CH 5. Tidak Manis

1773 Words
Tangan Ruby membuka kulkas dua pintu yang ada di dapur. Kedua matanya mengobservasi isi kulkas, mencari sesuatu yang bisa langsung dimakan. Namun, semua yang ada di dalam sana hanyalah bahan-bahan masakan yang perlu dimasak terlebih dahulu. Dengan tubuh yang lemah, Ruby akhirnya merebahkan diri di atas sofa sembari menghela napas panjang. Karena terlalu lama meladeni Joan, dia tidak bisa membeli apa pun di kantin yang semua makanan ringannya sudah habis tak tersisa saat dia tiba di sana. “Ouch! Aku lapar sekali!” Seandainya Ruby bisa memasak, mungkin dia sudah membuat sesuatu yang layak dimakan. Namun, jangankan memasak, dia bahkan nyaris tidak pernah menyentuh peralatan dapur. Menghidupkan kompor pun, dia hanya pernah melakukannya sekali. Cukup lama Ruby berbaring di sofa, hingga kedua matanya terasa berat dan mulai terlelap. Perutnya sangat lapar, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Uangnya tidak cukup untuk membeli makanan di luar, mengingat dia tadi sudah memakainya untuk ongkos naik taksi. Zero baru saja pulang dari kantor dan langsung mendapati tubuh Ruby yang meringkuk di atas sofa, lengkap dengan pakaian yang dilihatnya seperti tadi pagi. Gadis itu terlihat sangat damai dalam tidurnya, membuatnya tidak tega untuk membangunkannya. Namun, tetap saja dia tidak bisa membiarkan gadis itu tidur di sofa. “Hey! Cepat bangun!” Tangan Zero menggoyang-goyangkan tubuh Ruby, berusaha membangunkan gadis yang tengah terlelap tersebut. Perlahan Ruby membuka kelopak matanya, lalu mengerjap-ngerjapkannya sejenak. Entah sudah berapa lama dia tertidur, tetapi kedua matanya masih terasa berat dan masih ingin melanjutkan tidurnya. “Apa kau sudah makan?” Zero bertanya saat tiba-tiba terdengar suara mengerikan yang muncul dan berasal dari perut Ruby. Kuliah sudah berakhir sejak beberapa jam yang lalu, tetapi tampaknya gadis itu sama sekali belum makan apa pun. Padahal, dia sengaja mengisi penuh kulkas agar gadis itu bisa makan tanpa menunggunya pulang, tetapi dilihat dari keadaan saat ini, sepertinya istri kecilnya itu sama sekali tidak bisa memasak. Ruby memegang perutnya. “Aku sangat lapar, tapi tidak ada yang bisa dimakan di dalam kulkas.” Meski perutnya berbunyi cukup kencang, tetapi Ruby tidak merasa malu. Biasanya, ketika dia pulang kuliah, sudah ada banyak makanan yang berjajar rapi di atas meja makan. Namun, kehidupannya sekarang sudah berbeda. Dia sudah menikah dan hanya tinggal berdua dengan suaminya. Sama sekali tidak ada pembantu yang akan mengurus pekerjaan rumah. Mendengar hal itu, seketika Zero menghela napas. Seharusnya dia bisa memprediksi hal ini sebelumnya, mengingat bahwa dia memiliki istri yang belum dewasa dan masih perlu diatur. “Cepat bangun dan cuci wajahmu. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu.” “Memangnya kau bisa memasak?” “Jangan meremehkanku, Gadis Kecil. Seharusnya kau berterima kasih karena berhasil menikahi pria sepertiku yang serba bisa.” Sontak Ruby mengerlingkan matanya, begitu mendengar Zero yang terlalu memuji dirinya sendiri. Bukan hanya pikirannya yang kotor, ternyata pria itu juga sangat percaya diri. Ruby melangkahkan kakinya menuju kamar mandi dengan gontai, lalu segera mencuci wajahnya yang terasa lengket di wastafel. Untuk sesaat, dia memikirkan perkataan Zero yang menyebutkan kurus. Sontak dia melepaskan pakaiannya hingga hanya menyisakan pakaian dalam, lalu memutar tubuhnya sembari melihat ke arah cermin. Karena terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri, Ruby bahkan tidak menyadari kehadiran Zero yang sudah berdiri di ambang pintu sembari memegang ponselnya. Pria itu diam-diam memotret tubuh Ruby yang hanya mengenakan pakaian dalam. Namun, sialnya, dia lupa mematikan blitz pada kamera yang sontak membuat Ruby menoleh ke arahnya. “Kyaa! Apa yang kau lakukan di kamar mandi?!” Seketika Ruby berteriak. Kedua tangannya diposisikan memeluk tubuh, lalu memicingkan matanya ke arah Zero. Meski mereka adalah suami-istri, tetapi memperlihatkan tubuh yang hanya menggunakan pakaian dalam adalah hal yang sangat memalukan. “Kau! Apa kau baru saja memotretku?!" Ruby mengarahkan jari telunjuknya ke arah Zero, sebelum akhirnya melanjutkan. "Cepat hapus foto itu!” “Maksudmu yang ini?” Zero memperlihatkan foto yang baru saja diambilnya melalui ponsel. Hal itu membuat Ruby membelalakkan mata dan langsung berlari ke arahnya. Gadis itu berjinjit, berusaha meraih ponsel yang dipegang Zero tinggi-tinggi. “Cepat berikan padaku!” Meski sudah berusaha, tetapi Ruby tidak bisa menyamakan tinggi Zero. Tangannya terlalu pendek untuk bisa mengambil ponsel itu. Melompat pun, dia sama sekali tidak bisa meraihnya. Zero menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman. Rasa lelahnya langsung hilang ketika dia berhasil mempermainkan Ruby. Ruby memang gadis yang menarik dan tidak pernah membuatnya bosan dengan tingkah lakunya. “Ada apa? Kau bahkan tidak bisa meraih ponselku.” Kalimat ejekan itu berhasil membuat Ruby kesal. Zero sama sekali tidak berniat untuk mengalah, sedangkan dia masih berusaha untuk mendapatkan ponsel itu dan ingin segera menghapus fotonya. Tanpa diduga, Ruby menginjak punggung kaki Zero hingga pria itu mengerang pelan. Tadinya dia hendak menggunakan kesempatan itu untuk merebut ponsel Zero, tetapi dia justru tersandung oleh kakinya sendiri dan tanpa sadar mendorong pria itu hingga mereka terjatuh bersama-sama. Ruby menindih tubuh Zero dengan mata yang terpejam. Jantungnya masih berdegup kencang karena terkejut. Beruntung karena dia terjatuh di atas Zero, jika langsung mengenai lantai, mungkin sekujur tubuhnya akan terasa sakit. “Ternyata lembut juga.” “Jangan berpikir macam-macam, ya!” Mendengar hal itu, sontak Ruby segera bangun dari posisi menindih Zero. Tanpa dijelaskan pun, dia sudah tahu dengan maksud perkataan pria itu. Sungguh sialnya hari ini. Dia merasa dilecehkan oleh dua orang pria sekaligus. Mantan pacarnya dan suaminya. Ruby melangkah gontai menuju kamar, berniat mengenakan pakaian yang nyaman selama berada di rumah. Sebelum menutup pintu, terdengar suara maskulin Zero yang berbicara. “Bagaimana dengan fotonya? Apa kau sudah menyerah untuk menghapusnya?” Akhirnya Ruby berbalik sembari menyipitkan mata, lalu dia mengacungkan jari tengahnya ke arah Zero. “Aku sudah tidak peduli!” Setelah berteriak, Ruby langsung menutup pintu kamarnya dengan kencang yang kemudian membuat Zero terkekeh ketika melihatnya. Zero melihat ke arah ponsel, menatap foto Ruby yang baru saja didapatkannya. Karena hanya itu satu-satunya foto Ruby yang dia miliki, jadi dia akan menjadikannya wallpaper. Lagi pula, gadis itu sudah menyerah untuk menghapus foto tersebut yang artinya dia diperbolehkan untuk menyimpannya. “Ho! Ternyata tubuhnya bagus juga.” Ketika Zero masih memandangi foto Ruby, tiba-tiba pintu kamarnya kembali terbuka, menunjukkan sosok Ruby yang sudah rapi dengan pakaian sehari-hari. “Hentikan tatapan menjijikkanmu itu dari fotoku, Bodoh! Dasar pervert!” Ruby berjalan melewati Zero dan segera mendudukkan pinggulnya di kursi meja makan. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa pria itu menjadikan foto tersebut sebagai wallpaper? Memikirkan itu tanpa sadar membuatnya menghela napas. Tampaknya dia memiliki suami yang aneh. Sebelum mulai menyuapkan masakan yang dibuat Zero, Ruby terlebih dahulu melihat dan mengaduk-aduknya dengan sendok. Dia takut jika pria itu memasukkan bahan aneh ke dalam masakannya dan sengaja mengerjai. Namun, setelah dirasa aman, barulah dia menyantap semangkuk nasi telur tersebut ke dalam mulutnya dengan lahap. Zero duduk berhadapan dengan Ruby, memperhatikan cara makan gadis itu yang tampaknya sangat kelaparan. Seulas senyum tipis kemudian terukir di wajah rupawannya, begitu melihat ada nasi yang menempel di sudut bibir Ruby. Namun, tak lama setelahnya, senyuman itu berganti dengan seringai. “Tunggu sebentar, ada sesuatu yang menempel di sudut bibirmu.” “Benarkah?” Sontak Ruby sengaja tidak bergerak, saat tiba-tiba Zero menyentuh sudut bibirnya dengan ibu jari. Cukup lama pria itu melakukannya, bahkan sekarang dia bisa merasakan pria itu tengah mengusap-usapkan ibu jarinya hingga ke pipi. “Apa kau sudah mengambilnya? Kenapa lama sekali?” “Diamlah. Aku sedang membuatnya terlihat lebih erotis.” “Ero—“ Dengan mata terbelalak, Ruby melemparkan mangkuk di hadapannya ke arah Zero. Namun, pria itu berhasil mengelak sehingga membuat mangkuk tersebut pecah karena bertabrakan dengan dinding yang ada di belakangnya. Tak bisa menutupi rasa terkejutnya, kini giliran Zero yang membelalakkan mata. Bahkan, tubuhnya menegang seketika. Nyaris saja nyawanya terancam karena mendapat amukan dari Ruby. “Bagaimana bisa seorang istri memperlakukan suaminya seperti itu? Kau sama sekali tidak manis!” Zero beranjak dari kursinya dan segera membereskan pecahan mangkuk yang berserakan di atas lantai. Dia melakukannya dengan hati-hati, takut jika jari-jarinya terluka saat mengambil pecahan tersebut. Ketika sudah menikah, biasanya seorang istri yang akan memasak dan membereskan kekacauan yang ada di dalam rumah. Namun, yang terjadi di sini adalah sebaliknya. Dibanding istri, Ruby justru terlihat seperti seorang adik perempuan yang nakal bagi Zero. Ruby berjalan sembari menghentakkan kakinya di atas lantai. Bukan salahnya jika dia melempar mangkuk hingga pecah. Zero selalu mempermainkannya, tentu saja dia merasa sangat kesal dan marah. Begitu tiba di kamar, dia langsung mengunci pintunya dari dalam. Persetan dengan status suami istri! Dia tidak akan membiarkan pria itu tidur di dalam kamar, bahkan tidur di sampingnya malam ini! “Tidak manis? Kenapa juga aku bersikap manis padanya? Aku bahkan bukan gula!” Tak henti-hentinya Ruby mengomentari perkataan Zero yang mengatainya tidak manis. Dia tidak terima karena harga dirinya sebagai seorang perempuan merasa jatuh. Harus dia akui, sikapnya memang terlalu kasar tadi, tetapi dia tidak berniat untuk meminta maaf. Ruby menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, berbaring dengan posisi telentang. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar, sedangkan kedua matanya menatap langit-langit kamar yang didominasi warna putih. Sekarang, rumah dan kamarnya sudah berbeda. Bahkan, statusnya yang hanya seorang pelajar, kini sudah berubah menjadi seorang pelajar yang sudah menikah. Semua itu terjadi dalam satu hari, hingga terkadang membuatnya berpikir bahwa semua ini hanyalah mimpi. Saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba Ruby mendengar suara gedoran pintu dari arah luar dan bahkan daun pintunya terus digerakkan turun-naik. “Ruby, cepat buka pintunya!” Teriakan Zero dari balik pintu tidak dipedulikan oleh Ruby. Dia justru menyumbat kedua telinganya dengan jari telunjuk, sengaja menulikan pendengaran. Sementara itu, Zero yang masih berdiri di depan pintu kamar tidak menyerah begitu saja. Karena Ruby sama sekali tak mengindahkan perkataannya, dia akan melakukan sesuatu yang ekstrem. Setelah menyiapkan ancang-ancang, pria itu sontak mengerahkan tenaganya untuk menendang pintu. Dia tidak peduli meski nantinya pintu itu akan rusak. Lagi pula, dia bisa menyuruh seseorang untuk memperbaikinya. Satu kali percobaan, pintu itu masih belum terbuka. Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya dia mencoba menendangnya kembali hingga kemudian usahanya membuahkan hasil. “Huh! Sepertinya aku harus mandi setelah ini.” Zero melangkah masuk dan mendapati Ruby yang tengah memegang erat bantal sembari mengangkatnya tinggi-tinggi. “Seharusnya kau tidak masuk jika sudah tahu kalau aku mengunci pintunya dari dalam!” “Ini juga kamarku, jadi aku berhak masuk ke dalam sini!” Karena terbawa emosi, akhirnya Zero membalas perkataan Ruby dengan nada yang tak kalah tinggi. Sebagai orang dewasa, seharusnya dia bisa mengontrol emosi. Namun, dia justru gagal melakukannya. Ruby melemparkan bantal yang sejak tadi dipegangnya ke arah Zero, lalu mengurung diri di bawah selimut. Dia benci menikah. Dia juga benci pada pria itu. Hal itu kemudian membuat Zero mendesis. “Kau memang sama sekali tidak manis!” Dari semua gadis yang pernah ditemuinya, hanya Ruby yang sama sekali berbeda dan terlihat sedikit tomboy. Wajahnya memang cantik, namun sikapnya begitu urakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD