil dan membantu membuang daun dan memotong tangkai yang terlalu panjang. "Kamu tau Al mau lanjutin kuliah dimana?" tanya mama padaku. Aku menggeleng lalu mengambil bunga yang sudah di bersihkan dan menjadikannya satu dengan yang lain. "Al mau kuliah di Harvard." Aku langsung menaruh bunga itu dan melihat kearah mama tak percaya. Harvard? "Al juga taruh pilihan kedua itu MIT bahkan ia taruh Cambridge juga." Ucap mama lagi. Aku menaruh bunga-bunga yang sudah aku rangkai, semua bunga sudah jatuh dan berantakan lagi. "Kenapa Al mau jauh-jauh?" ucapku lesu. "Gimana menurut kamu?" tanya mama lagi. Aku menggeleng, "Aku nggak tau ma. Satu sisi aku seneng Al punya keinginan kuliah di tempat yang bagus meskipun aku nggak tau uang aku cukup atau nggak kuliahin dia disana. Kedua aku heran kenapa anak itu pilih universitas jauh? Bahkan perbedaan waktu denganku aja jauh. Apa segitunya dia nggak mau deket sama aku?" ucapku pada mama. Mama mendekat kearahku dan mengelus punggungku, "Mama nggak tau alasannya karena setelah pertemuan guru, mama langsung dipanggil dan guru BK langsung berbicara sama mama. Para guru bertanya tentang dimana orangtua Al, kenapa selalu mama yang datang ke sekolah." "Terus mama bilang apa?" "Mama bilang Al Cuma punya ibu, jadi ibunya bekerja." Air mataku mengenang dipelupuk mata, bahkan pengeliatanku sudah tidak baik karena terhalang oleh air mata. "Aku harus gimana ma?" "Kamu coba omongin baik-baik sama Al ya?" Aku mengangguk, mengusap mataku dengan kasar dan kembali bekerja dengan sedikit isakan. Untungnya bocah itu belum pulang sekolah. Entah apa yang ada dipikirannya, bisa-bisanya ia merencanakan semuanya sendiri. Apa Al nggak anggep aku jadi mamanya? Meskipun dia mengejar beasiswa bukannya ia tetap butuh uang untuk makan? Uang untuk tinggal? Pantas saja bocah itu aku minta mendaftar di universitas swasta nggak mau. Ternyata memang selalu ada uang di balik batu. Ponselku bergetar. From : Pak Reeve Boleh. Saya tunggu di Starbucks jam dua siang. Aku menghela napas. Bagaimana aku bisa berbicara dengan Al ya? Jika ia selalu tidak pernah terbuka denganku. Bahkan ketika ia merencanakan masa depannya, ia tidak membicarakannya padaku. Sifatnya yang itu keturunan siapa? ބ Aku sampai di Starbucks tepat pukul dua. Mencari sosok om-om yang menurutku sedang mengkhawatirkan keponakannya yang sedang menghadapi Ujian Nasional. Hmm, tapi agak sedikit mengagumkan ketika om yang lebih perhatian ketimbang orangtuanya. Aku melihat sekeliling, tidak banyak orang. Lalu aku mengirimkan pesan pada Pak Reeve mengatakan aku sudah sampai dan menggenakan kemeja biru dan rok flare. From : Pak Reeve Saya ada di belakang ibu. Pakai jas biru tua. Aku langsung memutarkan badanku, betapa kagetnya yang terlihat adalah laki-laki masih muda. Meskipun usianya sepertinya lebih tua dariku. Aku menghampirinya dan memberikan senyuman. "Ibu Zemora?" ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Saya tidak menyangka anda masih muda." Gue juga nggak nyangka lo masih muda. Ucapku dalam hati. "Pak Reeve?" ia mengangguk. "Mau pesan apa? Biar saya pesankan." Aku menggeleng, "Saya nggak minum kopi." Ucapku tersenyum. "Hot Chocolate, mungkin?" Lagi-lagi aku menggeleng, "Nggak usah. Langsung aja." Aku memperhatikannya, sebenarnya entah apa yang dipikirkan. Bahasa tubuhnya sedikit mengatakan laki-laki ini sombong tetapi sedang menurunkan harga dirinya agar aku mau berubah pikiran. "Jadi saya benar-benar minta tolong, agar Ibu mau mengajarkan keponakan saya, Gritany." Aku menghela napas, "Apa tidak terlalu terlambat jika belajar dari sekarang? Sedangkan UN sudah di depan mata?" Aku melihat Reeve menyipitkan mata tidak setuju dengan ucapanku seakan aku mengatakan jika ponakannya itu bodoh. "Maksudnya, mengejar materi untuk Ujian Nasional tidak sedikit. Sepertinya Gritany membutuhkan waktu intensive." Aku melihat Reeve mengangguk, "Maka dari itu saya meminta Ibu untuk mengajarkan Gritany." "Jangan panggil Ibu, cukup Zemora atau Mora." Ucapku. "Baik, gimana? Kamu bersedia? Jangan khawatir tentang pembayaran, saya tidak mempermasalahkan itu." Aku mengangguk, "Untuk satu sesi belajar dengan saya itu 250 ribu. Karena Bapak ingin saya private saya menambahkan biaya ongkos lagi. Apa bapak tidak keberatan?" ucapku. Reeve mengangguk mantap, "Saya setuju." Aku mengangguk, "Biarkan satu bulan percobaan ya? Tetapi menurut saya Gritany tetap harus mendapat bimbingan dari tempat lain dan tidak hanya mengandalkan saya saja." "Baik. Mungkin bisa mulai besok?" Aku mengangguk, setelah berbincang basa-basi aku pamit. Aku harus menjemput Al di sekolah. Ketika aku sedang ingin bangkit dan pergi, Pak Reeve menyodorkan satu amplop coklat. "Saya bayar di muka. Tanda jika saya benar-benar serius." Aku melihatnya tidak percaya. Ada dua kemungkinan jika aku menemukan wali seperti ini. Pertama, Anak itu susah diatur sehingga ia menyerahkan seluruh nilai anak itu padaku. Kedua, anak yang akan aku ajarkan sangat bodoh. Sehingga ia memberikanku semangat diawal. Aku tersenyum dan mengambilnya lalu berlalu. Ganteng-ganteng licik! Aku mengirimkan pesan untuk Al mengatakn aku menjemputnya dan sudah berada di depan sekolahnya. Aku menunggunya sambil bersenandung, senyumku merekah ketika melihat Al sedang berpamitan dengan beberapa temannya yang ada di gerbang sekolah dan jalan menghampiri mobilku. Aku membuka kunci lalu Al masuk ke dalam mobil. Aku mencium pipinya dan bibirnya tentu saja. "Ma!" Aku hanya tersenyum dan menjalankan mobil meninggalkan sekolahnya. Selama di perjalanan ia hanya mengikuti senandung lagu pelan. Mungkin hanya Al sendiri yang bisa mendengar suaranya karena ia bersenandung sangat pelan. "Besok mama ada tambahan ngajar lagi. Pulang sekolah, mungkin nggak bisa jemput kamu takutnya. Tapi mama usahain jemput kamu dulu baru pergi." Al mengangguk, "Aku bisa pulang sendiri. Biar mama nggak bolak-balik." "Hmm, Al.." ucapku ragu. "Iya? Kenapa?" Aku menggeleng, aku mengurungkan bertanya soal universitas yang ia pilih itu. Belum saatnya, mungkin beberapa hari ke depan aku akan bertanya padanya. Tidak hari ini. Moodnya sedang bagus, aku tidak ingin merusak moodnya yang bagus. Aku harus lebih sabar dan bijak menghadapinya. Lalu aku melihatnya dan mengusap kepalanya lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD