Part 8. Penyamaran

1602 Words
Part 8. Penyamaran Rachel tak memberinya akses keluar masuk karena itulah Daniel terjebak di apartemen ini. Semalaman ia mondar-mandir gelisah mencari cara untuk menghubungi Albert asistennya. Berharap lelaki itu bisa membantunya membuatkan identitas palsu. Daniel tak mungkin mengakui dirinya adalah Daniel sang cucu Edyson, si CEO Edyson Grup, pemilik resmi rumah sakit tempat Rachel bekerja saat ini. Belum saatnya ia membongkar identitasnya. Toh, pernikahan ini hanyalah rekayasa mereka berdua semata. Hanya sementara. Daniel terus meyakinkan dirinya mampu melakukannya, tanpa balas budinya terhadap Rachel, wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. Tok tok tok, sesuai janji, pukul setengah tujuh, Rachel sudah mengetuk pintu kamarnya. “Daniel? Apa kau sudah bangun?” teriaknya dari luar kamar. Rachel memutar kenop pintu, menyadari kalau lelaki itu bahkan lupa mengunci pintu kamarnya. Rachel masuk ke dalam kamar dengan ragu sebelum akhirnya ia melihat Daniel sudah terbangun lebih dulu, masih mengenakan piyama rumah sakit yang dipakainya sejak kemarin. “Oh, kau sudah bangun!” Rachel menahan pekikannya saat melihat lelaki itu setengah telanjang dan hanya mengenakan boxer hitam di tubuhnya. Daniel berpura-pura hendak mengganti perban, berharap ia bisa mengundur waktu pernikahan mereka di catatan sipil. “Sorry, Rachel. Sepertinya hari ini aku belum siap pergi ke kantor sipil. Kau lihat kondisi lukaku, belum sepenuhnya membaik. Tahan saja uang pembayarannya sampai kita menikah nanti.” “Begitukah?” Wajah Rachel berubah khawatir, luka lelaki itu terbuka, darah merembes mengotori perbannya. “Tidurlah, biar kubantu menggantikan perbanmu.” Rachel membantu Daniel berbaring di ranjang. Daniel pura-pura kesakitan, ia melangkah pelan mengikuti arahan Rachel. Dengan sigap perempuan itu menggunting perbannya, “Sepertinya lukamu sedikit infeksi.” “Benarkah?” Pantas saja Daniel merasakan nyeri di dadanya sepanjang malam. “Nggak usah cemas, aku akan memberimu antiseptik. Tapi ini akan sedikit sakit, jika kau nggak kuat menahannya, cengkeram saja tanganku kuat-kuat.” Rachel memberikan tangan kirinya, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk mengoleskan antiseptik di tubuh Daniel. Daniel berpura-pura lemah, padahal ia pernah mendapati luka yang lebih parah dari ini sebelumnya, tapi ia sudah menutupnya dengan operasi plastik sehingga luka-luka tersebut dapat tersamarkan dengan baik. “Aw,” ringis Daniel penuh drama. Rachel begitu lembut mengoleskan antiseptik bahkan Daniel tidak merasakan apapun selain kelembutan perempuan itu dan anehnya ia merasa damai di dekatnya. “Sudah selesai.” Rachel menempelkan plester terakhir untuk membebat lukanya dengan perban. “Kalau begitu kau beristirahatlah, biar kita tunggu kau pulih sepenuhnya.” Rachel berdiri membawa kotak obat yang baru selesai ia gunakan. “Rachel,” panggil Daniel. “Ya?” Rachel berhenti lalu menoleh sekilas. “Apakah hari ini kau akan pergi bekerja?” “Iya.” “Kalau begitu bisakah kau beri aku kunci masuk keluar apartemen. Kau nggak bisa mengurungku di sini terus menerus, ‘kan?” “Hmm,” Rachel berpikir sejenak. Bukannya ia tak mau memberikannya, hanya saja ia tak berani mengambil risiko jika pria ini kabur dan semua rencananya akan sia-sia. “Apa kau berniat kabur?” Daniel memekik tak percaya. Seskeptis itulah pemikiran Rachel terhadapnya. Ia bersungut, “Kalau aku mau kabur, sudah sejak awal aku melakukannya, hah!” Rachel tersenyum sinis, “Aku tahu berbagai jenis karakter lelaki, Daniel. Dan pria sepertimu sangat tidak bisa kupercaya.” “Memangnya karakterku seperti apa?” “Playboy. Pembohong. Penipu.” Daniel terkekeh mendengar semua julukan yang tersemat di pikiran Rachel tentangnya. “Kenapa tidak sekalian kau menyebutku b******n, berengsek, begundal, hah?” Ia menambahkan kosa kata lain yang cocok disematkan ke dirinya. Rachel tersipu malu atas pemikirannya. Ia tak mengenal baik Daniel tapi sudah berpikiran negatif tentangnya. “Baiklah, Daniel. Aku akan memberikan kunci cadangan padamu.” “Tenang saja, Rachel. Aku tidak akan pergi ke mana pun.” Daniel berkata penuh keyakinan. Rachel tak memiliki pilihan lain selain mempercayai lelaki itu. “Ini!” Ia menyerahkan kunci lainnya pada Daniel. “Aku akan bekerja, nanti sore aku pulang. Kau di rumah saja, jika butuh sesuatu kau hubungi saja rumah sakit Edyson. Aku sudah menuliskan nomornya di dinding dekat telepon.” “Siap, Nyonya.” Daniel berseru penuh semangat. Setelah memastikan Rachel telah meninggalkan apartemen, Daniel beringsut dari ranjang. Ia beranjak menuju telepon dan menghubungi asistennya, Albert. “Halo?” Suara Albert di ujung panggilan terdengar sinis. “Ini aku, Dan.” “Tuan? Astaga, akhirnya aku mendengar suaramu lagi. Kau baik-baik saja? Aku mencarimu ke mana-mana. Kau tahu? Nyonya Reinatta juga mencari Anda. Nona Selena dan Tuan Justin, mereka sibuk menanyakan kabar Anda.” “Sudahlah, berhentilah berbicara. Aku tidak tahu sejak kapan kau secerewet itu sekarang?” komentar Daniel sambil menjauhkan telepon dari daun telinganya. “Itu karena saya sangat mengkhawatirkan Anda, Tuan.” “Sekarang kau tidak usah cemas. Aku baik-baik saja. Tapi, untuk sementara aku tidak akan kembali ke posisiku.” “Kenapa?” Albert merasa bingung. “Pokoknya jangan tahu padaku, kenapa! Nanti kujelaskan. Sekarang temui aku di cafe Green jam enam sore. Jangan lupa bawakan ponsel baru untukku.” “Baik, Tuan.” “Eh, ponsel jelek saja jangan model terbaru. Kalau bisa ponsel yang tidak memiliki akses internet.” Albert menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Biasanya bos mudanya ini selalu update soal teknologi, tapi aneh sekali jika dia meminta ponsel model jaman dulu. “Kau yakin bukan ingin menge’prank’ diriku ‘kan?” “Kau ini terlalu banyak bicara, Al!” keluh Daniel karena dia belum ingin menjelaskan situasinya yang dia hadapi saat ini. “Pokoknya temui aku dan jangan lupa bawa ponselku agar bisa menghubungimu. Kau mengerti?” bentak Daniel yang mulai tidak sabar. “Baik, Tuan.” “Oh iya satu lagi. Bawakan juga beberapa kaos bututku.” “Kaos butut?” “Kaos jelek milikku. Apa saja terserah. Aku harus mengganti piyama jelek ini.” “Maaf, Tuan. Anda sudah membuang semua kaos jelek dan lusuh milik Anda dulu.” “Kalau begitu, tolong kau pergi ke pasar tradisional dan belikan beberapa kaos murah buatku.” “Baiklah.” Albert mengiyakan tanpa banyak bertanya. Kemudian panggilan telepon mereka terputus. Daniel bersiap akan pergi, ia mengobrak-abrik isi lemari pakaian wanita itu mencari kaos yang cocok ia kenakan. Sayangnya Daniel tidak menemukan satupun pakaian yang pas karena ukuran badan wanita itu sangat mungil jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Daniel terpaksa keluar memakai piyaman rumah sakit yang dipinjamnya. Karena Rachel belum membelikannya pakaian lain. Toh ia akan bertemu dengan Albert yang akan membawakan pakaian yang ia butuhkan. Di sepanjang perjalanan yang terasa panjang, Daniel menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata yang melihatnya. Dirinya seperti memiliki tarikan magnet yang super kuat, karena perpaduan wajah tampan rupawan dan pakaian rumah sakit yang masih melekat di tubuhnya. Ia terlihat seperti seorang pasien rumah sakit yang baru saja melarikan diri. Seorang wanita tua menatapnya intens, Daniel hanya tersenyum kaku ke arahnya, bersikap seolah-olah ia bukanlah penjahat yang sedang kabur. “Apa kau baru saja kabur dari rumah sakit?” tanya si nenek asing itu padanya. Daniel tak heran dengan pendapat sang nenek, “Seseorang memukulku hingga aku lupa ingatan. Kemudian seorang wanita menyelamatkanku.” Hanya itu yang bisa Daniel ceritakan pada si nenek agar tidak mencurigainya terus menerus. “Malang sekali nasibmu, Nak!” Sang Nenek mengelus lembut punggung tangannya. Bersimpati penuh terhadapnya. Daniel bisa merasakan ketulusannya. Dia tersenyum lembut, senyum yang mampu melelehkan hati siapa pun, “Terimakasih, Nek.” “Rumahku ada di ujung jalan itu, jika kau butuh sesuatu, mampirlah. Aku akan membuka pintuku lebar-lebar untukmu.” “Terimakasih, Nek.” Daniel menyambut tawarannya dengan senyum sukacita. “Aku turun di sini. Sampai jumpa lagi?” Sang Nenek menekan tombol stop dan bus pun berhenti. Sebelum bus pergi, Daniel melambaikan tangan ke arah sang nenek. Bersyukur bisa memiliki teman perjalanan yang asyik hari ini. *** Seperti yang Daniel duga, kedatangannya di kafe Green juga menarik perhatian pada pengunjung kafe yang lain kecuali para pelayan yang sudah mengenalnya. “Selamat datang, Tuan.” Mereka menyambut kedatangan bos mereka tanpa banyak tanya. Daniel hanya menganggukkan kepala merespon sapaan salah seorang karyawannya. Di ruangan VVIP, Albert telah datang lebih dulu dan menunggunya. Tatapan Albert membulat melihat penampilan bosnya yang jauh dari bayangan. Setelah rumah sakit yang lusuh itu tidak membuat auranya menurun sedikit pun, “Apa kau sedang ‘cosplay’ jadi pasien?” ledek Albert menanggapi pakaiannya. “Kau berani meledekku, hah?” gerutu Daniel nyaris memukul wajah asisten pribadi kesayangannya itu. “Apa seseorang baru saja menghajarmu?” “Ya, bisa dikatakan begitu. Aku diserang seseorang yang tidak kukenal. Mereka sengaja ingin membunuhku.” “Tidak heran jika ada orang yang ingin kau mati. Kau memiliki banyak musuh, Bos. Apa kau tahu siapa mereka?” “Saat ini aku belum tahu. Karena itulah aku menyerahkan semua urusan perusahaan padamu. Laporkan padaku jika ada hal yang mencurigakan. Untuk sementara waktu aku tidak akan kembali. Jika keluargaku menanyakan dimana aku, bilang saja aku sedang dinas di luar kota.” “Sampai kapan?” tanya Albert putus asa. Karena dia sudah tidak tahan terus dicecar keluarga Daniel. “Aku akan membereskan masalah ini secepatnya. Aku tenang saja.” “Masalahnya kau tahu bagaimana jika berurusan dengan Nyonya Edyson.” Albert mulai mengeluh. “Belum lagi adikmu yang begitu cerewet menanyakan kabarmu. Dia sangat mengkhawatirkanmu.” “Nanti aku akan menghubungi mereka.” Daniel berkata begitu untuk menenangkan Albert. Dia mengenal betul karakter sang nenek juga Selena, adiknya. Apalagi dia sedang mengandung anak keduanya. Perasaannya pasti akan lebih sensitif. “Lekaslah kembali, Tuan.” Albert menyerahkan sebuah kantong berisi barang yang Daniel minta. “Oke, kau tenang saja Albert. Sekarang aku pergi dulu!” Daniel bergegas pergi. Tapi sebelum itu ia mengganti pakaiannya lebih dulu kemudian keluar dari kafe Green. Sekarang ia siap menyamar menjadi lelaki miskin dengan penampilannya yang lusuh. *** .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD