Keesokan harinya, Ayuna datang lagi ke rumah sakit untuk menjenguk Tama. Gadis itu membawakan sarapan khusus untuk sahabatnya sekaligus orang yang telah mengambil hatinya itu. Ayuna rela bangun lebih pagi untuk menyiapkannya. Hari itu, Ayuna memasak spesial untuk sahabat barunya. Gadis itu berharap, Tama akan menyukai hasil masakannya.
Ayuna melangkahkan kakinya perlahan, sangat pelan, seperti sedang menghitung jumlah keramik yang tersusun di lantai rumah sakit . Ada getaran yang tidak biasa di hatinya setiap kali ia akan menemui Tama. Sebenarnya ia benci memiliki perasaan itu. Ia merasa ingin bebas dari perasaan sukanya terhadap pria yang belum lama di kenalnya tapi telah berhasil menarik perhatiannya, namun selalu gagal. Lelaki itu seperti magnet, sedangkan dirinya adalah benda besi yang tidak bisa menahan daya tarik yang ditebarnya.
Langkah Ayuna terhenti saat ia yakin telah sampai di depan pintu kamar rawat Tama. Perlahan ia menarik gagang pintu dengan sangat pelan. Tama tidak menyadari kedatangan Ayuna. Lelaki itu sedang memainkan ponselnya, seperti sedang berbalas pesan dengan seseorang. Wajahnya tampak sangat serius. Ayuna melangkahkan kakinya mendekati lelaki itu perlahan, hingga jarak mereka hanya beberapa puluh senti.
"Pa-pagi,Kak Tama." Sapaan pelan dari Ayuna membuat lelaki itu segera mengalihkan perhatiannya. Tama memalingkan perhatian dari layar ponselnya pada gadis yang tengah berdiri dengan rantang di tangannya itu. Tama bisa melihat, gadis itu sedikit gugup.
Tama terkesima, Ayuna tampak berbeda dari biasanya. Tama sempat berpikir, gadis itu sengaja merias diri sebelum menemuinya. Tapi Tama menepis pemikirannya itu, Ayuna memang selalu rapi setiap harinya, mungkin hanya perasaannya saja yang terlalu berlebihan.
"Pagi, Ayuna. Duh, maaf, aku jadi merepotkan kamu," Tama meletakkan ponselnya di dekat bantal. Ia membenarkan posisi duduk setengah rebahannya agar lebih enak. Dia tidak ingin gadis yang meluangkan waktu untuk menjenguknya itu merasa terabaikan.
"Santai, Kak. Aku nggak merasa direpotkan oleh kakak. Bagaimana keadaan kakak? Sudah baikan?" lagi-lagi, Ayuna tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya terhadap keadaan Tama. Dia ingin melihat Tama segera sembuh seperti sediakala. Melihatnya terbaring di Rumah Sakit seperti sekarang membuat Ayuna merasa sedih.
"Aku sudah jauh lebih baik. Hanya saja sedikit kecewa, orang tuaku sepertinya belum bisa pulang. Ngomong-ngomong bagaimana hasil cetak foto kamu kemarin?" Tama penasaran dengan hasil foto saat di festival boneka. Ayuna sendiri tidak tahu harus mengatakan apa, karena kebanyakan yang ada di dalam klise-nya adalah foto Tama. Saat melihatnya, pasti lelaki itu akan mengajukan banyak pertanyaan yang mungkin akan sulit untuk di jawabnya.
"Ah, itu. Belum aku cetak, Kak. Mungkin nanti kapan-kapan." Ayuna terpaksa berbohong. Sebisa mungkin ia harus merahasiakan hasil foto itu. Tama pasti akan curiga dengan perasaannya saat melihat hasil fotonya yang terfokus pada wajah pria manis itu saja.
Mungkin Ayuna bisa membohongi Tama dan menyembunyikan perasaannya,tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia jatuh hati pada pria yang ada di hadapannya itu. Ia ingin mengabadikan banyak hal tentang dia, meskipun bagi orang lain tidak penting. Baginya, setiap detik yang ia lalui bersama Tama, itu adalah momen yang tidak boleh di lupakan. Terlalu berharga dan mewarnai hari-hari Ayuna dengan banyak warna.
Ayuna bahkan sempat memotret boneka beruang pemberian Tama dan akhirnya menyimpan boneka itu dan mengganti dengan hadiah yang lain, untuk di berikan pada keponakannya yang berulang tahun. Entah mengapa, tapi kekaguman itu memang hadir sejak saat pertama ia bertemu dengan pria itu di toko kado. Tatapan Tama begitu menyentuh, hingga ke dasar hatinya.
"Beritahu aku, ya. Kalau sudah di cetak, aku mau lihat, bagaimana hasil karyamu. Sepertinya keahlianmu dalam memotret cukup bagus," Puji Tama membuat gadis itu sedikit terkesan. Ia merasa mendapat dukungan. Setelah selama ini, dia tidak pernah mendapatkan dukungan lain selain kedua orang tuanya, sekarang ada Tama yang juga mengapresiasi keahlian yang dia miliki. Ayuna benar-benar tersanjung di buatnya.
"Terima kasih, kak. Aku masih perlu banyak belajar lagi. Keahlian yang aku miliki ini terhitung masih sangat amatir." bukan merendah, Ayuna memang hanya menjalani semuanya sebagai hobi, ia belum begitu mendalaminya terlalu jauh. Gadis itu berencana, ingin memperdalam ilmu fotografinya suatu hari nanti. Semua sudah tersusun rapi di dalam benak Ayuna.
"Kamu suka merendah. Tapi bagus, kamu tidak perlu mengunggulkan diri, karena jika kamu unggul, orang-orang akan dapat melihat kelebihanmu tanpa kamu memamerkannya. Terus belajar, jadikan hobimu sebagai peluang. Sebagai sahabat, aku selalu mendukungmu." Hanya kata motivasi yang dapat Tama berikan. Ia sangat senang memiliki sahabat yang berbakat seperti Ayuna. Tapi, kalimat yang keluar dari mulut Tama itu seolah menadi dorongan yang sangat besar bagi Ayuna.
"Sekali lagi, terima kasih, Kak. Oh ya, aku bawakan sarapan buat kakak. Di makan, Kak. Ini hasil masakanku sendiri. Kakak harus coba." Ayuna menyodorkan rantang makanan yang ia bawa. Tama menerimanya dengan hati-hati. Ini pertama kalinya ada seorang gadis memasak untuknya. Meskipun telah lama berpacaran dengan Nada, gadis itu tidak pernah memasakkan sesuatu untuk Tama. Nada gadis manja yang sangat bergantung dengan ibunya.
Ketika di buka, aroma masakan ikan laut dengan bumbu kuning itu menyeruak dan membuat Tama menjadi lapar. Dari baunya ia sudah membayangkan betapa enaknya masakan Ayuna itu, sampai-sampai air liurnya seperti akan menetes dan tidak sabar untuk memakannya.
"Boleh aku makan sekarang?" Tama meminta izin pada Ayuna untuk memakan hasil masakannya. Gadis itu sangat senang karena Tama tampak sangat berminat pada makanan yang di bawanya.
"Tentu saja, aku membawanya kemari untuk Kakak, jadi, Kakak harus makan sampai habis." tegas Ayuna. Dia memang berharap, makanannya itu di makan habis oleh Tama. Seperti biasanya, setiap gadis itu membawakan makanan untuknya.
"Tepat seperti perkiraanku, masakanmu ini sangat enak Ayuna. Darimana kamu belajar memasak?" Tama melahap makanan yang di bawa Ayuna dengan penuh selera. Gadis itu hanya tersenyum melihat cara Tama menghabisi makanannya.
"Aku belajar dari bundaku, Kak. Awalnya aku gagal, tapi lama-kelamaan aku berhasil memasak berbagai masakan," curhat Ayuna.
Saat ia masih kelas tiga Sekolah Dasar, mamanya sudah mulai mengajarinya memasak. Awalnya hasil masakan Ayuna sangat mengecewakan. Mulai dari hasilnya kurang matang, sampai lupa menambahkan garam. Tapi hal itu tidak membuatnya menyerah, ia terus berlatih sampai akhirnya, masakannya jauh lebih nikmat di bandingkan masakan mamanya.
"Semuanya memang butuh proses, ya.Tidak ada yang langsung instan. Makan mi instan juga harus di masak dulu, kan?" celoteh Tama sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
Ayuna setuju dengan perumpamaan yang di ungkapkan oleh Tama. Tidak ada yang instan, segalanya butuh perjuangan. Kecuali perasaannya pada lelaki itu. Terlalu cepat tumbuh sampai Ayuna harus mencari cara untuk menyembunyikannya.
"Betul, Kak.Semuanya tidak ada yang instan. Aku suka sekali belajar hal-hal baru. Rencananya, aku mau mendalami ilmu pemotretan, tapi nggak tahu kapan, Kak." Impian Ayuna menjadi Fotografer terkenal adalah yang utama, tapi saat ini ia masih ingin menjaga adiknya, Doni yang masih kelas dua belas. Setelah anak itu kuliah, barulah Ayuna akan merasa tenang meninggalkannya untuk belajar.
"Itu bagus sekali, Ayuna. Aku mendukung, apapun yang akan kamu jalani. Aku do'akan semuanya sukses. Kalau kamu sudah menjadi fotografer terkenal, jangan pernah lupakan aku, ya." Tama memberikan motivasi untuk sahabat wanitanya itu. Ia bisa melihat bakat besar yang tersimpan di dalam jiwanya.
"Terima kasih, Kak. Motivasi kakak bisa membuat aku jadi lebih semangat. Aku akan meraih cita-citaku setinggi mungkin. Kalau aku sukses nanti, aku tidak akan lupa sama kamu, Kak." Seumur hidup Ayuna, ia tidak akan pernah melupakan Tama. Meskipun ia hanya bisa mencintai lelaki itu dalam diam, tapi ia yakin, semuanya tidak akan sia-sia. Terpenting untuk Ayuna saat ini adalah kebahagiaan Tama, bukan perasaannya.
"Sama-sama Ayuna, sebagai sahabat, sudah seharusnya kita saling menyemangati kan? Minggu depan, aku ada pertunjukan lagi, kamu mau dokumentasikan penampilanku?" Tama baru ingat, ia dapat undangan acara ulang tahun anak orang kaya, meskipun ia belum tahu, apakah dia bisa tampil atau tidak dengan keadaannya yang sekarang.
"Minggu depan? Tapi keadaan kakak belum baikan, bagaimana bisa kakak tampil dengan keadaan begini?" Ayuna mengkhawatirkan keadaan Tama. Lelaki itu tidak bisa melakukan pertunjukan dengan keadaan tangan patah seperti sekarang.
"Itu dia, aku belum tahu, bisa datang atau tidak.Kalau tidak bisa tampil, terpaksa aku harus mencari pemeran pengganti." Tama sebenarnya sedang bingung, apakah ia bisa tampil atau tidak. Sementara, temannya yang biasa menggantikannya tampil, sekarang sedang sibuk mengurus bisnis barunya sebagai penjual ikan hias.
"Kalau kakak tidak bisa tampil, biar aku saja yang menggantikanmu," Ayuna menawarkan diri untuk menjadi pengganti Tama. Apapun, asal Tama tidak kesakitan, Ayuna akan melakukannya. Dia tidak akan membiarkan Tama melalui kesusahannya sendiri.
“Kamu yakin? Jadi cosplay itu tidak mudah, panas, terkadang juga di kerubutin anak-anak, aku takut kamu pingsan atau,” Tama tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Ayuna menaruh jari telunjuknya di atas bibir lelaki itu. Mengisyaratkan kalau dia tidak ingin mendengar lelaki itu mengkhawatirkan dirinya. Bagi Ayuna, saat ini satu-satunya orang yang harus mendapatkan perhatian diantara mereka adalah Tama.
“Keadaan Kakak jauh lebih mengkhawatirkan daripada aku, jadi percayakan saja semuanya padaku.” Ayuna meyakinkan Tama. Dia tidak akan mungkin membiarkan Tama tetap tampil dengan keadaannya yang belum sembuh total.
“Terima kasih, Ayuna. Aku berhutang banyak padamu.” Tama puncak menepuk kepala Ayuna pelan. Ia percaya, sahabatnya itu bisa di andalkan. Ayuna tersenyum ke arah Tama, dia berjanji di dalam hati, tidak akan mengecewakan lelaki itu.
"Kakak bicara apa, sih? Masih saja sungkan padahal aku kan sudah menjadi sahabat Kak Tama. Kakak tahu kan, kalau sahabat itu harus selalu saling mendukung? Dan aku ingin menjadi seperti itu, Kak." Ayuna mengulas senyum di bibirnya, dari sorot matanya, Tama bisa melihat ketulusan gadis itu.
"Aku beruntung, memiliki sahabat seperti kamu. Di zaman sekarang, sangat sulit menemukan seorang sahabat yang benar-benar tulus. Mulai sekarang, kita harus saling membantu dan menjaga satu sama lain. kamu mau?" Tama menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda kesepakatan. Ayuna tersenyum geli, sebelum akhirnya dia mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking milik lelaki itu.
"Sepakat, mulai hari ini kita saling menjaga dan membantu. Kak Tama cepat sembuh ya, biar bisa cepat tampil lagi, pasti banyak banget yang nungguin kakak, termasuk aku." lelaki itu mengacak rambut di puncak kepala Ayuna, mereka berdua saling melempar pandangan dan tertawa bersama.