6. Pilihan Aretha.

1662 Words
                                                                                    ***                                                                     Selamat membaca.                                                                                    ***                                         Lo percaya enggak, kalau suatu saat cinta yaang selama ini lo pendam akan keungkap, dengan cara disengaja atau enggak, dengan cara diterima atau tidak dengan cara yang aneh atau romasntis. Suatu saat, semua itu pasti terbongkar, pasti.                                                                                 ***  Malam minggu memang malam yang asik untuk sekedar bercanda bersama pasangan, iya bersama dengan pasangan, kalau enggak punya pasangan malam minggunya akan suram gitu? Oh enggak, akan asik juga kok, kalau diisi dnegan kegiatan yang bermanfaat, contohnya belajar. Tadi siang, semua keingan Aretha bernar-benar gagal, pulang dengan Kak Vino, yah keingan itu harus gagal karena Marvel memaksa Aretha harus ikut dengan Pak Budi – Supir keluarganya yang ternyata sudah stand by di depan sekolahnya saat Aretha keluar dengan Kak Naren, bahkan tanpa Aretha sadari Marvel menekan setiap katanya saat Aretha mencoba membantah keingan Marvel, mencoba untuk melakukan apa yang ia mau. “Enggak bisa dong Vel, kan gue sudah janji sama Kak Vino untuk pulang bareng,” ucap Aretha dengan wajah cemburut, perempuan itu tidak meninggikan suaranya, karena ia masih dalam keadaan lemas. Marvel berdecak sendiri, dalam keadaan Aretha yang tengah sakit, ya walau demannya sudah turun, perempuan itu masih saja memikirkan pacarnya, dasar bucin, pikirannya tentang cowok. Marvel tidak merespon ucapan Aretha itu, tangan laki-laki itu masih saja menarik Aretha menjauh dari UKS agar segera sampai ke mobilnya yang ada di depan sekolah dan pulang dengan selamat lalu istirahat dan meminum obat lagi, Aretha benar-benar butuh istirahat agar cepat sembuh, Marvel sungguh kesal melihat wajah pucat perempuan itu. “Tha!” Teriakan itu membuat Aretha berbalik badan saat ada yang memanggilnya, tapi tidak dengan Marvel, laki-laki dengan kulit yang cukup terang dan bersih itu masih saja berjalan dengan Aretha yang tertatih-tatih di belakangnya, menyeimbangkan langkah panjang laki-laki itu. “Marvel bentar, itu Kak Vino manggil gue,” pinta Aretha akhinya, mecoba untuk menahan laki-laki yang entah tidak mendengar Kak Vino memanggilnya, atau Marvel hanya berpura-pura tidak mendengar panggilan itu. Tapi Marvel, si laki-laki itu masih berjalan – menyeret Aretha dengan angkuh, seolah dunia hanya miliknya, hanya punyanya, Marvel harus segera membereskan ini, mengantar Aretha hingga ke mobilnya dan memastikan Aretha pulang dengan Pak Budi, hanya dengan Pak Budi. Ternyata sakitnya Aretha membuat dirinya ribet, ribet kalau saja Tante Sella tidak meminta macam-macam dengan Marvel, contohnya saat ini, seperti ini semua hanyalah keinginan Tante Sella, bukan keingan Marvel sendiri. “Tolong jagain Aretha ya Nak Marvel, Nak Marvel maukan jadi penjaga Aretha,” itu, itu kalimat janji yang sama sekali tidak bisa Marvel ingkari, untuk sekarang hingga ..., entahlah, Marvel sendiri tidak tahu sampai kapan semua ini akan terjadi. Aretha akhirnya diam, ia tidak memberontak lagi saat Marvel menarik tangannya tanpa henti, tanpa peduli dengan teriakan dan berontakan yang Aretha katakan. “Lo kenapa sih, Vel? Gue mau ngomong sama Kak Vino!” protes Aretha, perempuan itu mencoba mengatur emosinya, tapi saat melihat wajah Marvel yang masih saja kaku tiba-tiba hati Aretha kebali luluh, hatinya kembali tenang dan berdebar, hanya karena melihat wajah laki-laki itu, sial, Aretha bucin sekali kepada laki-laki itu. “Sudah mau pulang, Tha?” suara itu milik Kak Vino, laki-laki dengan rambut yang lebih panjang dari Sandy itu menatap Aretha denagn alis yang terangkat. Laki-laki itu tersenyum paham saat melihat Aretha yang meangguk kecil, Kak Vino pun mendekatkan telinganya kepada Aretha dan berucap pelan, sangat pelan hingga Marvel tidak akan pernah mendengar ucapannya. “Pulang Saja, tapi nanti malam gue jemput ya,” katanya, setelahnya tangan Kak Vino mengacak rambut Aretha pelan dan mendorong tubuh Aretha agar segera masuk ke dalam mobil berwarna hitam yang kali ini menjemputnya. Aretha berpamitan dengan cara tersenyum kepada dua orang laki-laki yang kini berada di samping mobilnya, setelahnya mobil dengan type minimalis tapi kelihatan mewah itu melaju begitu saja, meninggalkan Marvel dan Kak Naren yang menatap mobil itu begitu saja. “Thank’s ya sudah jagain cewek gue,” kata Kak Vino, sebelum laki-laki itu pergi meninggalkan Marvel yang menatap jalanan di depannya dengan lurus-lurus. Marvel terdiam, benar apa yang dikatakan Kak Vino tadi, ya dia baru saja menjaga pacar orang lain, sial, Marvel tidak sadar bahwa ternyata perempuan itu sudah punya pacar, Marvel sungguh sudah melewati batas dirinya. Fllasback off.   “Jadi?” tanya Kak Vino saat melihat Aletha yang memutar matanya malas di depannya. Kali ini, Aretha tengah menyeriput jus melonnya, sedangkan Kak Vino masih saja menyuapkan kentang ke dalam mulutnya. Kak Vino dan Aretha, dua orang yang tak sengaja ketemu, terus jadian, terlihat biasa saja tapi nyatanya hubungan mereka sebenarnya rumit, hubungan mereka bahkan tidak bisa dinalar dan akan ditertawakan oleh orang-orang saat mengetahui alasan yang sesungguhnya hingga mereka bisa menjalin kasih seperti ini. “Kak Vino percaya enggak cinta pada pandangan pertama?” Tanya Aretha setelah puas menyuruput minumannya itu, ya, perempuan yang tadi siang tengah sakit dengan wajah yang pucat, saat ini tengah berada di cafe, dengan minuman dingin di depannya, Aretha sungguh benar-benar terasa tangguh. “Lo, lo cinta pada pandangan pertama gue, kayaknya,” jawab Kak Vino cepat, tanpa memikirkan bagaimana detak jantung Aretha yang berdetak begitu cepat karena mendengar ucapan dari laki-laki itu. Aretha tersenyum, ia masih saja beradu pandang dengan Kak Vino, pipinya merona memerah, senyumnya terangkat hanya karena Kak Vino mengatakan kata yang menurut Aretha itu jujur dari mulut Kak Vino sendiri, bukan gombal, bukan gombalan. Selama satu bulan ini bertemu dengan Kak Vino, Aretha tahu, kata-kata manis dari Kak Vino bukan buwalan semata, Kak Vino mungkin laki-laki yang setipe dengan dirinya, kalau Kak Vino suka ya dia akan bilang bahwa ia menyukainya, kalau laki-laki itu tidak menyukai enggak maka laki-laki itu dengan jelas menampakan ketidaksukaanya, maka Kak Vino akan cepat-cepat membuang hal itu di hidupnya. “Bukan si itu ya Kak?” pancing Aretha lagi. Kak Vino terdiam, ia mengerti siapa yang dimaksud oleh Aretha. “Lo percaya cinta itu butuh prsoes?” Tanya Kak Vino, tanpa menyahuti pertanyaan yang sebelumnya diajukan oleh perempuan itu. “Percaya,” jawab Aretha dengan mantap, karena tanpa sadar Aretha sudah mengalami, cintanya butuh proses sebelum Aretha yakin bahwa cintanya akan mekar denga penuh kasih sayang. “Jadi gue sendiri enggak percaya cinta pada pandangan pertama itu ada, mungkin aja cinta yang lo maksud itu hanya sekedar lo naksir dia, atau suka dia, menurut gue cinta pada pandangan pertama itu nafsu, Tha.” Kak Vino menatap Aretha, perempuan itu terlihat berpikir dan menimbang-nimbang sebuah keputusan. “Ada apa? Lo mau cerita ke gue?” Tanya Kak Vino ketika raut wajah Aretha berubah sedikit demi sedikit setelah ia mengucapkan kalimat yang panjang itu. Lagi-lagi Aretha hanya diam, ia menatap Kak Vino yang juga tengah menatapnya. “Kita harus putus kak,” satu kalimat, empat kata yang membuat Kak Vino berhenti memasukan kentang ke dalam mulutnya, punggung laki-laki itu kini tersandar ke sandaran kursi, alisnya terangkat, meminta penjelasan atas kalimat yang dengan nyaman keluar dari mulut perempuan, itu. “Aku, aku, suka Marvel, cowok yang siang tadi maksa aku pulang, maybe ini gila, tapi, semenjak aku pertama ketemu dia, aku ..., entah suka, naksir atau cinta sama dia,” senyuman Aretha terangkat tapi kali ini bukan senyuman manis yang biasa Kak Vino, lihat saat beretmu dengan perempuan itu, senyum itu seolah mengejek perkataan Aretha sendiri, bahkan diri perempuan itu saja mengejeknya. Kak Vino mengangguk patuh, hubungannya dengan perempuan itu yang katanya ‘pacaran,’ tapi ia da Aretha sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun terhadap satu sama lain, mereka hanya sebatas ya Kakak-Adik kelas saja, bagi Kak Vino tak ada perempuan yang bisa merebut hatinya lagi, dan bagi Aretha hanya Marvel yang mampu membuat darahnya berdesir hebat, karena deberan jantung yang menggila. “Aku diputisin nih ceritanya?” kata Kak Vino lagi, raut muka yang sempat berbuah terkejut itu kembali normal, tatapan mata laki-laki itu kenbali bersinar, hanya sepersekian detik dari redupnya binar mata itu. “Kakak enggak mau putus?” tanya Aretha dengan polosnya. “Kalau lo bahagia sama Marvel, ngapain gue maksa lo di sini?” “Kalau Kakak enggak bahagia sama Aretha, kenapa Kakak tetap stay selama sebulan ini?” Tanya balik Aretha kepada laki-laki yang sudah mengunci mulutnya dengan rapat itu. Rumit, menjebak, ini salah satu pertanyaan yang bahkan Vino sendiri tidak bisa temukan jawabannya, ia sempat mencari, hanya saja belum sempat laki-laki itu temukan, walau sebenarnya Vino paham, bahwa ia masih mencintai perempuan itu, ia sama sekali tidak ada perasaan kepada Aretha kalau mau dibilang jahat, ya, mereka berdua sama-sama jahat, Aretha hanya sebagai pelampiasan, hanya sebagai uji coba tentang perasaan Vino kepada perempuan di masa lalunya, begitu juga dengan Aretha, perempuan itu hanya memanfaatkan Kak Vino sebagai batu loncatan untuk menghilangkan perasanya kepada Marvel, walau sampai detik ini Aretha sendiri paham, itu belum terjadi, rasa sukanya terhadap Marvel sama sekali tidak berkurang sedikit pun. “Sudah berapa lama lo suka dia, Tha?” tanya Kak Vino lagi. Kak Vino peduli,  Kak Vino hanya tidak ingin perempuan yang ia sayangi sebagai Adik itu, tersakiti. “Satu tahun lebih, Kak,” jawab Aretha sambil menaikan bahunya, merasa yakin tak yakin dengan jawaban yang ia katakana. Kak Vino mendorong piring kosong yang sebelumnya berisi kentang itu menjauh dari hadapannya, ia lalu meraih tangan Aretha, digenggamannya dengan lembut yang otomatis membuat Aretha menatap Kak Vino, dengan berbagai perasaan campur aduk di dadanya. “Berjuang, perjuangin dia, apa pun rintangan yang ada di depan nanti, yang lo rasa lo enggak bisa ngelewati itu, yang lo rasa rintangan itu terlalu berat buat lo taklukan, liat di belakang, ada gue, ada gue yang bakal bantu lo, yang bakal ada buat ngehapus air mata lo, yang bakal bantu lo saat lo malah menemukan jalan buntu, semangat ya Tha,” ucapan Kak Vino dengan tenang, sambil menatap perempuan yang ada di depannya itu, Vino tidak bercanda dengan apa yang ia ucapkan, ia benar-benar mengatakan perkataan itu dari lubuk hatinya, ia begitu tulus. Perkataan itu jelas membuat sebuah perasaan muncul di hati Aretha, sebuah persaan yang membuat Aretha yakin, bahwa semuanya akan baik-baik saja, nantinya.                                                                  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD