Dia yang akan Kunikahi!

933 Words
Vania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, wajahnya penuh ketakutan. "Tidak tahu," katanya, suaranya bergetar. Raut wajah Steven mendadak memerah karena marah. Tanpa peringatan, dia mendekati Vania dan menarik krah piyama yang dipakainya hingga gadis itu terangkat dari ranjang, kedua kakinya tidak lagi menyentuh lantai. "Apa yang Papa lakukan, PAPA!" teriak Livia, panik saat melihat tindakan suaminya. Namun, Steven tidak menggubris teriakan Livia. Dengan kasar, ia melemparkan tubuh Vania kembali ke ranjang. "Kau sama seperti mendiang mamamu, w************n!" teriaknya, suaranya dipenuhi kebencian. Livia, dengan hati hancur melihat perlakuan suaminya, menjerit dengan penuh rasa sakit. "Pergi ... pergi dari sini, Pa," usirnya sambil menangis histeris, mencoba untuk melindungi putrinya. "BILANG PADA ANAKMU YANG MURAHAN ITU, JANGAN MUNCUL DI ACARA PERTUNANGAN SHERINA!" teriak Steven, dan dengan itu ia keluar dari kamar, meninggalkan Vania dan Livia dalam kekacauan. Vania hanya diam, meskipun ibunya memeluknya dan menangis dengan keras, dia tetap tidak bergerak. "Mama pergi saja, tinggalkan aku di sini, sendiri," bisik Vania dengan suara yang nyaris tak terdengar, penuh keputusasaan. ** Acara pertunangan kakak Vania berlangsung di salah satu hotel termegah di Italia, di mana kedua keluarga terhormat berkumpul untuk merayakan persatuan mereka. Vania berdiri di samping ibunya, Livia, dengan balutan dress merah muda yang membuatnya tampak sangat cantik. Rambut hitam panjangnya tergerai, menambah kecantikan yang semakin bersinar di antara gemerlap acara. "Ma, aku masuk saja ke hotel, ya?" pinta Vania, mencekal lengan ibunya dengan lembut. Livia menahan lengan putrinya, wajahnya penuh kasih sayang dan kekhawatiran. "Jangan dulu, Sayang. Papamu jauh di sana, jadi jangan takut," ujar Livia, berusaha menenangkan Vania yang tampaknya cemas. Vania adalah anak dari perselingkuhan Steven, dan ibunya, Livia, dengan penuh kesabaran membesarkannya setelah kematian ibu kandung Vania. Kasih sayang Livia tidak pernah berkurang meski Vania berada dalam kondisi yang sangat terpuruk. "Itu keluarga calon suami kakakmu, Sayang. Ayo!” ajak Livia, berusaha menyemangati putrinya. "Tidak, Ma!" ucap Vania, namun Livia sudah terlambat untuk mencegahnya. Di hadapan mereka, tampak seorang laki-laki tampan mendekati keluarga Steven. Michael, calon suami Kakaknya, tampak sangat percaya diri. Sherina, Kakak Vania, terlihat sangat bahagia. Vania merasa ketakutan saat melihat banyak tamu yang memperhatikan mereka. "Wah ... aku tidak menyangka kita akan menjadi besan," ujar Steven pada Fransisco, ayah Michael. "Aku juga demikian," jawab Frans. Michael berjabat tangan dengan semua orang, termasuk Sherina yang tiba-tiba memeluknya meskipun mereka tidak saling kenal. Namun, langkah Michael terhenti saat dia melihat Vania yang tampak sangat ketakutan. "Michael," sapa Livia dengan senyuman, berusaha menunjukkan keramahan. Michael, dengan senyum tipis yang penuh arti, memeluk Livia sebelum berbalik menatap Vania yang kini meremas lengan ibunya dengan erat. "Sayang, kenalkan ini Kak Michael. Michael, ini adalah Vania, adik dari Sherina," ujar Livia memperkenalkan putrinya. Michael terdiam, tatapannya dingin saat menilai Vania yang tampak sangat cemas. "Gadis ini, yang semalam tidur denganku saat aku mabuk," ucap Michael tiba-tiba, suaranya penuh kepastian. Semua orang terkejut. Vania langsung mendongak, menatap Michael dengan penuh ketidakpercayaan dan rasa malu. Michael terus menatap Vania dengan tatapan dingin dan penuh tekad. "Aku ingin menikah dengan gadis ini, bukan dengan kakaknya. Semalam ... aku menghabiskan malam berdua dengannya. Aku mau si bungsu ini, menjadi milikku, Tuan Steven." Vania menggelengkan kepalanya seraya melangkah mundur. Tak kuat menahan segala beban yang menghimpitnya, Vania memutuskan untuk melarikan diri dari acara tersebut. Ia berlari tanpa menoleh ke belakang, hanya ingin menjauh dari keramaian dan tatapan orang-orang yang seakan-akan menelanjangi hatinya. Sesampainya di kamar hotel, Vania segera menutup pintu rapat-rapat. Ia terkulai di tepi ranjang, menarik kedua kakinya hingga membentuk sebuah lingkaran kecil dengan tubuhnya. "Ini semua salah, tidak. Ini bukan salahku, ini bukan aku yang memulainya," lirih Vania, suaranya penuh ketakutan dan kebingungan. Ia terus menggelengkan kepalanya, seolah berharap bisa mengusir semua kenangan buruk yang menghantuinya. Namun, ketenangan yang Vania cari tak bertahan lama. Ketukan di pintu membuat detak jantungnya berpacu hebat, ketakutan kembali merambati seluruh tubuhnya. Ketukan itu semakin kencang dan mendesak, seolah memaksa Vania untuk menghadapinya. Dengan langkah gemetar, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Michael dengan tatapan yang penuh intensitas. "Kau ...," suara Vania terhenti saat Michael dengan cepat menarik lengannya. "Ikut aku," titah Michael, suaranya dingin dan tegas. Ia menarik Vania dengan paksa, tak memberi ruang bagi gadis itu untuk melawan. "Tidak ... Jangan, kau adalah calon suami kakakku, lepas!" pekik Vania, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman Michael. Namun, langkah mereka berdua terhenti saat Michael mendorong Vania pelan hingga punggungnya terbentur dinding. Tatapan Michael semakin menakutkan, lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Kau, mau tidak mau, hanya ada satu jalan untuk membuat pertunangan aku dan kakakmu itu bubar," seru Michael, suaranya penuh determinasi. Vania menggelengkan kepalanya dengan keras. "Ti ... tidak mau, aku tidak bisa," serunya, suaranya bergetar menolak keras usulan Michael. Namun, Michael tak memberi ruang untuk penolakan. Ia mencekal kedua tangan Vania dan menguncinya, tatapan matanya penuh ancaman. "Kau tidak bisa menolaknya, setelah apa yang kita lakukan semalam? Kau tahu kalau ...," ucapnya, suaranya mengandung tekanan yang tak terbantahkan. "Kau salah kamar! Kau yang bodoh di sini!" pekik Vania, memotong ucapan Michael. Air matanya mengalir deras, mencerminkan ketakutan dan keputusasaan yang tak terhingga. Michael terdiam, ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata-kata. Dengan buru-buru, ia menarik tangan Vania dan membawanya kembali ke tempat pesta. Semua orang kini terkejut melihat Michael muncul dengan Vania di sampingnya. Wajah Sherina memerah menatap adiknya, jelas terlihat kebingungan dan kemarahan di matanya. Steven, ayah Vania, terlihat sangat marah. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia ingin membanting Vania di depan semua orang. "Michael," suara Frans, ayah Michael, membuat semua orang menoleh. Michael menarik pelan tangan Vania dan melirik gadis itu. "Aku ingin menikah dengan Vania, bukan dengan gadis lain!" seru Michael, suaranya dingin dan wajahnya serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD