CH 7. Dilabrak Pacar Barunya Mantan

1609 Words
Ruby merebahkan kepalanya di atas meja dengan posisi menyamping, sedangkan kedua matanya terpejam. Kelas kedua baru saja berakhir, dan sekarang adalah waktunya jam istirahat. Setelah membersihkan kamar mandi perempuan; menyikat kloset, mengepel lantai, dan mengelap cermin, akhirnya seluruh tenaga Ruby langsung terkuras habis. Sekarang ini dia sangat lemas, apalagi tadi pagi dia hanya sarapan dengan sebungkus roti yang dibelinya di kantin. “Tumben hanya diam saja di tempat duduk? Biasanya kau selalu yang paling awal pergi ke kantin setelah bel istirahat berbunyi.” Perkataan Sheila langsung membuat Ruby mengubah posisi kepalanya ke arah sebaliknya. Ruby membuka mata, menatap teman sebangkunya yang tengah mengeluarkan kotak bekal miliknya di dalam tas. Begitu tutup kotak bekalnya dibuka, sontak langsung tercium aroma harum yang menguar di sekitar hidung Ruby. “Apa kau yang selalu menyiapkan bekalmu sendiri?” Sheila langsung mengangguk, lalu menyodorkan sendok ke hadapan Ruby. “Apa kau mau mencobanya? Aku tidak yakin apakah rasanya cocok untukmu, tapi menurutku masakanku tidak terlalu buruk.” Untuk sesaat Ruby terdiam. Sheila sudah sering menawarkan bekal miliknya dan menyuruh Ruby untuk mencobanya, tetapi Ruby selalu menolak. Namun, entah mengapa kali ini Ruby merasa penasaran dengan rasa masakan teman baiknya tersebut. Sontak Ruby meluruskan tubuhnya, mengambil sendok dari tangan Sheila untuk kemudian menyuapkan sesuap nasi yang telah dibumbui dengan berbagai rempah-rempah tersebut. “Emm! Enak sekali! Apa kau yakin yang membuatnya sendiri? Mengapa bisa seenak ini?” Sheila hanya tersenyum tipis ketika mendapat pujian dari Ruby untuk pertama kalinya. Yang dia buat hanyalah masakan biasa, bahkan semua orang pun pasti bisa memasaknya. “Apa kau mau lagi? Aku membuatnya cukup banyak, jadi aku bisa berbagi denganmu.” “Tidak perlu, lebih baik kau saja yang memakan semuanya. Kau pasti tidak akan kenyang jika membagi bekalmu denganku. Sekarang aku akan pergi ke kantin, jadi silakan menikmati bekal makan siangmu.” Dan setelah mengatakan itu, Ruby langsung beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Sheila. Masakan Sheila ternyata memang sangat enak, dan jujurnya saja Ruby pun masih menginginkannya. Setelah dipikir kembali, mengapa Ruby tidak meminta Sheila untuk mengajarkannya memasak? Ruby tidak ingin bergantung kepada Zero hingga kemudian pria itu menyebutnya sebagai gadis yang belum dewasa karena tidak bisa melakukan hal kecil seperti memasak. Ruby mungkin tidak pandai melakukan apa pun, namun setidaknya dia harus bisa memasak untuk dirinya sendiri, bukan? Langkahnya yang berat tiba-tiba berhenti. Tadinya Ruby memang berniat untuk pergi ke kantin, tetapi entah mengapa dia langsung berubah pikiran. Setelah menghembuskan napas pelan, Ruby lantas memutar balik arah jalannya hingga kemudian dia sampai di taman belakang kampus yang tidak terlalu banyak orangnya. Ada sebuah pohon besar di sana, dia sontak saja menghampirinya untuk kemudian duduk di bawahnya sembari menyandarkan punggungnya pada batangnya yang lebar. “Sepertinya mulai besok aku juga harus membawa bekal.” Seandainya Ruby membawa bekal, Ruby tidak perlu lagi pergi ke kantin dan uang jajannya pun akan terselamatkan. Namun, bagaimana caranya dia membuat bekal? Dia bahkan tidak bisa memasak, tidak mungkin juga dia meminta Zero untuk membuatkannya. Lantas, haruskah dia meminta Sheila untuk membuatkannya? Jika seperti itu maka Sheila pasti akan kerepotan. Seketika Ruby menghela napas panjang. Selama ini dia tidak pernah memikirkan hal yang namanya memasak, tetapi sekarang dia justru merasa harus belajar melakukannya. “Ayah, Ibu, bisakah kalian membawaku kembali ke rumah? Aku tidak ingin menikah ....” Ruby tidak ingin menikah, tetapi dia sudah menikah. Statusnya sebagai seorang istri sudah tidak bisa disangkal lagi. Meskipun begitu, entah mengapa semua yang dialaminya masih terasa seperti mimpi. Ruby memejamkan matanya sejenak, saat tiba-tiba ada seseorang yang menyiram kepalanya dengan air es yang seketika membuatnya berteriak. “Argh! Apa yang kau lakukan?!” Bukannya merasa bersalah, gadis nyentrik di hadapan Ruby justru langsung menyeringai tipis. Tampaknya gadis itu memang sudah tidak waras, tiba-tiba saja datang dan melakukan hal tidak masuk akal seperti ini. Ruby lantas berdiri, mendengus kecil sembari melihat dan memegang pakaiannya yang ikut basah, sebelum akhirnya menatap sang pelaku yang telah menyiramnya. “Sebenarnya apa masalahmu? Dasar gila!” Laura menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Kau itu memang tidak tahu malu, ya? Bukankah kau sudah putus dengan Joan, lalu mengapa kau menciumnya kemarin?” Ah, jadi masalahnya adalah itu. Sekarang Ruby mengerti dengan tindakan Laura yang tiba-tiba menyiramnya, tetapi sepertinya gadis itu salah paham. Mencium Joan? Mana mungkin Ruby yang mencium Joan terlebih dahulu. Hal itu sangat tidak masuk akal dan tentunya menyakiti perasaan Ruby yang bahkan tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan Laura terhadapnya. Ruby lantas menghela napas sembari mengerlingkan matanya ke arah lain. “Apa kau hanya mendengarnya dari orang lain atau benar-benar melihatnya sendiri? Jika kau melihatnya sendiri, seharusnya kau sudah tahu kalau bukan aku yang mencium Joan, melainkan Joan yang tiba-tiba saja menciumku di depan umum.” Sedikit heran memang karena Ruby harus menjelaskan kejadian kemarin kepada Laura yang merupakan orang ketiga di antara hubungannya dengan Joan. Ya, melihat tindakan Laura yang amat sangat marah terhadapnya, sepertinya penjelasan itu memang diperlukan. Lagi pula, Ruby tidak ingin disebut sebagai penghancur hubungan orang lain meski sebelumnya dia pernah menjalin hubungan dengan orang tersebut. “Apa kau berpikir kalau aku akan mempercayai perkataanmu? Mana mungkin Joan tiba-tiba menciummu padahal kalian sudah putus! Kau pasti telah menggodanya, ‘kan?” “Justru, bukankah sangat aneh jika aku menggodanya hanya untuk mendapatkan sebuah ciuman? Aku yang telah memutuskan Joan, jadi untuk apa aku melakukan hal konyol seperti itu kepada seseorang yang telah aku buang.” “Bu—buang?” “Ya, aku yang telah membuang Joan dan kau adalah orang yang telah memungutnya! Jika diibaratkan, Joan itu adalah sampah, sedangkan kau adalah tempat sampahnya. Kalian memang cocok! ” Laura terlihat mengepalkan kedua tangannya erat, tetapi Ruby tidak memedulikannya dan berpikir untuk segera pergi meninggalkan gadis menyebalkan tersebut. Baru saja berbalik dan hendak melangkah, tiba-tiba Ruby merasakan rambutnya dijambak oleh Laura. Hal itu langsung membuatnya menjerit kesakitan, bahkan dia berpikir jika mungkin saja kepalanya akan langsung botak karena Laura menjambaknya dengan kencang. “Dasar kau @#$%! Lepaskan rambutku!” Ruby tidak terima dengan perlakukan Laura terhadapnya sehingga dia pun berpikir untuk melakukan hal yang sama, menjambak rambut Laura dengan sekuat tenaganya. “Argh! Rambutku! Rambutku!” Kali ini Laura yang berteriak kesakitan, merasakan kekuatan Ruby yang menjambaknya dengan kencang. Tidak ingin tinggal diam, Laura akhirnya menambah kekuatannya yang seketika membuat Ruby melontarkan kata-kata kasar terhadapnya. Joan sedang berkeliling mencari Ruby, tak sengaja dia kemudian melihat keributan yang terjadi di taman belakang kampus. Joan langsung menghampiri dan kemudian menyadari bahwa yang sedang saling menjambak tersebut adalah Ruby dan Laura. “Apa yang kalian lakukan?” Seolah tak mendengar, Ruby dan Laura masih sibuk dengan kegiatan saling menjambaknya. Hal itu langsung membuat Joan menghela napas, sebelum akhirnya berusaha memisahkan mereka dengan saling menjauhkan tubuhnya. Awalnya dia gagal, dan malah terjatuh ke atas tanah, tetapi dia mencoba memisahkan mereka lagi dengan bantuan orang lain. Ruby dan Laura menjauhkan tubuhnya masing-masing. Napasnya terengah-engah dengan penampilan yang super berantakan. Sedangkan Joan mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantunya memisahkan kedua gadis di hadapannya, lalu berdiri di antara mereka. “Ada apa dengan kalian? Membuat keributan seperti ini hingga menjadi tontonan banyak orang.” Ruby langsung melemparkan tatapan tajam ke arah Joan yang baru saja berbicara. Betapa lucunya karena pria itu bertanya seperti itu? Padahal penyebab keributan tersebut adalah dia! “Apa kau tahu? Pacar barumu ini tiba-tiba mendatangiku dan menyiram kepalaku dengan air es. Bukan hanya itu, dia juga menjambak rambutku dengan kencang. Dia marah padaku karena kau tiba-tiba menciumku kemarin! Aku heran, mengapa kalian berdua sangat suka menggangguku dengan permasalahan kalian? Jika ada masalah, selesaikan saja sendiri! Mengapa harus mendatangiku?!” Mendapat hukuman pada kelas pertama merupakan hal sial baginya, tetapi tak disangka ternyata kesialannya masih berlanjut hingga jam istirahat. Sebenarnya, apa yang salah dengan dirinya? Ruby sama sekali tidak mengerti dan dia pun sudah sangat lelah saat ini. Tanpa menunggu jawaban Joan, Ruby lantas melenggang pergi meninggalkan mereka. Perasaan kesalnya sudah menguasai diri, membuatnya tidak bisa mengontrol emosi dengan benar. Jika Ruby masih berdiam diri di sana, kemungkinan besar dia akan kehilangan kendali dan melampiaskan kemarahannya kepada semua orang yang ada di sana. “Sial! Sial! Sial! Apa yang salah denganku, Ya Tuhan?! Aku bahkan sudah putus dengannya, tapi mengapa masih harus menerima ketidakadilan seperti ini?!” Dari awal memang sudah salah. Seharusnya Ruby tidak pernah berhubungan dengan Joan, tidak menerima perasaannya, sehingga Ruby tidak perlu merasakan perasaan menyakitkan seperti ini. Ruby sudah membuang semua perasaan yang tersisa untuk Joan, termasuk semua kenangannya dengan pria itu. Joan sudah mengkhianatinya, dan jangan harap masih ada tempat dihatinya. Lagi pula, sekarang Ruby sudah menikah. Meskipun terpaksa, tetapi tetap saja dia yang memutuskan untuk menerima permintaan kedua orang tuanya untuk menikah menggantikan sang kakak. Ruby harus mempertanggungjawabkan keputusannya sendiri. Ruby memasuki ruang kelas dengan perasaan jengkel. Dia lantas duduk di samping Sheila dan langsung menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya menyilang di depan d**a, sedangkan matanya melihat ke sembarang tempat dengan tatapan mematikan. Hal itu sontak membuat Sheila merasa heran, dan kemudian langsung bertanya kepadanya. “Ada apa denganmu? Mengapa rambutmu basah dan berantakan, pakaianmu juga?” Ruby menggeram kesal, lalu memutar kepalanya ke arah Sheila untuk kemudian menjawabnya dengan nada yang sedikit tinggi. “Laura! Dia menyiram kepalaku dengan air es dan bahkan menjambak rambutku hingga seperti ini! Argh, menyebalkan sekali! Seharusnya tadi aku membanting tubuhnya atau mematahkan lengannya saja! Menyesal aku karena tidak melakukan itu!” Sheila menggelengkan kepala. Marahnya seorang Ruby memang sangat menyeramkan, oleh sebab itu ... lebih baik jangan pernah mencari masalah dengannya. Betapa beruntungnya Laura karena sepertinya Ruby menahan amarahnya dan tidak benar-benar mengamuk seperti orang gila. Ya, tampaknya Ruby masih bisa menahan dirinya untuk saat ini. Namun, jika nanti Laura mengganggunya lagi, maka kemungkinan besar akan terjadi yang namanya perang dunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD