Part 6. Ancaman Lukas
Rachel sengaja izin pulang lebih cepat untuk membawa Daniel pulang ke apartemennya. Takut, jika lelaki itu kabur dan semua rencananya sia-sia. Hanya Daniel satu-satunya jalan keluar miliknya. Dengan begitu ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya dan lelaki tua yang berniat menjadikannya istri.
Saat sedang membuka pintu, Rachel terkejut melihat ayahnya berada di sana. Tatapannya menajam, ekspresinya berubah sinis, “A-apa yang kau lakukan di sini?” Terlihat jelas ia sama sekali tidak menyukai keberadaan Lukas di sana. “Apapun yang kau katakan, aku nggak akan pulang!” Rachel teguh dengan pendiriannya.
“Kau akan menyesal jika menikah dengannya, Rachel.” Lukas terus memperingatkan putrinya.
“Bukan urusanmu! Dulu juga kau nggak pernah peduli padaku. Bagaimana hidupku di jalanan.”
“Kau bahkan nggak tahu apa pekerjaannya?” Lukas justru mengatakan hal lain untuk mengubah pikiran putrinya.
“Nggak peduli. Selama aku bisa menghidupi diriku sendiri, aku nggak akan peduli apa pekerjaannya. Dulu juga kau membuangku demi wanita itu. Sekarang kau memintaku kembali cuma demi menikahi lelaki tua itu. Kenapa tidak sekalian kau menikahkan putri tiri kesayanganmu, Papa?”
“Karena kau anakku. Aku ingin yang terbaik untuk hidupmu.”
“Begitukah?” ucap Rachel, skeptis. “Aku lebih tahu apa yang terbaik untukku. Menjauh darimu dan wanita penyihir itu.” Rachel berkata dingin.
Daniel menonton perdebatan ayah-anak itu dengan sangat penasaran. Cerita yang kompleks yang lebih menarik dibandingkan menonton teater yang biasa ia tonton di kalangan bangsawan dan konglomerat.
“Apa kau sudah merapikan barang-barangmu?” Kali ini perhatian Rachel tertuju pada Daniel. Wanita itu mengabaikan ayahnya sepenuhnya. Menganggap lelaki tua itu tak ada di sana bersama mereka.
Daniel terkekeh sambil melirik ke arah Lukas yang terus menatap putrinya dengan tatapan bingung. Ia lantas bertanya, “Apa aku punya barang-barang yang bisa kubawa?” Ia bahkan tak tahu ke mana pakaian yang ia kenakan terakhir kali. Satu-satunya pakaian yang ia miliki hanya piyama rumah sakit ini, itupun ia sudah memintanya pada perawat agar ia bisa mengenakannya sampai pulang nanti dan berjanji akan mengembalikan setelah selesai ia kenakan.
“Nanti kubelikan. Pokoknya kita keluar dari rumah sakit ini dulu.” Rachel mengemas tas kecil yang berisi perlengkapan mandinya. Ia meninggalkan tas itu di malam saat ia harus menjaga Daniel paska operasi. “Ayo!” Rachel membantu Daniel berdiri, dengan hati-hati ia membopong lelaki yang belum pulih sepenuhnya.
Daniel melambaikan tangan ke arah Lukas, sengaja menggodanya. Ia memekik senang saat melihat wajah merah padam milik Lukas.
“Rachel, apa kau tahu siapa laki-laki yang bersamamu itu?”
“Sudahlah, Pa! Berhentilah menganggu hidupku. Aku sudah menentukan pilihanku!” Rachel menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Ia terus menyeret Daniel pergi bersamanya. Tangannya dengan keras mencengkeram lengan Daniel.
Daniel bisa merasakan kekalutan yang dirasakan Rachel di dalam hatinya. Sebuah pertentangan yang sulit ia hindarkan.
“Dia seorang pembunuh, Rachel. Dari tatapannya, aku tahu dia pria bengis. Mungkin saja dia akan membunuhmu.” Lukas berteriak dengan sangat keras membuat Rachel seketika menghentikan langkahnya. Daniel hanya mengangkat bahunya, tak acuh. Nyaris tak percaya kalau Lukas meyakini apa yang dikatakan sebelumnya. “Papa nggak mau kau terluka jika hidup bersamanya.”
“Bahkan jika aku harus mati di tangannya, aku lebih rela dibandingkan harus kembali hidup bersamamu, Papa.” Sebesar itulah kebencian yang dirasakan Rachel pada papanya yang tega mengabaikan dirinya dan lebih mementingkan kakak tirinya, Leona. “Ayo kita pergi, Dan. Anggap saja dia nggak ada!” Rachel mengajak Daniel pergi saat itu juga, meninggalkan Lukas yang frustrasi karena tak berhasil membawa putrinya pulang.
***
“Berengsek! Si-alan!” Rachel membanting pintu mobil dengan kasar, kesal melihat Lukas yang muncul begitu saja setelah membuat keributan dengannya kemarin.
“Ada apa?” Daniel yang bingung melihat amarah perempuan itu meledak-ledak setelah sesaat Lukas pergi.
“Kau tahu betapa kesalnya aku dengan dia. Berani-beraninya dia menghinamu begitu. Setelah ini, aku bersumpah akan memberinya pelajaran!” Wanita itu mencengkeram kemudi mobilnya kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Sudahlah, jangan kau pikirkan. Lagipula mengapa kau begitu peduli. Toh, aku juga bukan siapa-siapanya dirimu selalu laki-laki yang kau bayar untuk menjadi suami palsumu.” Daniel begitu heran melihat Rachel sangat terusik dengan ucapan Lukas tentang dirinya.
“Meski begitu, aku nggak suka caranya menghinamu. Kau memang bukan siapa-siapa, tapi tidak seharusnya dia bersikap searogan itu pada siapa pun.”
“Kau membencinya?”
“Nggak! Walau bagaimana pun dia tetap ayahku. Aku nggak bisa membencinya, kecuali sikapnya yang keras kepala itu dan wanita penyihir itu.”
“Wanita itu?” Alis Daniel mengerut bingung, mencoba memahami siapa yang dimaksud ‘wanita penyihir itu?’.
“Ah, sudahlah. Kau nggak perlu mengenalnya. Lain kali saja kukenalkan pada dua penyihir yang super duper jahat.”
“Baiklah, Nyonya. Jika itu maumu,” sahut Daniel tak mau ambil pusing, “Sekarang ke mana kita akan pergi?” Daniel melonggarkan sabuk pengamannya. Ia merasa sedikit tidak nyaman karena lukanya mulai terasa nyeri.
“Membelikanmu pakaian, tapi sebelum itu sepertinya kita harus pulang ke apartemen dulu. Kau masih butuh banyak istirahat, biar aku saja yang membelikan baju untukmu. Ngomong-ngomong apa ukuran pakaianmu?”
“L atau XL, terserah kau sajalah.” Tadinya Daniel mau mengatakan style pakaian miliknya, tapi urung. Biarkan saja Rachel memberikan apapun pakaian yang menurutnya cocok ia kenakan.
“Apa kau benar-benar nggak punya keluarga sama sekali?” Rachel bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Tidak!” Sekeras mungkin Daniel berusaha menyembunyikan identitasnya. Apalagi keluarganya. Ia sengaja menutupi rahasia bahwa dia sebenarnya adalah pemilik Edyson Hospital tempat Rachel bekerja saat ini. Toh, ia sedang menyamar menjadi lelaki miskin dan payah hanya demi memenuhi ego wanita ini.
“Hm,, malang sekali nasibmu. Kau tenang saja, nggak usah khawatir. Aku pasti akan menjaga dan merawatmu dengan baik.” Rachel mengelus puncak kepalanya dengan lembut sambil tersenyum tulus di hadapannya. Sedetik kemudian Daniel mulai merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang untuk pertama kalinya saat mendapati tindakan impulsif wanita itu terhadapnya. Perasaan hangat yang terasa aneh baginya.
Senyum Rachel yang tulus menghunus tepat ke dasar hatinya, membuatnya bergetar perlahan. Sial, ia tak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Ada apa dengannya? Daniel mencoba menyelami perasaan apa ini?
***