CH 6. Hari Sial

1617 Words
Pagi-pagi sekali atau lebih tepatnya masih subuh, Ruby sudah berangkat ke kampusnya dengan berjalan kaki, bahkan sebelum Zero bangun dari tidur lelapnya. Meski dia harus berjalan kaki tiga kali lebih jauh dari biasanya, tetapi itu lebih baik daripada harus satu mobil dengan suaminya yang menyebalkan. “Sialan kau, Zero Rerugen!” Ruby berteriak kencang di jalanan yang masih sepi. Pria itu benar-benar mempermainkan, bahkan merendahkannya sebagai seorang gadis. Mengapa dia harus menikah dengan pria itu? Persetan dengan perusahaan ayahnya yang akan diambil alih oleh orang lain! Dia ingin bercerai dan kembali ke rumahnya yang sebenarnya. “Ini semua gara-gara Kak Gwen!” Seandainya kakaknya tidak kabur, mana mungkin Ruby akan terjebak dalam situasi yang disebut pernikahan? Hidupnya memang sangat tidak beruntung. Kekasihnya diam-diam berkencan dengan gadis lain, lalu dia dipaksa menikah dengan pria yang lebih tua darinya untuk menggantikan sang kakak. Karena terus berbicara seorang diri untuk melampiaskan rasa kesalnya, tanpa sadar Ruby sudah tiba di gerbang kampus yang masih tertutup. Tidak mungkin dia menunggu hingga penjaga gerbang membuka gerbangnya, jadi dia akan menggunakan jalan pintas yang tak lain adalah memanjat gerbang tersebut. “Apa kau hendak memanjatnya?” Baru saja Ruby hendak melemparkan tasnya terlebih dahulu sebelum mulai memanjat, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakang yang sontak membuatnya menoleh. “Apa yang membuatku datang pagi-pagi ke sini? Kau menguntitku, ya?!” Ruby menyimpan dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Kedua matanya menyipit, menatap Joan dengan tatapan penuh selidik. Kemarin, Joan sudah melakukan hal gila kepadanya, tentu saja Ruby patut mencurigainya. Pria itu secara terang-terangan menciumnya di depan para mahasiswa, bahkan berteriak akan merebutnya dari pria lain. Setelah dipikir kembali, dia dikelilingi oleh dua orang pria yang sama gilanya. Joan tersenyum miring, lalu merogoh sakunya dan menunjukkan kunci gerbang ke hadapan Ruby. “Ada barang penting yang tertinggal, tapi aku baru menyadarinya pagi ini. Jadi, aku meminta kunci gerbang cadangan kepada ayahku untuk mencari barang tersebut. Aku tidak menyangka jika akan bertemu denganmu sepagi ini, sepertinya kita memang ditakdirkan bersama.” Seketika Ruby mengerlingkan matanya ke arah lain. Ditakdirkan bersama? Jika Ruby mengatakan bahwa dirinya sudah menikah, Joan pasti akan sangat terkejut. Apalagi dia menikah secara mendadak dan belum lama putus dengan Joan. “Cepat buka gerbangnya, aku ingin segera pergi ke kelas. Berdiri terlalu lama membuat kakiku pegal.” Sebenarnya bukan itu alasan Ruby ingin cepat-cepat pergi ke kelas. Dia hanya tidak ingin terlalu lama berdekatan dengan Joan yang sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. “Dimengerti, Tuan Putri.” “Jangan memanggilku seperti itu lagi!” Joan selalu memanggilnya seperti itu saat mereka masih berkencan. Namun, karena mereka sudah putus, tentu saja panggilan itu harus menghilang. Segera setelah gerbang dibuka, Ruby langsung melenggang pergi menuju kelasnya pagi ini. Dia duduk di kursi, lalu menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan yang ditaruh meja. Suasana kelas yang sunyi tanpa sadar membuatnya ingin memejamkan mata. Entah berapa lama Ruby terpejam, tetapi sebuah tepukkan pelan di bahunya sontak langsung membuat Ruby mengangkat kepalanya hingga kemudian dia mendapati Sheila yang sudah berdiri di depannya. Karena Ruby selalu datang sepuluh menit sebelum jam kuliah masuk, Ruby baru tahu jikalau teman baiknya tersebut selalu datang pagi-pagi sekali. Sheila duduk di kursi yang ada di sebelah Ruby seraya melepaskan tas punggungnya untuk kemudian disimpan di bawah meja. “Aneh sekali karena melihatmu sudah datang lebih dulu daripada aku.” Ruby merenggangkan kedua tangannya ke atas sembari mengerutkan wajahnya dengan mata terpejam. Meski dia hanya memejamkan matanya sebentar dan tidak benar-benar tidur, tetapi rasa lelahnya sudah lumayan berkurang. Ruby lantas menghela napas, menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit ruangan. “Aku sedang marah kepada seseorang, jadi aku memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal agar bisa menghindarinya.” “Seseorang siapa? Joan?” “Bukan! Selain itu, mengapa semua pria sangat suka melakukan hal m***m?” “Pasti Joan, bukan?” Seketika Ruby mendengus. Sheila sudah dua kali menyebut nama Joan, padahal yang dia maksud adalah Zero. Namun, tentu saja dia tidak mungkin mengatakannya. Ruby langsung duduk dengan posisi tegak dan langsung menatap Sheila dengan pandangan kesal. “Mengapa kau terus mengira bahwa pria itu adalah Joan?” Sheila menopang dagunya dengan satu tangan, sedangkan matanya menatap lurus ke arah Ruby. “Kemarin kalian berciuman di koridor kampus. Bukankah wajar jika aku berpikir kalau pria yang kau maksud adalah Joan?” Karena kejadian kemarin, semua orang yang mendengar keluh kesah Ruby saat ini pasti akan mengira bahwa gadis itu sedang membicarakan Joan. Lagi pula, siapa lagi yang Ruby maksud jikalau bukan Joan? Kecuali jika Ruby sudah memiliki pria lain dan sekarang gadis itu sedang bertengkar dengan pria barunya. Mendengar hal itu, sontak membuat Ruby menggebrak meja dengan kedua tangannya. Dia tidak ingin mengungkit kejadian kemarin, terlebih karena hubungannya dengan Joan sudah berakhir. Tampaknya dia harus membuat pengumuman bahwa dirinya dan Joan sudah tidak memiliki hubungan apa pun! Oh, dia sangat benci jika ada orang yang membicarakan pria itu lagi! Ruby beranjak dari tempat duduknya sembari mengumpat dengan berbagai macam kata kasar. Semua pria yang berhubungan dengannya memang tidak ada yang benar dan hanya membuatnya kesal saja. Apakah tidak ada pria yang lebih baik untuknya? Seorang pria tampan yang memiliki hati baik dan penuh perhatian, setidaknya Ruby menginginkannya satu orang. Harus dia akui, Joan dan Zero memang memiliki wajah yang tampan, tetapi sayangnya mereka sangat menyebalkan. Joan berkencan dengan gadis lain di belakangnya, sedangkan Zero selalu berpikiran kotor dan selalu mengejeknya kerap kali mereka bersama. Kedua pria itu sama sekali jauh dari apa yang diinginkannya. “Kau mau ke mana?” Mendengar Sheila bertanya, Ruby mendadak berhenti melangkah dan langsung berbalik ke arah temannya. “Aku hendak pergi ke kantin. Apa kau mau ikut?” Sheila langsung menggeleng yang seketika membuat Ruby menghela napas. Seharusnya dia sudah tahu kalau Sheila pasti akan langsung menolak ajakannya untuk pergi ke kantin, tetapi tetap saja dia merasa harus bertanya terlebih dahulu agar kesannya lebih sopan dan agar tidak disebut sebagai orang yang melupakan temannya. Pemikirannya benar, bukan? Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ruby lantas kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan. Begitu sampai di kantin, Ruby langsung membeli roti isi daging dan sebotol air mineral. Dia lantas mengedarkan pandangannya ke seluruh area kantin, mencari tempat duduk yang nyaman untuk bisa menikmati sarapannya. Namun, secara tak sengaja dia kemudian melihat Joan yang tiba-tiba saja melambaikan tangan ke arahnya. “Sial! Mengapa dia harus ada di kantin pada saat aku hendak menikmati sarapanku yang damai dan tanpa gangguan?” Ruby menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu berjalan pergi meninggalkan kantin. Berpura-pura tidak melihat Joan, bagaimana pun juga dia harus mengabaikan mantan kekasihnya itu. “Ruby!” Joan berteriak dari kejauhan sana dan langsung membuat Ruby mempercepat jalannya. Dalam hatinya Ruby berharap jika Joan akan berhenti mengejarnya dan membiarkannya pergi untuk memulai sarapannya. Saat ini Ruby benar-benar sedang tidak ingin diganggu, terlebih oleh seseorang seperti Joan. “Joan sialan! Mengapa dia selalu membuatku ingin sekali menghajarnya?” Setelah bergumam kesal seperti itu, Ruby bergegas masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi perempuan yang merupakan tempat paling aman untuknya saat ini. Dia berniat bersembunyi di sana hingga benar-benar menyelesaikan sarapannya. Sedikit jorok memang, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain karena saat ini dia sedang terdesak. “Dikejar mantan memang lebih menakutkan daripada dikejar hantu. Setidaknya hantu akan langsung pergi jika aku memanjatkan doa, namun hal itu tidak akan berlaku untuk seorang mantan yang merupakan manusia.” Ruby mengatur napasnya yang sedikit terengah-engah karena sempat berjalan terburu-buru untuk menghindari Joan. Dengan segera dia merobek plastik pembungkus roti, menjatuhkan dirinya di atas kloset duduk, lalu melahap roti isi daging tersebut hingga habis tak tersisa. “Ternyata makan di sini pun rasanya masih tetap nikmat. Ah, kenyangnya!” Ruby memegang perutnya yang terasa penuh. Meskipun hanya sarapan dengan roti, tetapi dia merasa sangat kenyang hingga membuatnya tidak sanggup untuk bergerak. Ruby lantas berpikir untuk berdiam diri sebentar, sebelum akhirnya dia pergi ke ruang kelas. Namun, begitu mendengar suara bel masuk berdering, bergegas dia berdiri, membuang sampah kepada tempatnya, lalu berlari kecil menuju kelasnya berada. Begitu melihat ruang kelasnya sudah ada di depan mata, Ruby langsung mengembangkan senyumnya dan memuji dirinya sendiri dalam hati. Baru saja dia membuka pintu, kedua matanya langsung mendapati seorang dosen yang sangat ditakuti oleh semua mahasiswa tengah berdiri di depan whiteboard. Ruby menggigit bibir bawahnya pelan, lalu membungkukkan sedikit badannya ke arah sang dosen untuk memberi hormat. “Siapa yang mengizinkanmu masuk?!” Tubuh Ruby langsung terlonjak, apalagi ketika dirinya yang hendak berjalan menghampiri kursi, tetapi tiba-tiba saja dosennya berbicara dengan nada yang tinggi. Ruby menghela napas sembari memejamkan matanya, lalu berbalik menghadap sang dosen. “Habis dari mana kamu? Mengapa terlambat masuk kelas?” Pertanyaan ini langsung membuat Ruby melirik ke arah jam dinding yang terpajang di atas papan tulis. Padahal hanya terlambat dua menit, tetapi dosennya langsung menginterogasinya seperti ini. Ruby menundukkan kepala, tidak berani menatap dosennya yang saat ini sedang melemparkan tatapan tajam. “Saya baru saja dari kamar mandi, Pak.” “Kalau begitu, sekarang kau kembali lagi ke kamar mandi. Saya akan memberimu hukuman untuk membersihkan kamar mandi karena baru saja terlambat masuk kelas.” “Tapi, Pak, saya hanya terlambat dua menit. Lagi pula, saya sudah datang ke kelas pagi-pagi sekali dan tas saya bahkan sudah ada di sana sejak tadi. Saya hanya pergi ke kamar mandi sebentar, bukannya bermaksud untuk sengaja terlambat.” “Apa hukumannya masih kurang?” “Akan segera saya laksanakan, Pak!” Ruby langsung memberi hormat layaknya seorang tentara, lalu berjalan ke luar ruangan dengan terburu-buru. Memberi penjelasan pun dosen kejam itu sama sekali tidak peduli, jadi lebih baik sekarang Ruby menurut saja kepada perintah dosen kejam itu. Oh, betapa sialnya dia hari ini, mendapat hukuman membersihkan kamar mandi pada kelas pertamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD