Part 7. Anggap Rumah Sendiri

1391 Words
Part 7 - Anggap Rumah Sendiri “O, o ... “ Daniel bergidik melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Suasana kamar ini terlihat seperti seseorang hendak merampok barang berharga yang tersimpan oleh pemilik kamar. “Ada apa?” tanya Rachel bingung melihat ekspresi syok Daniel saat akan memasuki apartemennya. “Seperti ada seseorang yang mau merampok harta berhargamu?” Daniel begitu lugu menjawab sekaligus bertanya tentang kondisi apartemen tersebut. Rachel memperhatikan ke sekeliling, Netranya menyusuri tiap sudut kamar yang berantakan. Bungkus makanan, pakaian kotor berserakan di mana-mana. Bahkan bak cucian kotor penuh dengan tumpukan piring bekas pakai. Daniel menelan salivanya dengan susah payah. Membayangkan dirinya akan tinggal bersama wanita jorok ini di apartemen. Meski hidup di jalanan, tapi Daniel tidak terbiasa tinggal dalam kamar yang kotor. Sewaktu kecil mungkin ia terpaksa tidur di emperan jalanan beralaskan kardus, tapi semenjak Edyson menemukannya dan membawanya pergi dari neraka jalanan, ia terbiasa hidup di lingkungan kamar yang bersih jauh dari para musuh bebuyutan yang membuat tidurnya tak nyenyak yaitu Nyamuk. “Kenapa?” Rachel berkomentar santai, merasa heran karena menurutnya kamar ini baik-baik saja. “Ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Sebelum menjemputmu aku sudah merapikannya sedikit. Jadi, ya anggap saja rumah sendiri.” Sekali lagi, Daniel hanya menelan salivanya dengan susah payah. Harusnya ia membongkar semua rahasianya dan kembali menjadi dirinya Daniel Ananta Alexander Edyson. Cucu pengusaha ternama di negara ini sekaligus pemimpin geng mafia. Ya begitulah dirinya menjalani dua kehidupan sekaligus. Sebagai CEO maupun sebagai mafia. Tidak ada yang tahu pekerjaan rahasianya itu, kecuali dirinya sendiri. Daniel juga tak ingin mengungkapkannya pada orang lain selain dirinya, termasuk adiknya Selena. Mendadak dia merindukan keponakannya, Celine. Mengingat mereka, Daniel tersadar kalau ia belum menghubungi mereka, khawatir jika mereka akan mencari dirinya. Setelah ini, Daniel berencana keluar sebentar dan menghubungi keluarganya. Takut jika mereka mencemaskannya. “Masuklah, aku akan menyiapkan makanan untukmu.” Daniel menyeret langkahnya masuk ke dalam kamar apartemen yang sangat berantakan itu. Ia terpaksa melompat dari satu lantai ke lantai lainnya yang tidak ada tumpukan barang. Menggerutu dalam hati, mengapa wanita ini sangat jorok sekali. Bahkan di sofa, banyak sekali tumpukan barang dan ... mata Daniel tertuju pada celana dalam dan bra yang tersampir di sandarannya. “Itu?” Rachel mengikuti arah pandangan Daniel tertuju saat ini, ia melompat dan dengan sigap mengambil dua benda istimewa baginya. Wajahnya memerah menahan malu karena lelaki asing itu baru saja melihat bentuk pakaian dalamnya yang super seksi, hadiah dari sahabatnya Reina yang usil. Harusnya di hari pernikahan Reina, Rachel yang membelikannya hadiah, tapi karena Rachel terlalu sibuk mengurus pasien di rumah sakit, Reina menyindirnya dengan mengirimkannya sepasang pakaian dalam dan menyuruhnya menggoda laki-laki tampan untuk membuatnya tidak perawan lagi. Di negara mereka keperawanan termasuk hal yang tabu. Jika seorang gadis masih perawan bahkan di usianya yang sudah 28 tahun seperti dirinya, maka perempuan tersebut dianggap tidak menarik. Hanya saja Rachel tidak tertarik berkencan dengan laki-laki, bukan berarti dia tidak menyukai kaum adam. Tapi dia hanya menyukai satu orang seumur hidupnya. Dia adalah kakak kelasnya waktu Koas dulu, Albert. Karena itulah Rachel mengharapkan dirinya menikah dengan lelaki pujaan hatinya tersebut. Daniel terkekeh melihat semburat merah muda muncul di pipi Rachel. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang menarik dari diri perempuan yang menjadi istri palsunya itu. Sudah banyak perempuan hebat, cantik, kaya dan sangat menarik yang ia kencani, tapi tidak satu pun dari mereka memiliki semburat merah muda yang menandakan kalau mereka pemalu, justru mereka dengan senang hati melemparkan diri mereka ke dalam pelukan Daniel, membiarkan Daniel memuaskan hasrat liar mereka. Tentu saja Daniel bukanlah manusia suci, ia akan dengan sukarela membahagiakan mereka, mengajak mereka ke puncak kenikmatan dunia. “Ini bukan milikku!” Konyol sekali Rachel harus menjelaskannya pada lelaki itu. Daniel hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh. Apa pedulinya dia dengan bentuk pakaian dalam perempuan itu. Toh, dia hanya menjalankan misinya untuk mengisi kebosannya hingga ia bisa melihat akhir dari hubungan Lukas dengan putrinya. Dia juga ingin tahu bagaimana Lukas akan melawan dirinya. Hmm, itulah momen yang Daniel tunggu. Setelah sekian lama hidup dalam kehidupan yang monoton, akhirnya Tuhan memberikan cerita baru di hidupnya. “Apa kau sudah makan?” “Hmm, sepertinya belum.” “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku akan menyiapkan makanan. Tadi aku sudah membeli beberapa bahan, sebentar ... “ Rachel pergi ke dapur untuk memasak makan malam mereka. Daniel menyingkirkan beberapa barang tak berguna yang berserakan di sofa. Ia menepuk sofa tersebut sebelum mendudukkan bokongnya dan menyandarkan diri. Tak berselang lama Rachel memanggilnya, “Ayo, makanan sudah siap.” Daniel terpaksa mengikutinya ke meja makan. Di atas meja, dua porsi nasi goreng sudah tersedia di atas piring. Dari bentuk dan aromanya, Daniel sangat yakin rasanya tidak enak. Tapi apa mau di kata, dia harus tetap berpura-pura menjadi lelaki miskin yang seperti dianggap Rachel selama ini. Benar saja, saat mencicipi masakan tersebut, Daniel langsung tersedak. Uhuk, uhuk, dia terbatuk. Dengan sigap Rachel menyodorkan segelas air untuknya. “Kenapa?” tanyanya, lugu. Uhuk, uhuk, Daniel masih terbatuk sambil meminum air yang diberikan Rachel padanya. “Sejak kapan nasi goreng bisa semanis ini?” komentar Daniel, berusaha sekeras mungkin agar tidak memasang wajah cemberut. “Oh ya?” Rachel menatapnya tak percaya. Ia lantas menyuapkan sesendok nasi goreng buatannya dan mengunyahnya. Ekspresinya membuat Daniel tersenyum puas dalam hati, dasar wanita gila, ia bahkan tak bisa membedakan mana gula dan garam. “Apa kau nggak bisa membedakan gula dan garam? Kau mengaku sebagai dokter, bagaimana bisa kau lulus dengan pengetahuan minim seperti ini, ckckckck.” Daniel si mulut pedas mulai beraksi. Dengan sengaja ia menyindir ketidak mampuan wanita itu memasak. “Aku yakin sudah menuangkan garam, kok.” “Apa kau sudah mencicipinya sebelum menghidangkannya ke orang lain?” Rachel menggeleng, Daniel mengepalkan tangannya menahan kesal. “Untung saja bukan sianida yang kau tuangkan ke diriku,” sindir Daniel. Rachel tersinggung, “Hei, aku ini seorang dokter, ya? Aku nggak mungkin membahayakan nyawa orang lain!” “Tapi, kau membahayakan nafsu makanku jika kau memasakkan makanan seperti ini.” Rachel cemberut. Terlihat wajahnya memerah menahan kesal. Baru kali ini ia bertemu lelaki bermulut tajam seperti Daniel. Tidak seperti wajahnya yang tampan dan menarik, tapi cara bicara laki-laki itu yang terus terus seperti silet yang menyayat hati. “Akh, sudahlah. Berhubung aku dibayar olehmu, sini biar aku masak makan malam!” Daniel menyerah melihat wanita itu merajuk. Ia tak terbiasa berdebat dengan seorang wanita, karena biasanya para wanita itu selalu berhasil melambungkan egonya. Bahkan mereka rela bersujud di kakinya agar Daniel memaafkan mereka. Tapi kali ini, Daniel terpaksa mengalah demi perannya sebagai lelaki miskin tak berdaya. Rachel membisu sambil melipat tangannya di d**a. Daniel hanya meliriknya sekilas sebelum pergi ke dapur dan mulai memasak. Beberapa saat kemudian Daniel kembali, membawa dua porsi nasi goreng untuk mereka. Rachel menatap hidangan itu dengan tatapan sinis, jelas ia tak suka melihat warna nasi goreng buatan Daniel lebih menarik dibandingkan buatannya. “Makanlah!” Rachel membuang wajah ke arah lain, Daniel menarik napas dalam. Sungguh sulit baginya merayu wanita yang sedang merajuk dan ini pertama kalinya Daniel melakukannya. “Ayolah, Rachel. Kau sudah bukan anak kecil lagi, makanlah atau kita berdua akan mati kelaparan malam ini!” Daniel berkata ketus, semakin tidak sabaran menghadapi sikap kekanak-kanakan Rachel yang menyebalkan. Rachel terpaksa mengalah dan menurunkan egonya. Ia mengambil sendok dan mulai menyantap. Dari ekspresi di wajahnya, Daniel tahu Rachel menyukai masakannya. “Enak!” komentar Rachel terus menyantap hidangan tersebut hingga habis tak tersisa. Daniel cuma tersenyum mendengar komentarnya yang jujur. Ia menyadari betapa ekspresifnya gadis ini. Satu hal yang perlu ia pelajari dari sifatnya yang egois dan keras kepala. Rachel tipe wanita yang jujur dan berpendirian kuat. “Baiklah, mulai sekarang aku akan menambahkan uang katering buatmu. Selama kau memasak, aku akan memberikan tambahan bonus. Gimana kau setuju?” “Kita bahkan belum menanda tangani kontrak.” Daniel bukan tipe pria bodoh. “Oh, ya kau benar. Aku akan membuatkan kontrak kita lebih dulu, baru kita tanda tangani. Sekarang tidurlah, besok kita akan ke catatan sipil.” “Catatan sipil buat apa?” “Tentu saja buat menikah.” “Apa?!?” Secepat itu? Daniel panik. Karena ia belum sempat menghubungi sekretarisnya untuk memintanya membuatkan identitas palsu. “Iya, sekarang tidurlah. Kamarmu sudah siap. Besok pagi kita pergi.” Rachel berdiri sambil membereskan piring dan mencucinya. Daniel termenung di meja makan memikirkan cara untuk menghubungi asistennya, Robert. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD