SWFA-Kehilangan

1303 Words
Aira merasakan sakit,di kepala bagian belakangnya. Mungkin ketika pingsan dia tanpa sengaja terbentur batu nisan yang ada di pemakaman. Ia berusaha membuka matanya namun masih terasa berat. Ketika matanya terbuka, ia mendapati Andri sedang duduk di sampingnya. Ia menyadari jika saat ini, dirinya bukan terbaring di kamarnya. Melainkan kamar Andri. Nampak jelas dari dekorasi dan furniture yang khas milik pria. Terlebih juga aroma maskulin yang dia yakini milik Andri. “Kamu sudah bangun?” Andri terlihat menatap Aira beberapa detik. Ada perasaan lega, ketika menyadari istrinya sudah terbangun dari pingsan. Dan tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Meskipun ekspresi Andri yang begitu datar seolah terlihat tak peduli sama sekali. Aira merasa aneh, ketika mendapati pakaian yang dia kenakan sudah berganti. Ia melihat kaos yang dia kenakan kedodoran, lalu menatap Andri lalu menyilangkan kedua tangannya. Seolah meminta penjelasan kepada pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Ia inget jika tadi di pemakaman dirinya tidak mengenakan pakaian itu. “Tenang saja, Mama yang menggantikan pakaianmu,” jelas Andri, sebelum Aira menanyakan hal itu kepadanya. Mendengar penjelasan Andri, entah mengapa Aira menjadi lega. Yah, meskipun sah-sah saja jika Andri yang menggantikan, namun sepetinya Aira masih belum bisa menerima pernikahan ini. Terbukti, setelah dia mengetahui jika dirinya dinikahkan paksa. Aira memilih untuk kabur daripada pasrah. Karena Aira bukan type perempuan penurut dan dan manis pada umumnya. “Aku di mana? Kakek!” Aira kembali teringat mendiang kakeknya. Ia kembali tertunduk lesu. Seolah ada yang kurang di dalam dirinya saat ini. Ada rsa yang mati di sebelah hatinya. Rindu terberat manusia, ketika merindukan orang yang sudah tidak ada di dunia ini. Itulah yang dirasakan oleh Aira saat ini. Kehilangan sebelah sayapnya. Seolah dirinya tak bisa terbang lagi. Sinta memasuki kamar Andri setelah mengetuk kamar putranya. “Aira, kamu sudah bangun sayang?” Sinta berjalan ke arah menantunya. “Tante, Kakek?” butiran-butiran kristal kembali berjatuhan membasahi pipi Aira. Sinta segera memeluk tubuh menantunya dengan erat, lalu membisikkan kata-kata untuk menenangkan Aira tentunya. “Sayang, sekarang Kakek, sudah tenang bersama Mama dan Papa kamu. Kamu di sini juga harus bisa merelakan mereka, tante yakin jika mereka juga bahagia melihat kamu sekarang,” bisik Sinta. Namun, Aira semakin tergugu setelah mendengar ucapan Sinta. “Aira mau pulang tante,” lirihnya sembari terisak. Andri yang tadinya tidak terlalu perduli dengan Aira, mendadak menjadi luluh dan tidak tega. “Kamu makan dulu ya, sayang,” kata Sinta menyodorkan sepiring bubur hangat. Aira hanya menggeleng, seolah jijik melihat makanan yang ada di hadapannya saat ini. “Jika Aira makan, apakah Kakek di sana juga sudah makan?” lirih Aira mendengar ucapan Aira, sontak Andri dan Sinta saling menatap untuk beberapa saat. Mereka nampak bingung harus menjawab apa. “Aira, kamu bukan anak kecil lagi. Ayo makan!” titah Andri kepada Istrinya. “Andri, jangan terlalu keras!” ujar Sinta. Sinta takut jika keadaan mental Aira akan terganggu karena masalah yang dia hadapi hari ini. “Tapi Ma.” “Mending kamu turuti apa mau istri kamu deh,” kata Sinta. “Ya sudah ayo, kita pulang ke sana. Tapi Aku nggak mau menginap,” kata Andri. Aira beranjak setelah mendengar Andri, akan mengantar dia pulang ke rumah kakeknya. Sinta mengantarkan Aira dan Andri sampai ke depan rumah. “Kalian hati-hati ya. Kalo bisa malam ini harus sampai di rumah,” kata Sinta. “Aira, pamit dulu ya Tante.” “Iya hati -hati, Andri jaga istrimu!” Andri hanya mengangguk, lalu segera menyalakan mesin mobilnya. Selama perjalanan menuju rumahnya, Aira sama sekali tidak mengatakan apapun. Begitupun dengan Andri, seolah tak ada orang di samping keduanya. Aira menatap kosong menuju ke depan. Pikirannya berkelana ke sana ke mari, entah apa saja yang dipikirkannya. Namun Andri, yang melirik Aira dari balik ekor matanya seolah juga ingin mengetahui isi hatinya. “Ehem, setelah acara tujuh harian Kakek. Kamu harus pindah ke rumahku,” jelas Andri. Namun setelah mendengar ucapan Andri, Aira malah memalingkan wajahnya ke arah kiri. Menatap jendela kaca yang menampilkan pemandangan di sepanjang jalan menuju pulang. Andri merasa sedikit kesal, karena tak mendapatkan respon dari Aira. Setelah sampai di depan rumah, Aira segera bergegas menuju ke dalam. Sementara Andri, hanya mengekor di belakang Aira. Meskipun dirinya juga tak mencintai Aira. Namun sebagai seorang lelaki, setelah akad dia ucapkan. Di situlah, tanggung jawab Aira berpindah kepada dirinya. Jadi, apapun yang terjadi, Andri berjanji tidak akan pernah meninggalkan Aira. Aira memasuki kamar kakeknya, ia menatap setiap sudut ruangan. Rasanya, seolah sang kakek masih berada di sana menatapnya dan mendekapnya. “Kakek, maafkan Aira. Di saat terakhir Kakek, Aira hanya bisa membuat malu dan susah,” lirih Aira sembari mengelus figura foto sang kakek. “Kenapa Kakek selalu tersenyum. Mana janji Kakek yang akan menemani Aira sampai Aira siap untuk hidup sendiri,” lirihnya, yang disusul dengan isakan. Aira duduk di atas ranjang almarhum kakeknya sampai dirinya terlelap di sana. “Ck, kenapa lama sekali sih?” gumam Andri lalu segera menyusul Aira ke dalam. Andri sedikit terkejut ketika melihat Aira terbaring di atas tempat tidur. Ia gakut jika Aira pingsan seperti pada saat di pemakaman. Perlahan dia mendekati Aira, ia meletakkan tangannya di bawah lobang hidung Aira, untuk memeriksa. Apakah Aira masih hidup. Aira segera mengenggam tangan Andri dengan sigap. Andri nampak terkesiap karena ulah Aira. “Astaga!” kata Andri kaget. “Mau apa kamu?” “Cuma mastiin,” sahut Andri. “Kalo aku nggak mati,” sela Aira. “Ayo pulang, kamu bawa pakaian kamu sekalian!” Andri malas untuk berdebat. Karena itu hanya akan memperkeruh suasana “Bolehkah aku tetap tinggal di sini?” Andri berjalan ke arah lemari milik kakek Aira. Dia segera membuka sebuah kotak lalu memberikan amplop berwarna hitam kepada Aira. “Ini, amanah dari kakek. Setelah kamu buka dan kamu baca, terserah kamu mau memutuskan untuk tinggal di mana,” kata Andri. Sebelum meninggal dunia, Satya memberikan pesan jika dia meninggalkan sebuah surat wasiat untuk Aira. Aira menatap Andri beberapa detik, lalu segera membuka amplop yang katanya adalah sebuah amanah. Benar saja, baru beberapa kata Aira membaca isi surat tersebut. Dia terlihat begitu sedih. ‘Aira, maafkan Kakek. Selama ini telah menyembunyikan penyakit yang kakek derita. Sejujurnya sakit jantung yang kakek rasakan sudah berlangsung lama. Pasti jika kamu membaca isi surat ini, kamu sudah tidak bisa membantah lagi ucapan kakek. Betul begitu kan? Kakek yakin kamu anak yang kuat. Percayalah, Andri adalah anak yang baik. Dia akan menjagamu, melebihi Kakek. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai ke jannah ya Nduk.’ Begitulah kira-kira isi pesan sang kakek. Aira nampak berpikir sejenak, untuk menimang. Tanpa terasa butiran kristal bening luruh membasahi pipi Aira. Dengan cepat dia menghapus jejak air matanya. Aira berpikir apakah dirinya harus tetap ikut dengan Andri atau menetap di rumah sang Kakek. Ia tak ingin terikat dan tak benas lagi, seperti sebelum menikah dulu. Yah meskipun Andri belum tentu mengekangnya. “Bagaimana?” tanya Andri. “Baiklah, aku akan ikut dengamu. Tapi aku belum siap untuk menjadi istri. Apakah kamu bisa menerima kekuranganku.” Aira mengatakan dengan penuh keraguan. Ia melirik ke arah Andri sejenak. “Aku akan menerimamu. Apapun itu, aku tak akan mempermasalah‘kannya.” “Aku tidak bisa masak, aku kalo tidur nggak bisa diam. Mungkin sisanya akan aku tulis. Agar kamu tahu betapa tidak bergunanya aku,” kata Aira dengan wajah datarnya. “Setidaknya, aku masih bisa menyewa asisten rumah tangga. “Terserah, satu lagi. Aku masih ingin bekerja dan tetap melanjutkan kuliahku,” kata Aira. “Baiklah, aku akan menuruti semua kemauanmu, tapi kamu juga harus mengikuti aturanku!” “Baiklah, deal!” Aira segera mengulurkan tangannya, yang segera di sambut oleh Andri. “Oke. Ayo kita pulang, aku tidak ingin Mama semakin merasa cemas. Karena kita terlalu lama.” “Tunggu, aku harus mengambil Shiro,” kata Aira berlari menuju ke dalam kamarnya. “Shiro? Apakah itu sejenis anjing?” gumam Andri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD