7. Tiba-tiba.

1034 Words
                                                                                ***                                                                 Selamat membaca.                                                                                 ***                                                 Nikmatilah, hanya kata itu yang sekarang membuatku tetap ada di sisimu, entah sampai kapan itu akan berlangsung.                                                                                 ***  Aretha tidak melihat Marvel sejak awal ia masuk ke dalam kelas, Aretha juga tidak berniat untuk mencarinya, atau sekedar bertanya dengan si Yudha atau Fajar, yang merupakan teman dekat Sandy. Putus dengan Kak Naren ternyata membuat Aretha mengerti, ia sudah berjuang sejauh dan selama ini, Aretha jadi berpikir sendiri, bagaimana kalau Marvel tidak suka dengannya? Bagaimana kalo Marvel tidak ada perasaan yang sama dengannya? Bagaimana kalau Marvel tiba-tiba punya pacar? Banyak bagaimana yang kini mulai berkecamuk di kepala Aretha. Pertanyaan-pertanya yang sebenarnya tidak begitu penting, tetapi selalu muncul saat Aretha merasakan apa yang ia lakukan ini terlalu berlebihan, merasakan apa yang ia lakukan ini sudah terlalu jauh. “Lo enggak ke kantin?” Aretha menggeleng, saat Gwen bertanya seperti itu, membuat Gwen mengerti, dan menganggukan kepalanya. “Gue ke kantin ya, kalau begitu?” izin Gwen lagi, Aretha menaikan alisnya, bibirnya masih terkantup saat kepalanya melayangkan beberapa pikiran yang sebenarnya, benar-benar tidak perlu dipikirkan. “Sama siapa? Mau gue temenin aja enggak sih?” selain Aretha, Aretha sendiri merasa teman dekat – teman yang sering diajak Gwen ke kantin tidak ada, selain dirinya, ya Gwen terlalu mandiri akan hidupnya. Gwena menggeleng pelan, saat itu juga kepala Fajar muncul dari balik pintu membuat Gwen dan Aretha sontak menoleh karena Fajar memanggil nama Gwen. “Sama Fajar aja, lo mau nitip?” Tanya Gwen lagi. Sebagai jawabannya Aretha menggeleng, perempuan itu mengulum senyum saat pipi Gwen tiba-tiba merona saat Fajar kembali memanggilnya. Untuk seperkian detik Aretha memikirkan ia harus menintrogasi Gwen nantinya, ada hubungan apa perempuan itu dengan Fajar, bagaimana awalnya bisa terjadi, kenapa dan kenapa. Tanpa sadar situasi Aretha kembali sibuk dengan pikirannya, Marvel, Fajar, Gwen kini kembali memenuhi pikirannya, hingga ia menangkap Marvel sudah kembali ke kelas. Aretha hanya diam, saat kejadian terakhir kali, di mana Marvel menarik dengan paksa tanganya ke parkiran, Aretha benar-benar tidak tahu harus bagaimana, terlebih saat tadi malam Aretha membuat cerita di salah satu akun sosialnya dengan layar hitam dan sebuah lagu yang menggambarkan kesedihan. Mata Aretha tidak sembab, air matanya tidah jatuh setets pun, tapi rasa gelisah membuat perempuan itu tidak tidur semalaman, terlebih Aretha memiliki penyakit yang benar-benar akan menggangu pikirannya, benar-benar tidak bisa membuat dirinya beristirahat. Marvel datang ke kelasnya setelah sejak bel pertama terdengar, ia dipanggil karena ada tugas dari ketua Osis. “Marvel!” Marvel menaikan alis saat melihat Aretha yang masih ada di dalam kelas sendirian, setahu Marvel, perempuan itu bukan tipe-tipe anak yang begitu kalem hingga ia menghabiskan jam istirahat di kelas. “Makan n****+ emang kenyang?” Marvel berjalan, menghampiri perempuan yang tadi memanggilnya. “Hah?” “Enggak,” jawab Marvel pada akhirnya, laki-laki itu menghampiri Aretha dengan sebungkus roti yang ada di tangannya dan juga selembar kertas. Saat Marvel duduk di samping Aretha – di kursi Gwen, tanpa sadar mata Aretha memandang Marvel dengan pancaran yang bahagiah, sangat bahagia.  “Pinjem pensil dong,” katanya  lagi, mata laki-laki itu begitu fokus ke kertas yang sedang ia baca, membuat Aretha malah lebih leluasa untuk memandang laki-laki itu. Saat Marvel menerima pensil yang diberikan oleh Aretha, laki-laki itu masih tidak menyadari bagaimana cara Aretha memandangnya, bagaimana perempuan itu bernapas karena Marvel ada di sampingnya, dan bagaimana detak jantung Aretha yang semakin menggila dan hampir meledak, karena laki-laki itu. “Tha.” Marvel berbalik badan menghadap ke arah Aretha, mata mereka bertemu, mata Aretha dan Marvel saling tatap. Aretha langsung memalingkan wajahnya saat melihat Gwen masuk ke dalam kelas, sial dia ketahuan Marvel memandangnya lebih dahulu, sial, sial. “Lo mau ikut nulis cerita enggak? Lo suka baca n****+ ‘kan?” kata Marvel lagi, tidak memperdulikan teman-temannya yang sudah dating, dan memanggilnya, menanyakan dirinya dari mana saja. Alis Aretha terangkat, berbarengan dengan Gwen dan juga Fajar yang datang ke meja Aretha, semua mata pun tertuju kepada perempuan itu. “Apa sih ini?” kata Fajar, merrebut selebaran yang ada di tangan Marvel. “Lomba membuat cerita, tingkat SMA....” Marvel masih menatap Aretha sambil menjawab pertanyaan dari Fajar, laki-laki itu masih menunggu perempuan itu menjawab penawaran yang dilemparkannya tadi, sedangkan Aretha masih sibuk dengan pikirannya. “Kalau engak bisa nanti gue bantuin kok, disuruh Pak Ilham itu,” sambung Marvel lagi. Tanpa sadar kepala Aretha manggut-mangut, menolak saat ada kesempatan Aretha untuk dekat dengan Marvel? Menolak rezeki namanya, bodoh itu namanya. Aretha pun merebut selebaran yang ada di tangan Fajar, membacanya pelan, dan tanpa sadar kepala Marvel mendekat kearah wajah Aretha, ikut membaca selebaran itu bersama dengan Aretha. “Dadlinenya lama kok, dua bulan,” kata Marvel lagi. “Yaudah okelah, tapi lo bantuin ya Vel, yakali aja gue mau riset atau apa gitu,” jawab Aretha lagi, mencoba untuk memastikan sebelum ia benar-benar menerima penawaran dari laki-laki itu, bisa saja kan Marvel hanya memancingnya, dan setelah itu laki-laki itu tidak mau menemaninya, padahal Aretha mengiyakan apa yang ditawarkan oleh laki-laki itu karena ingin dekat dengan laki-laki itu. “Oke.” Satu kata, satu kesempatan yang Aretha rasa membuat dirinya akan lebih dekat dengan Marvel lagi. Bel pertanda jam istirahat sudah berakhri berbunyi, membuat Marvel berdiri dengan sebungkus roti yang msih belum terbuka dan sempat ia makan. Lagi, Marvel menatap Aretha yang tengah membereskan novelnya, “mau roti?” Tanya Marvel, mengarah kepada perempuan yang tengah fokus pada dirinya sendiri. Bukan hanya Aretha yang menadahkan kepalanya, tapi Gwen juga menatap Marvel dengan tatapan yang terkejut, oke-oke, mereka meman teman, tapi sedikit perhatian dari Marvel benar-benar mengguncang Aretha mau pun Gwen yang mendengarnya. Aretha menggeleng, mulutnya masih terbuka sedikit ia masih terkejut atas pertanyaan yang diberikan oleh Marvel, sungguh, Aretha benar-benar harus mengingat hari ini, mengingat di mana ia dapatkan perhatian Marvel, untuk pertama kalinya, mungkin. Kepala Marvel naik turun, pertanda laki-laki itu mengerti bahwa Aretha tidak menerima rotinya, selepasnya Marvel dan Fajar kembali ke tempat duduknya masing-masing. Setelah Marvel kembali duduk santai di depannya, Aretha langsung memegang tangan Gwen, senyumnya begitu tertarik ke atas hingga gigi perempuan itu bisa diabsen satu persatu, pipinya bersemu merah, hanya, hanya dengan pertanyaan yang sepele itu, Aretha merasaka hal yang luar biasa, bunga-bunga di hatinya seolah bermekaran, Aretha sungguh bahagia detik ini.                                                                                   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD