Angkot yang Tama dan ayuna tumpangi berhenti di depan pusat perbelanjaan yang lumayan terkenal di daerah mereka “Dinamic Square”. Setelah Tama membayar ongkos kepada sopir angkot yang mereka tumpangi, Tama menggandeng Ayuna untuk menyeberang menuju ke supermarket yang ada di hadapan mereka.
Saat itu, jantung Ayuna berdegup kencang, di sedikit gemetaran, bahkan tangannya yang berada dalam genggaman Tama mengeluarkan keringat dingin. Jujur, Ayuna merasa sangat bahagia berada dalam posisi sekarang bersama Tama. Seandainya lelaki di sisinya itu adalah kekasihnya, mungkin Ayuna bisa membalas menggenggam erat tangan Tama, sayangnya itu hanya ada di dalam imajinasinya saja.
Saat melangkahkan kaki masuk ke dalam supermarket, keduanya bisa merasakan pergantian udara panas di luar menjadi sejuk. Hiruk pikuk pengunjung sudah menjadi ciri khas seluruh pusat perbelanjaan. Suara sepatu berdecit karena bergesekan dengan lantai yang halus juga terdengar di beberapa sudut.
“Mau makan dulu?” tanyanya saat mereka melewati restoran ayam goreng yang letaknya di dekat pintu masuk supermarket.
“Nanti aja, Kak. Kita langsung ke toko buku saja dulu, mumpung masih sepi.” Sahut Ayuna seraya memeriksa keadaan toko buku yang berseberangan dengan restoran ayam goreng tersebut.
“Ya sudah, ayo!” Tama tanpa sadar masih menggenggam tangan Ayuna dan menariknya perlahan ke toko buku. Meskipun sempat berhenti, Ayuna tetap mengikuti langkah Tama.
“Selamat berbelanja,” sapa pelayan toko buku itu dengan ramah. Ayuna mulai gelisah karena Tama tidak juga melepas tangannya.
“Kak...,” katanya pelan dan sangat hati-hati. Dia takut akan ada orang lain di sekitar mereka yang mendengar.
“Ada apa?” Tama balik bertanya. Pemuda itu ikut memelankan suaranya.
“Bisa tolong lepasin tangan aku, nggak?” jawab Ayuna masih dengan penuh hati-hati sambil melihat ke arah tangan Tama yang menggenggam erat pergelangan tangannya.
“Eh, maaf. Kebiasaan kalau jalan dengan Nada. Kamu pasti nggak nyaman, sekali lagi aku minta maaf,ya.” Tama menjadi sedikit salah tingkah. Saat Ayuna menegurnya, lelaki itu langsung melepaskan tangannya secepat kilat.
“Ah, iya Kak. Nggak apa, kok. Hanya saja aku malu di lihat orang, ini kan tempat umum. Kakak jangan tersinggung, ya.” Ayuna merasa tidak enak pada Tama. Dia takut lelaki itu salah paham.
“Santai, aku paham kok maksud kamu. Yuk, mulai cari apa yang mau kamu beli.” ajak Tama. Lelaki itu tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk membahas mereka bergandengan tangan.
Ayuna mengiyakan perkataan Tama. Dia mulai berjalan ke arah rak n****+, ia berencana untuk membeli beberapa n****+ selain buku diari. Sementara Tama yang tidak hobi membaca , hanya berjalan-jalan sambil melihat-lihat. Sesekali, Tama mengamati Ayuna yang begitu serius membaca blubr yang tertera di cover belakang n****+ yang bergantian di lihatnya.
Ayuna memilih tiga n****+ dan satu buku diari berwarna merah muda. Lalu dia mengajak Tama untuk keluar toko. Ayuna mengantri di kasir untuk membayar. Mungkin karena terlalu lama mencari, menjadikan jadwal antrian di kasir cukup panjang. Tama mengikuti Ayuna tanpa di sadari oleh gadis itu. Ia berdiri tepat di belakang Ayuna.
“Berapa totalnya, Mbak?” tanya Ayuna pada kasir yang melayaninya.
“Totalnya tiga ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah, mau cash atau pakai kartu kredit, Kak?” tanya pegawai kasir itu dengan sopan.
“Cash saja, Mbak.” Tama menyahut, seraya meletakkan uang ratusan ribu empat lembar. Ayuna terkejut dan dia tidak bisa membiarkan Tama membayar semua buku-bukunya, apalagi nilainya cukup banyak.
“Kak, biar aku saja.” Katanya sambil menyodorkan uang yang Tama taruh tadi kembali ke pemiliknya.
“Sudah, jangan sungkan. Aku yang akan membayar semuanya.” Tama tetap menyodorkan uang itu kepada petugas kasir.
“Wah, pacar Kakak baik sekali, mau membayar belanjaan Kakak. Kalau saya sih seneng di traktir,” celetuk petugas kasir itu membuat Ayuna terkesiap.
“Tapi dia bukan...,”
“Maklumi saja, Mbak. Pacar saya ini suka malu-malu.” potong Tama. Seketika kalimat itu membuat pipi Ayuna memerah.
Keduanya segera keluar dari toko buku setelah menyelesaikan p********n. Ayuna segera menyeret Tama dan membawanya ke sisi supermarket yang sedikit sepi.
“Kak, ini aku balikin uang Kakak, jumlahnya kan lumayan, itu bisa menghabiskan upah satu kali manggung Kakak.” Ayuna menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada Tama, tetapi lagi-lagi lelaki itu menolaknya.
“Aku ikhlas, Kok. Kita itu kan sahabat, kamu juga sudah banyak bantu aku. Tolong biarkan sekali-sekali aku juga menyenangkanmu, Ayuna. Jangan di tolak, plis. Kalau kamu nolak, aku sedih, serius.” Melihat Tama yang justru memelas, akhirnya Ayuna memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet.
“Tapi, lain kali biarkan aku yang mentraktir kakak. Terima kasih untuk bukunya. Kalau begitu, Kakak harus mau terima ini, anggap ini n****+ kenangan dariku. Kalau Kakak nggak suka, nggak perlu di baca, kok dan aku nggak mau dengar penolakan.” Ayuna menyodorkan salah satu n****+ dari tiga pilihannya.
“Baiklah, terima kasih hadiahnya, Ayuna.” Tama menerima pemberian Ayuna.
“Kak, mau makan es krim nggak? Di sebelah sana, ada es krim yang enak banget. Ada bangkunya juga buat kita santai dan ngobrol. Kali ini aku yang traktir, titik.” Ayuna segera menegaskan, ia tidak mau lelaki di sampingnya itu mengeluarkan isi dompetnya untuknya lagi.
“Karena kamu memaksa, aku setuju. Aku juga sudah lama tidak memakan es krim.” tujuan Tama memang menemani Ayuna, jadi dia tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan dari sahabatnya itu.
Mereka berjalan beriringan ke area tempat penjual es krim itu berada. Tidak jauh dari toko buku, hanya lebih masuk ke dalam kurang dari sepuluh meter. Ayuna meminta Tama menunggunya di bangku sementara dirinya menghampiri penjual es krim yang berjaga di kedainya.
“Dua cup besar, Om. Rasa coklat vanilla, topingnya meses sama kacang ya,” suara Ayuna terdengar di telinga Tama. Lelaki itu membaca cover dari buku pemberian Ayuna yang berjudul Sahabatku Imamku. Tama tersenyum membaca judulnya, ia segera meletakkan buku di tangannya ke bangku dan menyambut kedatangan Ayuna dengan sumringah.
“Enak nggak, Kak?” tanya Ayuna saat Tama memasukkan suapan pertamanya ke dalam mulut.
“Enak banget, kalau deket, aku mau setiap hari beli.” Kelakarnya, “Aku tadi sempet baca judul n****+ yang kamu kasih, memangnya ada ya, sahabat yang akhirnya jadi suami di dunia nyata?” tanyanya, Ayuna tersenyum. Mungkin, di dalam pikiran Tama, seluruh orang yang menikah itu harus pacaran dulu atau setidaknya bukan berstatus sahabat sebelumnya.
“Ada, kok. Mungkin Kakak hanya belum pernah menemui kejadian nyatanya di sekitar Kakak saja. Menurutku, tidak ada salahnya, sahabat akhirnya menikah, asal keduanya saling mencintai.” Komentar Ayuna. Sebenarnya dia memilih buku itu karena, ia juga jatuh hati pada sahabatnya sendiri. Mungkin cerita itu bisa menghiburnya, meskipun kenyataannya, ia tidak mungkin bisa menggapai Tama.
“Memang nggak ada salahnya, sih. Kadang yang sepupuan aja nikah, apalagi hanya sahabat. By the way, kalau kamu di tanya target kapan nikah, kamu mau jawabnya kapan?” tanya Tama iseng, Ayuna berpikir sejenak.
“Seketemu jodohnya, lah.” Jawabnya sambil tertawa.
“Wah, sepemikiran kita. “
“Tapi kan, Kakak sudah ada gambaran mau nikah sama siapa, kalau aku masih abu-abu.” Ayuna mengaduk-aduk es krim yang ada di gelasnya.
“Sabar, nanti kalau sudah pada saatnya, akan tiba waktunya kamu tahu, siapa jodoh kamu yang sebenarnya.” Komentar Tama menyemangati.
“Kakak bener, sih. Terima kasih, Kakak.”
Setelah makan es krim, mereka bermain di game zone, ada banyak permainan yang mereka mainkan. Sejenak mereka seakan lupa siapa mereka dan apa hubungan keduanya. Baik Tama ataupun Ayuna, keduanya tampak saling melebur satu sama lain. Mereka tertawa lepas seakan tidak ada beban pikiran yang tengah mereka rasakan.
"Ayuna, setelah ini kita makan nasi goreng spesial di lantai dua, yuk! Rasanya enak banget, juara, masakan kita mah udah pasti kalah telak, kamu harus cobain. Aku dan keluarga sering makan bareng di sana." Ayuna yang sangat menyukai nasi goreng tentu saja tertarik dengan ajakan Tama.
"Kali ini, biar aku saja yang traktir Kakak,"
"Tadi kan udah, sekarang giliran aku lagi. Wajar tahu, kalau seorang cowok ngajak jalan itu harus ngejajanin cewek, bukan sebaliknya." protes Tama.
Bagi Ayuna, Tama adalah sosok cowok yang tidak hanya manis, tapi juga baik hati, ramah, royal, hampir seluruh kriteria pacar idaman Ayuna ada di dalam diri Tama.
"Ya sudahlah, malahan uangku jadi utuh. Jangan salahkan aku ya... kalau setelah dari sini, uang Kak Tama habis." Ayuna berjalan lebih dulu ke arah lift, terpaksa Tama harus berlarian kecil mengejar Ayuna yang bergerak gesit.
"Geraknya cepet banget sih, belut juga kalah cepat." kata Tama setengah berbisik setelah berhasil mengejar ketertinggalannya.
"Kakak tuh, yang lambat. Sudah seperti keong emas tahu, nggak?" balas Ayuna sambil memeletkan lidahnya.
"Berani kamu ya, ngejekin aku." Tama mengacak rambut Ayuna sekilas.
"Kak Tama ngeselin!" Ayuna mencubit lengan lelaki itu, Tama tidak sempat menghindar dan terpaksa pasrah mendapat cubitan kecil dan panas dari sahabat wanitanya itu.
"Biarpun ngeselin, tapi aku tetap manis," kata Tama menyombongkan diri.
"Manis kata siapa? Pede banget!" cibir Ayuna,
"Nyenengin aku dikit kenapa, sih?"
"Ogah."
Perdebatan kecil mereka berlanjut sampai keduanya masuk ke dalam resto khusus menu masi goreng. Tama dan Ayuna akhirnya berhenti berdebat saat keduanya mulai menikmati makanan.