Mantel Hitam Tertinggal di Kamar Vania

664 Words
Vania perlahan bangkit, duduk di tepi ranjang dengan rasa sakit yang menyelimuti setiap gerakannya. Ia mengenakan kembali pakaiannya dengan tangan yang gemetar. Ketika matanya tertuju pada selembar cek di atas nakas, hatinya bergetar. Dengan helaian napas berat, ia meraih cek tersebut, meremasnya keras sebelum melemparkannya ke dalam tempat sampah. Rasa malu dan kemarahan bercampur dalam dirinya. “Bagaimana kalau Papa tahu ini? Dia akan semakin membenciku nantinya,” gumam Vania dengan ketakutan yang mendalam, membayangkan reaksi ayahnya jika mengetahui apa yang telah terjadi. Pintu kamar tiba-tiba diketuk sebelum terbuka, mengalihkan perhatian Vania. Ia teringat bahwa ia telah meninggalkan kunci kamarnya di tangan seorang pengantar barang kemarin. Ketika pintu terbuka, wajah pengantar itu muncul, membawa kunci yang telah terlupakan. Ruangan pagi itu dipenuhi dengan ketegangan yang mencekam, cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela, tetapi tidak mampu meredakan kepedihan yang melanda hati Vania. Dia terbangun dengan kondisi yang sangat lemah, tubuhnya hampir tidak bisa bergerak. Kedatangannya pagi ini tampak sangat dramatis dan menyedihkan, sesuatu yang tak biasa bagi keluarga mereka. Livia, yang sudah cantik dalam balutan dress panjang berwarna merah muda, dengan rambut hitamnya yang digelung rapi, mengunjungi kamar putrinya dengan penuh kekhawatiran. Melihat Vania terbaring lesu di ranjang, wajahnya segera menunjukkan ekspresi cemas. "Sayang, baru bangun?" tanya Livia lembut, berusaha menenangkan anaknya sambil mengusap kening Vania dengan penuh kasih sayang. Vania, dengan suara yang sangat lemah dan hampir tidak terdengar, menjawab, "Tidak, Ma," sambil berusaha duduk dengan susah payah. Livia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, dan matanya tertuju pada mantel hitam yang terjatuh di lantai. Aroma maskulin yang kuat menyebar dari mantel itu, mengarahkan Livia pada kesimpulan bahwa mantel tersebut bukan milik mereka. Perlahan, ia meraihnya dengan hati-hati, mencoba mencari tahu asal-usulnya. "Vania, ini milik ...," Livia mulai bertanya, tetapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Vania yang tampaknya sangat terganggu teriak dengan histeris. "Tidak tahu, tidak tahu Ma ... aku tidak tahu!" lirih Vania, yang saat itu mulai menutup telinganya dan menangis ketakutan. Reaksi putrinya membuat Livia semakin panik. Ia segera mengalihkan perhatian kepada Vania, mencoba menenangkan gadis itu dengan penuh kasih. "Sayang, apa yang terjadi, Nak? Vania ... Vania lihat Mama, sayang," serunya dengan nada penuh kepanikan. "Ma ...." Vania langsung berhambur memeluk mamanya dengan sangat erat, seolah ingin mencari perlindungan dari segala rasa sakit dan ketakutan yang menggerogotinya. Livia merasa seolah disambar petir saat menerima pelukan putrinya yang penuh ketegangan. Ia membalas pelukan itu dengan penuh rasa takut dan penyesalan, merasa kesalahan besar telah dilakukan dengan menolak ajakan Vania untuk tidur bersama malam itu. Kini, Livia merasa menyesal seumur hidupnya. Ia menangkup kedua pipi Vania dengan lembut dan menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari penjelasan dari mata putrinya yang penuh air mata. "Sayang, sekarang bilang sama Mama, siapa yang sudah melakukan ini? Ayo bilang sayang?" "Tidak Ma, tidak tahu ...." Tangisan Vania semakin keras, menutupi suara lirihnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan bunyi berderit, dan Steven, suami Livia, masuk ke dalam kamar. Matanya yang galak dan penuh kewaspadaan langsung menyorot pada istri dan putrinya. Begitu melihat keadaan tersebut, tangisan Vania tidak terdengar lagi, dan dia langsung memeluk mamanya lebih erat sambil menyembunyikan wajahnya. "Kenapa lagi dia?!" sentak Steven dengan nada suara yang menunjukkan ketidakpuasan dan kekesalan. "Tidak, Papa kok Pa, hanya ... sedikit tidak enak badan saja," jawab Livia dengan penuh kebingungan, berusaha menenangkan suaminya sambil terus memeluk Vania. Namun, Steven, yang dikenal sebagai pria dengan wajah galak dan sikap tidak mudah percaya, tidak langsung menerima penjelasan itu. Ia mendekati istri dan putrinya, matanya tetap tertuju pada mantel hitam yang kini berada di tepi ranjang. Dengan cepat, Steven meraih mantel tersebut dan memeriksanya. Steven memeriksa pakaian itu dengan seksama sebelum mengalihkan pandangannya ke Vania, tatapannya penuh amarah. "Milik siapa ini?" suaranya begitu menyeramkan, penuh kekuasaan dan ancaman. "Pa sudah ...." Livia mencoba menjelaskan, tetapi Steven dengan cepat memotongnya. "Diam, Livia. Aku bertanya pada anak kurang ajar ini," desis Steven dengan nada dingin, matanya menembus Vania seolah mencari jawaban di kedalaman mata putrinya. "Milik siapa ini, Vania?!" Steven mengamuk, suaranya menggema di ruangan yang sunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD