Hari ini,Tama mengunjungi Nada ke rumah sakit. Sudah hampir dua minggu ia belum menjenguk kekasihnya itu, hanya melihatnya via panggilan Video yang di lakukannya bersama ibu Nada. Di perjalanan menuju rumah sakit, Tama menyempatkan diri, membeli satu buah buket mawar putih kesukaan Nada. Dulu, sebelum Nada koma, Tama selalu membawakan bunga mawar putih setiap ia datang berkunjung ke rumah kekasihnya itu.
Ada banyak hal yang mengganggu pikiran Tama akhir-akhir ini. Ada rasa gelisah setiap membayangkan Nada terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Hampir enam bulan, belum ada juga seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya. Memang donor ginjal bukanlah sesuatu yang sepele, itulah mengapa, wajar saja kalau sampai hari ini, Nada belum mendapatkannya.
Tama sudah sempat mengecek ginjalnya, tapi sayangnya, tidak ada kecocokan antara ginjal miliknya dengan dia dan menurut dokter, kemungkinan berhasilnya sangat rendah. Sebagai kekasihnya, terkadang Tama merasa tidak berguna. Dia tidak bisa berbuat apapun di saat Nada kritis seperti sekarang.
Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk tiba di rumah sakit tempat Nada di rawat. Tama menatap hampa gedung putih yang telah menjadi penjara bagi gadis yang dicintainya itu. Ini adalah kesekian kalinya ia menapakkan kaki di tempat Nada tergeletak tidak berdaya dengan berbagai alat menempel di tubuhnya.
Wanita itu tidak pernah bicara. Ia hanya menitikkan air mata setiap dirinya datang. Tama tidak bisa menebak, apa yang di katakan oleh Nada, mungkin, dia mulai bosan menanti keajaiban, atau dia takut, kalau pada akhirnya tidak ada seorangpun yang sudi memberikan ginjalnya untuk membuatnya bertahan hidup, entahlah. Tama masih belum bisa mengetahui jawaban pastinya.
Tama melangkahkan kakinya cepat. Dia ingin segera bercerita dengan pujaan hatinya itu. Ada sebongkah kerinduan yang terpendam di hatinya. Tama ingin Nada tahu, bahwa ia sangat merindukan segalanya, senyuman, canda tawa dan kebersamaan dengannya, semuanya. Tama ingin kembali di masa itu.
Ia menarik gagang pintu dengan plang nama Ruang Melati 12, hal yang di lihatnya masih sama, Nada masih terbaring tanpa daya. Ibu Nada menyambutnya, Tama menyapanya ramah sambil mencium punggung tangan milik wanita itu.
“Ada perkembangan, Bu?” tanyanya seraya menatap kekasihnya yang kali ini memejamkan mata. Ibu Nada menggeleng. Dia tidak menangis seperti biasanya, kali ini, ibu dari orang yang dicintainya itu tampak sangat tegar. Mungkin, air matanya telah mengering untuk menangisi putri semata wayangnya yang tidak berdaya itu.
“Ibu sudah pasrah, Tama. Ibu tidak terlalu berharap lagi, Nada akan menemukan donor ginjalnya. Ibu sudah merelakan, jika akhirnya Nada harus pulang. Itu lebih baik, mungkin dengan Nada pulang, dia tidak akan lagi merasakan sakit seperti sekarang.” Kalimat itu ibu Nada ucapkan dengan datar. Tidak ada emosi di dalamnya. Tama memandang Nada dengan tatapan tidak tega, air mata lelaki itu menitik. Ia tidak bisa membayangkan kalau akhirnya dia hanya bisa menjadi penghantar kekasihnya menuju peristirahatan terakhir. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya sesak.
“Ibu, Ibu jangan pesimis. Kita harus percaya, Allah akan membantu kita, Allah akan mengulurkan tangannya untuk menolong Nada. Suatu hari, Nada pasti akan mendapatkan donor ginjal yang tepat. Aku belum ingin melihat dia pergi, Ibu. Aku ingin menikah dengan Nada.” Tama memeluk ibu Nada dengan hangat, seperti ibu kandungnya sendiri.
“Semakin berharap, ibu merasa semakin sakit, Tama. Mengikhlaskannya justru membuat ibu menjadi tegar menghadapi kenyataan kalau Nada memang berada di antara hidup dan mati. Tama, titip Nada dulu, ibu mau ke kantin sebentar.” Pesan wanita itu sebelum melangkah ke luar ruangan.
“Baik, Bu.” Jawabnya cepat. Ia mengangkat kursi plastik yang berada tidak jauh dari ranjang Nada. Menempatkan kursi itu tepat di samping kekasihnya. Tama menggenggam tangan Nada, mengangkatnya dan mendekapnya dengan kedua telapak tangannya. Sebelum itu, ia sempat meletakkan bunga yang di bawanya tepat di samping atas tempat tidur Nada.
“Selamat pagi, Nada, Sayangku. Maaf, aku baru bisa datang menjengukmu. Beberapa hari ini, aku sibuk pentas dan juga banyak menghabiskan waktu bersama sahabat baruku. Namanya Ayuna, dia seumuran sama kamu, tapi kamu nggak perlu cemburu, Sayang. Dia hanya sahabatku. Anaknya baik, dia juga bilang, ingin sekali melihat keadaanmu, dia ingin berkenalan denganmu, kalau kalian berdua bertemu, kalian pasti akrab. Kamu dan dia memiliki kesamaan, kalian sama-sama suka baca n****+. Kamu tahu, kemarin Ayuna memberiku sebuah n****+, bagus, aku sudah membacanya. Nanti kalau kamu sudah menemukan donor yang cocok, kamu sudah sehat, kita baca buku itu bersama, ya.”
“Nada, jangan pernah menyerah,ya. Aku yakin, sebentar lagi pasti ada orang yang baik dan mau mendonorkan ginjalnya buat kamu. Kamu akan sehat dan ceria lagi seperti dulu. Kamu dulu bilang sama aku, kamu pengen pergi ke puncak, bawa ibu, iya kan Sayang? Aku akan kabulkan itu nanti. Di sana kita akan menghabiskan waktu bersama. Aku juga ingin melamarmu, aku mau menikah denganmu.”
“Sayang, kamu harus tahu, kalau aku merasakan kesepian setelah kamu terbaring di sini. Biasanya setiap malam minggu kita makan di luar, atau terkadang di hari minggunya kita jalan ke mana, sekarang aku dan kamu tidak bisa melakukan rutinitas itu lagi. Kemarin, aku menemani Ayuna pergi ke toko buku, aku sampai menggandeng tangannya. Aku pikir itu kamu, rasanya sampai merasa bersalah banget. Aku juga merasa bersalah sama kamu jadinya. Kamu jangan marah, aku pastikan kalau aku tidak ada perasaan apapun dengan Ayuna. Aku hanya mencintai kamu.”
“Ayuna juga mendo’akan kesembuhanmu, Sayang. Dia bilang, dia akan menjadi tamu spesial di pernikahan kita nanti. Kamu masih ingat kan, kalau kamu mau kita nanti punya empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan? Kamu bahkan sudah menyiapkan nama buat anak kita nanti. Nada, jangan pernah menyerah, aku dan ibumu menantikan kesembuhanmu, kamu harus bertahan untuk kami.”
“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya jika harus kehilanganmu. Kamu sangat berarti bagiku, Nada, lebih dari apapun. Kamu hanya perlu menunggu, sebentar lagi, sebentar lagi kamu akan mendapatkan donor itu.” Tama membelai pipi Nada perlahan. Titik-titik air matanya telah berjatuhan sejak ia mengucapkan kalimatnya yang pertama. Lelaki itu merasakan kepedihan yang mendalam di hatinya. Seandainya saja ginjalnya cocok, dia pasti akan memberikan satu ginjalnya untuk Nada tanpa keberatan. Tapi takdir tidak membuatnya bisa melakukan itu. Dia hanya bisa menangisi Nada tanpa bisa berbuat apapun.
Di luar ruangan, ibu Nada menangis. Ketegarannya runtuh saat mendengar ucapan Tama. Dia juga sangat mengharapkan kesembuhan Nada lebih dari Tama. Sebagai seorang ibu, dia juga tidak bisa melakukan apapun. Dia hanya bisa memaksakan dirinya untuk pasrah dan siap menerima kenyataan terburuk yang mungkin akan menimpa putrinya.
Dia tidak pernah lupa, bagaimana manjanya Nada padanya. Gadis itu selalu bergelayut padanya seperti balita. Terkadang, saat ia sedang makan, Nada tiba-tiba datang dan meminta di suap dengan nasi yang di makannya. Nada juga selalu menceritakan hal apa yang dikerjakannya bersama Tama setiap mereka pulang jalan-jalan. Gadis itu juga tidak pernah lupa membawakan martabak manis kesukaannya. Sekarang ini, ibu Nada merasa putrinya sangat jauh, meskipun berada dekat di sisinya.