***
Selamat membaca.
***
Cinta itu buta, dia tidak bisa melihat ada banyak rintangan yang tak sebandin dengan kebahagiaan di depan sana.
***
Memaksa, hal yang cukup sulit dilakukan bagi Aretha, bahkan untuk memasak telur mata sapi saja Aretha membutuhkan niat dan tekad yang kuat serta besar. Tapi, pagi ini sehabis melakukan kewajibannya dalam beragama, Aretha menyempatkan diri membantu Bi Ijah untuk memasak nasi goreng, pesanannya.
“Kenapa enggak bikinin roti bakar aja ya? Kan enggak perlu dibantuin tuh,” kata Aretha sambil memasukan telur dadar yang sudah ia iris kecil-kecil ke dalam tupperware berwarna biru laut, nasi goring spesial ini memang diniatkan oleh Aretha khusus untuk si supermen yang tampan, berkat menyelamatkan Aretha dari kecelakaan dan membantunya untuk mengecilkan benjolan yang ada di keningnya, ya, karena memang salah Marvel juga sih.
Aretha lagi-lagi mengulum senyum saat perempuan itu memasukan irirsan timun di dalam tuperware, yang artinya sebentar lagi telah siap sekotak nasi goreng untuk Marvel, untuk laki-laki yang Aretha sukai itu.
“Loh?” teguran itu membuat Aretha membalikan badan, suara yang siang malam yang selalu ia dengar itu pun mendadak membuat pipinya merona, pasti Sella terkejut bukan main saat melihat Aretha sepagi ini ada di dapur, telebih sudah mengsiapkan sekotak nasi goreng, yang akan ia bawa ke sekolah. “Kamu ngapain di sini?” kata Sella dengan sarat suara yang kebinguna, wajahnya juga menampilkan bahwa kalo Aretha itu aneh masuk ke dalam dapur, pasalnya, seumur-umur ia jarang sekali melihat Aretha ada di dapur, sepagi buta ini, bahkan dirinya saja baru ke dapur, tapi putrinya itu sudah menyiapkan sekotak nasi goreng, wow.
Aretha menggeleng lalu membawa kotak tupperware itu ke dalam paper bag dan segera ke luar dari dapur, sebelum Ibunya benar-benar mencercanya dengan banyak pertanyaan yang Aretha pun tidak tahu kenapa ia bisa melakukan ini semua, kekuatan cinta memang mantap.
Selama hampir satu tahun setengah Aretha bersekolah di SMA Benua, perempuan itu tidak pernah datang di bawah jam enam lewat empat lima, tapi khusus hari ini, perempuan itu datang sepagi ini, hanya untuk meletakan kotak makan yang sudah ia siapkan khusus untuk Marvel. “Ck, mana sepi banget, takut kalau ketemu setan,” bukan hanya takut dengan minyak panas. Perempuan dengan rambut hitam pekat itu memang takut setan, tapi anehnya, Aretha selalu ke bioskop dan menonton film-film horor, ternyata Aretha sungguh seaneh ini.
Kaki Aretha terhenti di depan kelas saat melihat Marvel ada di tempat duduknya, sepagi ini, demi apa? Karena melihat laki-laki itu sudah datang dan diam di tempatnya, Aretha memilih untuk kembali ke luar, lebih tepatnya untuk tidak masuk ke dalam kelas, sebelum Marvel menyadari kedatangannya, kenapa setiap satu hal yang berhubungan dengan Marvel, Aretha menjadi bimbang sendiri, contohnya seperti ini, bukankah seharusnya ini adalah momen yang pas untuk Aretha memberikan nasi goreng itu secara langsung kepada Marvel, kepada laki-laki itu.
Sejak tadi malam Aretha mempipikan bahwa Marvel akan bahagia saat menerima nasi goreng darinya, yang ia letakkan secara diam-diam di meja laki-laki itu, tapi sekarang, saat orangnya suda ada di depan mata, nyali Aretha malah ciut. “Argh!” Aretha meringis saat perempuan itu memilih berbalik masuk ke dalam kelas, merelakan jantungnya yang semakin berdetak dengan kencang, dan sialnya saking pusing memikirkan bagaimana ia bisa memberikan nasi goreng ini, perempuan itu menepuk keningnya, sialnya lagi benjolan yang ada di keningnya itu belum sembuh dengan sempurna.
Marvel meletakan komik yang ia baca, pandangannya menangkap Aretha yang masuk ke dalam kelas dengan muka yang meringis, tangan perempuan itu pun meraba-raba keningnya, wajahnya benar-benar terlihat sangat kesakitan. “Kenapa?” suara itu membuat Aretha semakin tak karuan, sakit, gugup, pusing, menjadi campur aduk saat Marvel memilih duduk di sampping bangku Aretha, tempatnya Gwen.
Keajaiban-keajaiban yang membuat Marvel mendekati Aretha membuat Aretha mau tak mau bersyukur, walau ia juga sering bercengkrama dengan Marvel, perempuan itu masih tak menyangka dengan kelakuan Marvel sedari tadi malam.
Marvel hanya diam, ia memilih menatap Aretha, mata perempuan itu mengingatkannya kepada mata seseorang membuat Marvel sendiri tak kuasa lama-lama menatapnya.
“Lo piket kan? Bantuin gue nyapu.”
“Hah?”
“Nyapu, piket.”
Tuhan! Aretha begitu ingin berteriak saat Marvel mengajaknya piket, kenapa Marvel tidak bertanya tentang keadaanya Aretha, kenapa, atau memriksa kening Aretha, atau menanyakan sikunya, atau apa gitu? Kenapa Marvel malah mengajaknya untuk piket?
Aretha meletakan tasnya dan juga paper bag isi nasi goreng itu di atas mejanya, benar saja, Marvel mulai melakukan piketnya bersama dengan Aretha, hinga satu persatu teman sekelasnya datang, dan teman sepiket-annya juga datang.
Akhirnya setelah lima belas menit, Aretha selesai untuk melakukan piket, tugas perempuan itu kini tinggal membuang air di ember bekas cucian pel, saat Aretha hendak mengambil ember itu, perempuan itu menautkan alisnya saat tiba-tiba Marvel merebut ember itu dan pergi ke luar kelas, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Aretha.
Aretha tersenyum, “walau lo enggak ada niat bantuin gue, gue anggap itu sebagai bentuk perhatian lo dalam diam, Vel.”
Aretha tertawa renyah terkadang, dia benar-benar merasakan ia sudah gila, merasakan terlalu berkhayal, bahkan suatu saat Aretha merasa ini semua salah, apa yang ia rasakan kepada laki-laki itu salah. Kepala Aretha tiba-tiba berputar, lagi, membuat Aretha dengan cepat ke mejanya, dan mengambil minyak kayu putih untuk disapukannya di sekitar kepalanya.
Bel tanda jam pertama untuk kegiatan belajar-mengajar telah berbunyi, siswa-siswi kelas sebelas A- Internasional IPA kini tengah duduk di masing-masing kursi, tak terkecuali Marvel yang sudah menyelesaikan tugas piketnya.
Aretha semakin kehialngan konsentrasinya, bahkan berkali-kali perempuan itu meletakan kepala di atras lipatan tangannya, kepalanya semakin berputar dengan tidak jelas, matanya pun terlihat sayu, perut Aretha pun rasanya tengah diaduk-aduk, benar-benar mual. Aretha tidak mau mengambil resiko seperti tiba-tiba Aretha muntah di kelas, atau yang parah mungkin ia pingsan di kelas, dan merepotkan banyak orang. Saat menit ke lima dalam rasa sakitnya, Aretha akhirnya menagkat tangannya, membuat semua fokus teman sekelas IPA A serta Ibu Pamilu – Guru Bahasa Inggris yang lagi mengajar pun menatap Aretha yang mengangkat tangannya.
“Bu, Aretha ijin ke UKS ya, Aretha sakit Bu,” izin Aretha dengan dihiasi wajah yang benar-benar pucat, bahkan Gwen memegang kening Aretha dan merasakan suhu tubuh perempuan itu tidak normal.
“Yaudah silahkan Aretha, kamu bisa pergi sendiri?” tanya Ibu Pamilu saat memeriksa suhu badan salah satu muridnya itu, Gwen pun ditugaskan untuk mengantar teman sebangkunya yang sudah sejak kelas sepuluh itu, karena Ibu Pamilu menganggap Aretha benar-benar sakit, suhu badannya benar-benar tinggi, ia tidak yakin Aretha bisa pergi seorang diri ke UKS.
Saat di UKS yang dilakukan Aretha setelah munum obat adalah tidur, tubuh Aretha benar-benar lemas, belum lagi kepalanya yang benar-benar terasa pusing dan perutnnya yang sangat mual.
***
Aretha itu salah satu perempuan yang aneh, bahkan Aretha sendiri menyadari itu, dia itu cukup cantik, ya walau otaknya standar, ia juga sudah mempunyai pacar, Kak Vino, kejadian yang sangat lucu memang saat itu, saat di mana awal mereka menjadi sepasang kekasih, mungkin bisa dikatakan waktu itu Kak Vino tengah tidak sadar, tidak sadar dalam artian otaknya tidak berjalan dengan lancar.
Vino itu salah satu laki-laki yang ugh, ia bisa dikatakan laki-laki sempurna, otaknya, tampanngnya, kelakuannya, semuanya benar-benar diatas rata-rata, atau cukuplah dibangkaan di depan semua orang, tapi sayang, hati Aretha sudah benar-benar jatuh di tangan Marvel Aretha selama ini hanya menutupi semuanya dengan berpura-pura mencintai laki-laki yang berstatus pacarnya itu.
Gorden di tempat Aretha berbaring disibak oleh seseorang, di sana berdiri tubuh tinggi Kak Vino sedang menatapnya. “Pacar gue sakit?” Tanya dengan tawa jahil menyertai di belakangnya.
“Dih,” jawab Aretha sambil duduk, kening perempuan itu mengeluarkan keringat, sekarang juga tubuhnya cukup terasa membaik dari beberapa jam yang lalu.
“Mau makan apa? Gue beliin ya?” kata Kak Vino lagi, setelah duduk di kasur seberang yang tengah diduki oleh Aretha.
Aretha menggeleng, tidak, dia tidak mau makan, maksudnya dia tidak mau makan sendiri, dia mau makan bersama dengan Marvel, makan nasi goreng buatannya. “Kak, pulang bareng aku ya? Aku mau ....”
Alis Kak Vino terangkat saat Aretha tidak menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu berbalik badan, saat ia melihat mata Aretha sama sekali tidak berkedip, dan juga perempuan itu tidak menatapnya lagi.
“Teman lo?” tanya Kak Vino saat melihat seorang laki-laki dengan memakai lambang yang sama dengan Aretha —karena Kak Vino Kakak kelas, otomatis lambang kelasnya berbeda, dan juga orang membawa itu paper bag, dan mengarahkannya ke arah Aretha.
Aretha memilih mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan dari Kak Vino. “Ada apa Marvel?” tanyanya, mengarahkan wajahnya kini kearah Marvel, yang berdiri di belakang tubuh Kak Vino.
“Ini, makan nasi goreng lo,” kata Marvel dengan suara yang masih sama dengan sebelumnya, terlalu dingin, tapi sayangnya suara dingin itu membuat Aretha malah mabuk kepayang, pipi merona, perut Aretha pun kembali mual tapi kali ini bukan mual karena sakit, bahkan hanya karena ucapan Sandy yang terkesan kejam itu.
Setelah paper bag itu diterima dengan baik oleh Aretha, Marvel memilih untuk pergi, meninggalkan Aretha dan laki-laki yang Marvel sendiri tidak mau tahu dia siapa, masa bodo, itu benar-benar bukan urusan dirinya.
***