Ayuna memperhatikan satu per satu foto yang ada di kameranya. Ia sangat suka dengan hasil fotonya hari ini. Rasa lelah yang ia bawa ke rumah terasa memudar. Ia berhenti pada foto Tama tanpa pose. Ayuna tersenyum, mau dalam keadaan siap atau tidak, lelaki itu tetap menawan. Mungkin semua itu terjadi karena perasaannya terhadap Tama yang perlahan tumbuh.
"Kamu memang mempesona. Sayang sekali kamu sudah memiliki kekasih. Tapi, bukankah cinta tidak harus memiliki? Memangnya siapa yang akan melarangku memiliki perasaan padamu? Selama kamu tidak tahu, itu akan baik-baik saja, kan?" Ayuna bicara seorang diri pada foto Tama. Dia mengakui, kalau dirinya memang jatuh hati pada lelaki itu. Cinta yang tidak seharusnya, tidak pada tempatnya.
Tetapi siapa yang bisa menolak saat cinta sudah merasuk ke dalam jiwa mereka? Meskipun terkadang cinta datang di saat yang tidak tepat, tapi memang begitulah sejatinya cinta. Dia datang kepada siapa saja yang ingin dia datangi. Tanpa melihat tepat atau tidak tepat, seerti seekor kupu-kupu yang hinggap di atas bunga.
Meskipun ia tidak bisa memiliki pria itu, Ayuna tidak ragu untuk memelihara perasaannya. Gadis itu mengerti, suatu hari, perasaannya akan menyakiti dirinya sendiri. Tapi dia juga tidak bisa memaksa hatinya untuk berpaling. Apa yang terjadi nanti, tidak merubah keyakinannya. Setiap orang berhak mencintai, termasuk dirinya. Meskipun Ayuna hanya akan bisa mencintai lelaki itu dalam diam.
"Ada orang gila, tersenyum sendiri sambil lihat kamera, foto siapa sih yang di lihatin dari tadi?" Doni kepo dengan foto siapa yang diamati oleh kakaknya. Ayuna segera beringsut dan berusaha menyembunyikan kameranya. Dia tentu saja tidak akan membiarkan adiknya mengetahui siapa yang sedang di amatinya.
"Hei, kepo. Aku mau lihat foto siapa memangnya apa masalahnya denganmu?" Ayuna sedikit kesal dengan keusilan adiknya. Ya, Doni memang sering kali memaksanya untuk membagi tahu apa yang sedang disukainya, apapun itu.
"Coba aku lihat, jangan bilang itu foto Tama," Doni merebut kamera yang ada di tangan Ayuna dan ikut-ikutan melihat foto yang sejak tadi di amati oleh kakaknya. Remaja itu tampak mengamati dengan seksama sosok yang ada di dalam kamera kakaknya.
"Pantas saja kakakku tergila-gila. Lumayan juga wajahnya," remaja itu menertawakan kakaknya yang tengah kasmaran sementara Ayuna mendengus kesal dan berusaha meraih kamera itu dari tangan Doni, tapi sayangnya gadis itu kalah tinggi dengan adiknya.
"Yang pasti dia jauh lebih ganteng darimu." Ujar Ayuna dengan percaya diri. Ya, baginya tidak ada yang lebih menarik dari orang yang memiliki nama lengkap Alby Tama Raditya itu. Meskipun di masalalu, Angga pernah menduduki posisi itu. Tapi itu sudah sangat lama, jauh sebelum Ayuna mengenal Tama.
"Aku dan dia sama-sama tampan, hanya saja banyakan dia. Udah, aku mau pergi, main. Kakak jangan kebanyakan halu, takutnya stres ntar," Doni tertawa sambil berlalu. Meninggalkan Ayuna yang kembali menatap foto Tama, karena kamera yang di rebut Doni sudah kembali ke tangannya.
"Aku do'akan semoga kamu bahagia bersamanya Tama. Aku cukup mengagumi dan mendukungmu saja. Meskipun aku tadinya berharap lebih, tapi aku lebih intropeksi diri. Aku tidak pantas untukmu," Ayuna menutup kameranya. Berjalan ke kamarnya dan meletakkan kamera kesayangannya itu di etalase yang penuh dengan beberapa koleksi kamera pemberian kedua orang tuanya.
Gadis itu merebahkan diri ke ranjang. Ada sedikit terasa penat yang menyerang tubuhnya tiba-tiba. Sekilas, bayangan wajah Tama memasuki pikirannya. Cara lelaki itu berbicara, cara tertawanya, cara memandang dan yang lainnya begitu jelas. Lelaki itu, benar-benar berhasil merebut perhatiannya. Entah apa yang membuat Tama bisa merebut hatinya dalam sekejap, Ayuna sendiri tidak mengerti.
Ayuna coba mengabaikannya, tapi justru semakin terbayang. Lelaki itu sudah menjelma menjadi seperti hantu yang mengganggu pikirannya. Ayuna bangkit dari tidurnya, ia mengambil ponsel yang ada di tas kecilnya. Ia kaget saat mendapati foto infus di tangan Tama. Di tatapnya hingga lama foto tersebut, untuk memastikan pandangannya tidak salah. Bahkan, gadis itu sempat mencubit pipinya sendiri.
Ayuna, aku baru saja mengalami kecelakaan kecil. Do'akan aku cepat pulih, ya.
Caption di bawah foto itu mengabarkan bahwa Tama baru saja mengalami kecelakaan. Ayuna ragu, ia ingin menjenguk, tapi takut mengganggu bila ternyata ada Nada di sana. Untuk saat ini, dia belum cukup kuat untuk bertemu dengan pacar seseorang yang dicintainya itu. Ayuna takut perubahan sikapnya yang tidak biasa bisa tertangkap basah oleh Tama. Sementara ini, Ayuna tidak ingin lelaki itu mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
Tapi rasa tidak tenangnya, mendorong Ayuna untuk menanyakan pada Tama, apakah ia boleh menjenguknya atau tidak. Dia harus memastikan keadaan Tama. Ayuna merasa, dia harus menjenguk Tama. Ada rasa tidak tenang di hatinya.
(Ayuna)
Kak, ada siapa di sana? Apa aku boleh menjengukmu? Aku khawatir, maaf.
Ayuna mondar-mandir di kamarnya sendiri. Ia cukup menyesal karena telah mengirim pesan seperti itu. Ia takut Tama dapat membaca perasaannya. Dia Sungguh tidak boleh tahu perasaannya yang sebenarnya. Tama harus tetap merasa nyaman di sisi Ayuna sebagai sahabat.
(Tama)
Aku sendiri. Orang tuaku ke luar kota. Apa tidak.merepotkanmu? Jika kamu ingin datang, aku akan kirimkan alamat rumah sakitnya padamu.
Ayuna senang. Tama mengizinkannya untuk menjenguk, tapi terpikir oleh Ayuna, dimana Nada? Mengapa dia tidak berada di samping Tama saat ini? Apa dia tidak tahu, kalau kekasihnya sedang celaka? Tapi semua pertanyaan itu tidak penting saat ini. Ia harus menemui Tama sekarang juga. Siapa tahu pria itu tengah membutuhkan bantuan. Dia kan sahabatnya, jadi tidak ada salahnya melakukan sesuatu untuk menolongnya, sekali saja.
(Ayuna)
Tidak akan merepotkan, Kak. Cepat sebutkan alamat Rumah Sakit dimana kakak di rawat sekarang.
Ayuna segera pergi berbekal alamat yang di berikan oleh Tama. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Padahal baru beberapa menit berpisah, mengapa bisa terjadi kecelakaan? Ayuna merasa sedih, dadanya berkecamuk membayangkan Tama terluka parah. Dia segera bangkit dari tidurnya, sedikit merapikan diri dan membawa tas kecilnya untuk membawa dompet dan ponselnya.
"Semoga saja, tidak terjadi apapun. Kamu harus tetap baik-baik saja, Tama. Aku tidak akan rela, kalau sampai terjadi sesuatu padamu," gumamnya seraya jalan tergesa ke luar rumah.
Ayuna menyetop sebuah mobil taksi yang melintas di jalan tempat ia berdiri, beberapa meter dari rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia cemas memikirkan Tama.Ayuna heran, mengapa dirinya tidak bisa bersikap biasa saja? Apa mungkin karena perasaannya pada Tama berbeda? Entahlah, ia sendiri tidak dapat mengartikannya. Apa maksud dari kekhawatirannya saat ini.
Ayuna bergegas turun dari taksi setelah membayar ongkos, segera ia menanyakan kepada suster jaga di mana ruangan tempat Tama di rawat. Sebenarnya ia ingin berjalan santai saja, tapi kakinya seperti berlari secara otomatis. Rasanya begitu lamban, padahal ia sudah berlari sekuat tenaga. Rasanya, dia tidak juga maju, meskipun kakinya berlari hingga terasa sedikit kebas.
Beberapa saat kemudian, ia berdiri di depan sebuah ruangan. Di bagian atas daun pintu yang tertutup tertulis kamar tujuh belas, itu artinya ia sedang berdiri di depan ruangan dimana Tama di rawat. Perlahan, Ayuna mengulurkan tangannya untuk menarik gagang pintu itu dengan sedikit keraguan.Namun, pada akhirnya Ayuna melakukannya juga. Mendengar pintu di buka oleh seseorang, Tama menoleh ke sumber suara.
"Ayuna, cepat sekali kamu sampai kemari? Apa rumahmu di sekitar sini?" tanya Tama saat melihat Ayuna berdiri di hadapannya. Dengan napas tersengal dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Ayuna tidak segera menjawab. Ia justru memperhatikan kondisi Tama dengan jeli. Ada perban di siku tangan kanan, pelipis, lutut dan satu tangannya lagi di gendong. Sepertinya tangan Tama patah. Kadar kecemasan Ayuna bertambah. Ingin rasanya dia menangis mendapati keadaan Tama yang terluka lumayan parah.
"Kenapa bisa seperti ini, Kak?" Ayuna justru mengabaikan pertanyaan Tama. Gadis itu lebih peduli pada keadaan pria itu daripada bagaimana caranya dan darimana dia datang. Bahkan, dia tidak peduli bagaimana kacaunya dirinya saat ini, dengan rambut yang sedikit berantakan dan juga wajah yang berkeringat.
"Musibah, siapa yang tahu? Mungkin ini teguran, karena aku nakal," Tama justru menjawabnya dengan candaan. Tawa lelaki itu tidak membuat Ayuna juga tersenyum, tatapannya masih tetap serius tanpa tawa sedikitpun.
"Kak Tama masih bisa tertawa? semua ini tidak sakit kah?" tanya Ayuna keheranan.
"Tentu saja sakit. Aku tidak punya harga diri kalau harus menangis di depan seorang gadis, jadi lebih baik aku tertawa, bukan begitu?" ujar Tama masih dengan ekspresi ceria, Ayuna hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Tama. Lelaki itu bersikap biasa saja, sementara keadaannya cukup mengkhawatirkan.
"Dasar sok kuat, coba sini aku cubit lukanya," ancam Ayuna sambil mengulurkan tangannya pura-pura akan mencubit tangan Tama yang terluka. Lelaki itu segera beringsut menghindar.
"Jangan Ayuna, tega sekali padaku kalau kamu sampai melakukan itu. Kamu pikir, aku tidak menahan sakit ini setengah mati?" omel Tama, meringis merasakan lukanya yang mulai cenat-cenut. Ayuna terkekeh. Tama ternyata tidak sekuat yang terlihat. Dia hanya berpura-pura terlihat baik.
Tama berusaha terlihat seolah baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya lelaki itu sedang berusaha tegar di hadapan sahabatnya. Kedatangan Ayuna membuat Tama merasa masih ada orang yang mempedulikannya.
"Makanya, nggak usah sok kuat deh, kakak pasti belum makan, biar aku yang suapin ya," Ayuna tanpa aba-aba langsung mengambil mangkuk berisi bubur yang terletak di atas meja dan mulai menyendoknya, sementara Tama hanya bengong, ia bertanya-tanya dalam hatinya, benarkah Ayuna akan menyuapkan makanan ke mulutnya?
"Hei Kak..., kenapa sih?" Ayuna melambaikan tangan di depan wajah Tama agar lelaki itu sadar dari kebengongannya.
Tama tersadar setelah beberapa saat. Lelaki itu mendehem, berusaha bersikap senormal mungkin di hadapan Ayuna. Dia tidak ingin Ayuna menyadari kalau dia sedikit terkejut dengan sikap sahabat yang sangat perhatian terhadapnya.
"Eh, nggak. Aku bisa makan sendiri kok. Tenang saja," Tama berusaha merebut mangkuk bubur itu dari tangan Ayuna, tetapi gadis itu menghindar. Dia mempertahankan mangkuk itu berada di tangannya.
"Jangan sok kuat, tangan Kakak masih sakit, tenang , aku tidak akan minta bayaran untuk ini," Ayuna bersikeras, ia menyendok makanan yang ada di mangkuk dan bersiap menyuapkannya ke Tama.
Setelah sedikit berdebat, akhirnya Tama menyerah dan mengizinkan Ayuna untuk menyuapkan bubur ke mulutnya. Meskipun awalnya sedikit canggung, akhirnya ia memakan semuanya sampai habis tak bersisa. Tama justru berpikir, seharusnya ini menjadi tugas Nada, bukan Ayuna. Tapi lelaki itu bersyukur, setidaknya di saat terluka seperti sekarang, ada Ayuna yang mau mengurusnya dengan baik.
"Ayuna, terima kasih." Tama tersenyum, dia merasa berhutang budi pada Ayuna. Sahabatnya itu sudah menggantikan Nada untuk merawatnya.
"Ini sudah tugasku sebagai seorang sahabat, Kak. Oh ya, kakak sudah menghubungi orang tua kakak?" tanya Ayuna sambil membereskan peralatan makan Tama. Dia tidak merasa keberatan, justru bahagia bisa merawat Tama di saat lelaki itu terluka seperti sekarang.
“Sudah, mereka akan segera pulang. Kamu sudah makan belum? Maaf ya, aku tidak bisa membelikanmu makanan.” Tama tidak enak hati karena tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
“Tenang, Kak. Aku bisa beli makan sendiri, kok. Mendingan, sekarang Kakak istirahat. Aku akan menemani Kakak sebentar lagi.” Saran Ayuna. Tapi lelaki itu justru menegakkan tubuhnya.
“Aku nggak ngantuk, kalau gitu, temani aku ngobrol saja. Oke?” pintanya, Ayuna pun duduk di pinggir ranjang untuk memenuhi permintaan lelaki itu.
“Baiklah...,” Ayuna tidak keberatan. Dia ingin menemani Tama lebih lama. Hingga hari menjelang sore, Ayuna tetap tinggal di rumah sakit menemani Tama.