Andri menunggu Aira di depan kamarnya, namun entah apa yang dia kerjakan di dalam. Sudah setengah jam Andri menunggunya namun, Aira tak kunjung keluar.
“Aira, kamu masih lama?” Andri sedikit berteriak.
“Sebentar aku masih menyiapkan keperluan Shiro!” sahut Aira dari dalam kamarnya.
“Shiro lagi, sebenarnya itu binatang apaan sih. Awas aja dia bawa binatang aneh-aneh,” gumam Andri. Mengingat dirinya tidak suka jika rumah kotor.
“Aku tunggu di mobil,” kata Andri lalu segera keluar.
Andri menunggu Aira di dalam mobilnya. Tak berselang lama Aira keluar dari dalam rumah membawa sebuah tas khusus bintang dan juga koper miliknya.
“Dasar kejam, lihat aku kesusahan bawa barang bukannya bantuin. Malah melamun, dasar nggak peka,” gerutu Aira. Sambil berjalan menuju ke arah bagasi mobil.
Aira membawa Shiro menuju ke kursi depan.
“Eh, siapa suruh kamu bawa kucing ke sini?” kata Andri tidak suka, melihat keberadaan kucing Aira.
“Lah terus aku taruh di mana? Pokoknya kalo Shiro nggak ikut duduk di depan aku nggak mau ikut kamu pulang,” ancam Aira.
Andri nampak melirik ke arah Aira beberapa detik, “ ... Ya udah deh ayo buruan.”
Mendengar perkataan istrinya, mau tidak mau dia mengikuti kemauannya. Padahal dirinya alergi dengan kucing.
Seperti yang sudah-sudah, ketika kucing memasuki mobil Andri tidak berhenti bersin.
“Hachi!” Andri terlihat kesal sembari menggosok-gosok hidungnya. Sebenarnya Aira juga merasa tidak setelah melihat Andri tak berhenti bersin.
Setelah Aira menaiki mobil dan memasang sabuk pengaman, Andri segera menyalakan mesin mobilnya. Kali ini dia sudah tidak tahan lagi, mau tidak mau dirinya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Kamu mau bunuh kami ya?” teriak Aira sambil komat-kamit berdoa dalam hati. Ya siapa juga yang mau mati cepat, baru juga nikah udah mau di bawa ketemu malaikat maut. Yah setidaknya kasih kesempatan buat menikmati hidup dulu ya kan. Begitulah pemikiran Aira saat ini.
“Diam, aku udah nggak tahan,” ujar Andri.
“Aku tahu, kamu mau ketemu sama malaikat Izroil. Tapi jangan bawa aku juga dong,” sahut Aira lalu menutup matanya karena takut.
Andri berdecak kesal, lalu ia segera menambah kecepatan mobilnya. Jarak yang seharusnya di tempun sampai tiga puluh menit. Bahkan bisa di tempuh dalam waktu lima belas menit oleh Andri.
.
Aira berjalan mendahului Andri menuju ke dalam rumah.
“Loh, mana Andri?” tanya Sinta, ketika hanya melihat Aira yang masuk sendiri.
“Di belakang tante,” jawab Aira.
“Kamu masih manggil tante aja, panggil Mama dong Ra,” kata Sinta membenarkan.
“Akh, iya Tant, eh ... ma.” Aira nampak tersenyum kikuk. “Aira masuk ke dalam dulu ya Ma.”
“Iya. Kamu istirahat gih,” kata Sinta lalu pergi meninggalkan Aira sendiri.
“Nah, di suruh istirahat. Terus aku tidur di mana coba malam ini?” gumam Aira dalam hatinya. Sementara Sinta tidak memberi tahu di mana Aira harus tidur malam ini. Rumah Sinta memang besar, tapi anehnya hanya ada dua kamar saja di rumah itu.
Aira masih berdiri dengan bingung. Andri datang sambil membawa koper milik istrinya. Melihat Aira bingung, Andri langsung memahami maslah Aira saat ini. Kamar. Itulah yang bakal jadi masalah baru nanti.
Kali ini tebakan Andri memanglah benar.
“Masuk!” Andri mendorong Aira mengarah ke dalam pintu kamar.
“Wait-wait, kita?” Aira menunjuk dirinya lalu menunjuk ke arah Andri bergantian.
“Tidur sekamar,” sahut Andri lalu melanjutkan mendorong Aira ke dalam kamar, segera menutupnya. Takut jika sang Mama akan semakin mengaturnya nanti. Untuk sementara, sampai acara tujuh harian sang Kakek, Aira dan Andri harus tinggal bersama dengan orangtuanya.
“Apaan sih, jangan sentuh aku!” pekik Aira.
“Udah kayak drama sinetron, yang di tonton Mama tahu nggak kamu,” sindir Andri, lalu segera membuka satu persatu kancing bajunya. Ia sudah tidak tahan mengenakan stelan baju yang basah dan kering di badan dari pagi. Perasaannya bahkan sudah tidak enak.
“Stop!” teriak Aira. Ia mulai panik, jika suaminya meminta haknya saat ini. Bukan karena apa, jujur Aira masih belum siap menghadapi hal itu.
“Apa lagi sih!” Andri menghentikan ritual membuka kancing bajunya yang baru dapat setengah.
“Ngapain kamu buka baju di sini?”
“Lah mau di mana lagi coba? Ini kan kamarku, lagian seharusnya kamu bersyukur. Bisa lihat badan aku yg keker ini,” kata Andri dengan begitu Pe-Denya.
“Dih, Narsis. Ingat ya. Jangan macam-macam!” Aira membalik badannya membelakangi Andri, “keker sih. Tapi nggak begitu juga,” kata Aira di dalam hatinya.
“Nggak macam-macam, cuma satu macam aja.”
Andri segera menanggalkan bajunya, dan menghilang memasuki kamar mandi.
“Nah, Shiro, kita mulai malam ini tidur di kamar ini. Kamu jangan rewel ya,” kata Aira kepada kucingnya yang berwarna putih.
“Kenapa kamu bawa dia masuk ke sini?” kata Andri yang saat ini berdiri di atas Aira.
Aira dengan reflek mendongak ke atas, netra mereka saling beradu untuk beberapa saat.
Deg.
Pipi Aira mendadak merona karena menahan malu.
“Apaan sih, bikin kaget tau nggak,” gerutu Aira.
“Taruh saja dia di luar, nggak bakal ilang. Aku nggak bisa terlalu dekat dengan kucing,” kata Andri yang tidak terima jika harus tidur satu kamar dengan binatang berbulu lebat itu.
“Tapi dia sudah aku anggap seperti anakku sendiri,” tolak Aira.
“Nanti kita bikin anak sendiri, jangan yang berbulu. Aku alergi, hachu hachu ....” Andri segera berpindah menjauh dari Aira dan juga kucingnya.
“Tunggu!”
“Apa lagi?” sahut Andri.
“Aku tidur di mana?”
Andri menunjuk tempat tidur berukuran Queen miliknya menggunakan dagunya.
“Kamu nggak salah?” tanya Aira.
“Nggak ada yang salah kok. Terus kamu mau tidur di mana? Sama Mama dan Papa?” jawab Andri sekenannya.
“Enak aja, jangan ngadi-ngadi kamu. Maksud aku tuh, setidaknya kan ada sofa jadi aku bisa tidur di sofa.”
“Ada kok, di luar,” jawab Andri.
“Hish, ngeselin. Ya kali aku tidur di luar, apa kata Mama coba?” Aira pergi meninggalkan Andri, yang sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil memandangi layar ponsel pintar miliknya.
“Ini yang nggak aku suka kalo menikah. Semua dibikin ribet,” guman Andri.
“Aku masih bisa dengar,” tariak Aira.
“Tajam juga telinganya.”
Andri tidur sambil merentangkan badannya yang terasa kaku karena seharian Beraktifitas.
.
Di dapur Sinta sudah selesai memasak makan malam untuk keluarganya.
“Tumben, Andri belum keluar dari kamarnya,” gumam Sinta, yang ternyata di denger oleh suaminya.
Arifin memeluk Sinta dari arah belakang.
“Kamu kayak nggak pernah ngrasain jadi pengantin baru aja,” bisik Arifin.
“Apaan sih Pa, jangan begini dong. Malu kalo diliat anak-anak,” kata Sinta berusaha melepaskan pelukan suaminya.
Arifin hanya tersenyum melihat istrinya yang malu-malu.
.
“Yah dia tidur, malah aku lapar lagi,” kata Aira yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aira membuka kopernya lalu mencari makan untuk Shiro.
“Shiro, kamu lapar Nak?” tanya Aira mendekati kucing kesayangannya.
Binatang berbulu lebat itu hanya bisa mengeong, menjawab ucapan Aira.
“Di mana aku taruh ponselku ya?” gumam Aira mencoba mengingatnya. Ia berdiri mengamati seluruh kamar, matanya tertuju pada benda pipih yang ada di samping Andri.
Aira berjalan perlahan-lahan agar dirinya tidak menganggu tidur Andri.
Entah apa yang dipikirkan oleh Aira, yang seharusnya dia mengambil ponsel dari arah kiri agar lebih mudah, dia malah mengambil dari sebelah kanan ranjang di mana Andri terlelap.
“Gimana ambilnya coba?” gumam Aira.
Pelan-pelan dia merain ponselnya, mengulurkan tangannya di atas badan Andri.
Seketika itu, Andri membulatkan matanya dengan sempurna. Aira yang kaget malah terpeleset, tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya.
“Aaa!” teriakan Aira, membuat Sinta yang mendengar langsung berlari ke kamar putranya, takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Pintu kamar di buka oleh Sinta, pemandangan pertama yang dia lihat adalah adegan antara Aira dan Andri yang saling bertumpang tindih. Aira dan Andri saling menatap sesaat, sebelum keduanya dengan kompak menoleh ke arah pintu yang terbuka.
Aira segera turun dari atas Andri.
“Ma ini, nggak seperti yang mama kira,” teriak Aira mencoba menjelaskan kepada ibu mertuanya.
“Ehem, sepertinya Mama salah dengar deh. Tapi seperti ada yang teriak,” kata Sinta seolah tak melihat Andri dan Aira. Dengan cepat Sinta menutup kembali pintu kamar Andri.
“Hi hi, untung belum kebablasan. Dasar teledor, bukannya mengunci pintu,” gumam Sinta lalu pergi menuju ke meja makan.
“Kenapa Ma?” tanya Arifin.
“Sepertinya kita nggak lama bakalan punya cucu deh Pa,” bisik Sinta.
“Alhamdulillah dong kalo gitu.” Arifin nampak berbinar mendengar ucapan istrinya
.
Aira merasa canggung setelah kejadian yang menipanya hari ini. Bagaimana tidak, pasti ibu mertuanya akan memikirkan hal yang tidak-tidak setelah melihat kejadian tadi. Memergoki dirinya dalam posisi yang membuat Ibu mertuanya berpikiran yang tidak-tidak.
“Sudah, ayo makan. Mama sudah nungguin kamu tuh. Anggap aja yang tadi itu nggak terjadi apa-apa.”
“Enak aja, aku malu.”
“Pilih keluar kenyang, apa malu tetep lapar?”
Aira nampak menimang ucapan Andri, kalo dirinya lapar pasti akan semkin susah untuk tidur “Iya deh, aku keluar. Nyebelin banget sih, coba kamu nggak bangun. Pasti yang tadi nggak kejadian,” gumam Aira.
Kedua pasangan pengantin baru itu keluar secara bersamaan. Mungkin hanya Aira yang terlihat malu saat ini, karena Andri masih terlihat biasa saja dengan wajah datarnya.
“Ayo makan dulu, jangan sampai kamu kelaparan nanti malam.” Sinta menyiapkan piring untuk anak dan menantunya.
“Biar Aira saja Ma,” tolak Aira ketika Sinta hendak mengambilkan makan untuk dirinya dan juga Andri.
“Wah, jadi inget jaman pengantin baru ya Ma,” kata Arifin sedikit menggoda.
“Sudah, Pa, jangan menggoda Aira terus. Yang ada dia nggak jadi makan nanti,” jelas Andri.
Arifin hanya tersenyum melihat anak dan juga menantunya.
“Oh iya Ra, kamu bakal lanjut lagi, kuliah dan kerja?” tanya Sinta penasaran. Menurutnya jika Aira tidak melanjutkan kerja juga sekarang kebutuhan sudah dipenuhi oleh Andri.
“Iya Ma, itupun jika Kak Andri mengizinkan,” kata Aira.
“Biar kami sendiri yang bahas masalah rumah tangga, Ma,” sahut Andri.
Perbincangan saat makan malam terasa begitu mengalir.
Kini saatnya Aira dan Andri kembali untuk tidur ke kamarnya.
“Ini batas, kamu nggak boleh melewati guling ini,” kata Aira, sambil menaruh guling di tengah tempat tidurnya.
“Oke, kalo kamu yang melanggar. Aku boleh dong hukuman buat kamu?” sindir Andri
“No, tidak akan mungkin itu terjadi,” sahut Aira dengan percaya diri.
“Oke, kita lihat nanti siapa yang bakal melanggar duluan.”
Karena kelelahan, dalam waktu lima menit Aira sudah terlelap dalam mimpinya. Seperti ucapan Aira tadi siang, dia bahkan tidur tidak bisa diam. Bahkan saat ini Aira yang telah melanggar batas tidurnya.
“Kalo begini modelnya tidur, bakal nyiksa banget,” Gumam Andri ketika sesuatu di bagian bawahnya sudah terbangun. Karena ulah Aira yang tanpa sengaja memegang benda sakti miliknya.