Part 9. Serangan Tak Terduga

1437 Words
Part 9 - Serangan Tak Terduga Daniel merasa ada seseorang mengikutinya saat ia turun dari pemberhentian bus. Ia berjalan tenang sambil bersiul. Meski begitu ia mengaktifkan mode waspada. Menghitung berapa orang musuh yang hendak menyergapnya. Suasana jalan menuju apartemen saat itu cukup hening. Tumben sekali, tidak banyak orang berlalu lalang kala itu. Daniel mengambil langkah cepat dan tenang. Ia harus memikirkan cara untuk melarikan diri. Dua orang pria berjaket yang wajahnya tertutup masker hitam dan topi kupluk membuat Daniel tidak bisa mengenalinya. Tindakan mereka begitu jelas, membuntutinya seperti seorang amatir yang kurang pengalaman. Hanya ada dua pria yang berjalan di belakangnya. Jika dalam kondisi normal, Daniel bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Sayangnya, kondisinya yang lemah paska operasi membuatnya harus berpikir dua kali lipat jika harus melawan mereka. Takut, jika lukanya mengalami sobekan lagi dan menginfeksinya. Bahkan mungkin kematian yang akan menyapa dirinya. Daniel tidak akan mengambil risiko itu. *** Pukul delapan malam, saat kembali ke kamar apartemennya, Rachel kecewa saat kamarnya kosong tak berpenghuni. “Daniel?” Hening. Tidak ada jawaban. “Daniel?” Ia memanggil lagi, mencari ke sekeliling. Tetap tak ada jawaban. Rachel membuka pintu kamar lelaki itu kali ini. Perasaannya kecewa, saat melihat ruangan telah kosong, lelaki itu telah pergi meninggalkannya. Rachel merasa ditipu olehnya. “Bereng-sek!” Ia memaki seraya membanting pintu kamar dengan keras. Emosi memenuhi dirinya. Bisa-bisanya ia ditipu oleh Daniel, setelah ia menyelamatkan hidupnya. Rachel menertawai kebodohannya. *** Di sisi jalan yang mulai sepi, dua lelaki yang membuntutinya berjalan semakin cepat ke arahnya. Dari pergerakannya, Daniel tahu kalau ia masih kalah cepat dari mereka. Kali ini Daniel hanya bisa berlari, menyelamatkan diri. Ia tak berani mengambil risiko melawan mereka berdua di tengah kondisinya yang belum stabil. Lari adalah satu-satunya ide yang tercetus di benaknya. Ia mengambil langkah secepat mungkin menghindari kejaran dia pria yang terus mengejarnya secepat kilat di belakangnya. Daniel meringis sambil terus berlari. Mengapa sulit sekali mencapai area lobi apartemen, sesaat sebelum ia mencapai pagar, Daniel disergap salah seorang dari penguntitnya. Mereka menjatuhkan Daniel tepat mengenai luka di d**a kirinya. “Aargghh ... “ Daniel mengerang. Darah merembes di kaos hitamnya, menggenang di tanah jalanan yang becek bekas hujan. Menyamarkan aroma darah yang amis dari tubuhnya. Seorang pria lainnya, mendaratkan tinju di wajahnya dengan sangat keras. Membuat pandangan Daniel berkabut. Kepanya berdentam-dentam. Rasa sakit menyerangnya, kuat. Nyaris saja ia kehilangan kesadarannya. Keduanya melancarkan serangan bertubi-tubi ke sekujur tubuhnya. Tak membiarkan Daniel bangkit untuk membalas serangan mereka. Daniel tertelungkup di tanah, berusaha melindungi luka operasinya dengan lengannya. Meski rasanya sangat menyakitkan, tapi pikirannya hanya tertuju pada Rachel. “Rachel ... “ bisiknya lirih sebelum ia kehilangan kesadaran. Hujan turun dengan deras, menyamarkan serangan atas dirinya. Sehingga orang-orang di sekitarnya tidak menyadari kalau Daniel sedang di sekarat di sisi jalan apartemen, menunggu bantuan. “Apa dia sudah mati?” “Entahlah! Kita jangan sampi membunuhnya. Bos menyuruh kita hanya memberinya pelajaran. Kau mengerti?” Di tengah suara hujan yang berisik, lagi-lagi Daniel bisa mendengar suara penyerangnya tengah berdebat. Tapi, suara itu berbeda dengan suara yang kemarin menembaknya. Penyerangnya ini bukan dari orang yang sama. “Jadi bagaimana? Apa kita tinggalkan saja dia di sini?” “Iya. Kita biarkan saja. Toh, Bos Lukas hanya menyuruh kita menghajarnya bukan membunuhnya.” Lukas, Daniel mencatat nama lelaki itu dalam benaknya. Menyusun rencana balas dendam sebelum hidupnya berakhir. Kedua lelaki itu pergi. Menghilang dari balik pekatnya hujan yang mengguyur kota York malam itu. Daniel mengerang seraya merangkak menyusuri jalan yang sepi dan temaram. Berusaha mencapai lantai 8 apartemen milik Rachel. *** Kegelisahan melanda. Rachel merasa kesal sekaligus kecewa. Walau di hatinya ada sebuah firasat yang aneh ia rasakan. Entah mengapa ia mempercayai lelaki itu. Daniel, nama itu telah terpatri dalam hatinya begiu saja. Membuat Rachel memikirkannya tanpa alasan. Sebuah ketukan pintu terdengar di kamar apartemennya. Rachel beringsut dari ranjang, membukakan pintu. “Astaga, Daniel!” Rachel memekik melihat kondisi miris Daniel yang berdiri di depan pintu dengan wajah babak belur dan tubuh penuh luka. Darah merembes dari pakaiannua yang kotor bercampur lumpur dan air hujan. “Aku kembali, Rachel.” Daniel berkata lirih sebelum ia limbung, jatuh ke lantai, dan tak sadarkan diri. “Daniel ... “ Rachel menangkap lelaki itu sebelum tubuhnya menghantam lantai yang keras. “Tolong!!!” Ia berteriak memanggil penghuni apartemen lain, berharap seseorang dapat menolongnya. *** “Daniel bertahanlah.” Perasaan Rachel hancur melihat kondisi lelaki itu yang kritis kedua kali. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Rachel merasakan perasaan aneh saat mendapati Daniel sekarat karena serangaj seseorang yang tak mereka kenal. Di tengah kegelisahannya, ia mencari informasi dari petugas keamanan yang berdinas malam itu. Berdasarkan rekaman kamera pengawas, Daniel mendapatkan serangan dari dua orang asing yang entah bagaimana Rachel mengenali mereka sebagai kaki tangan sang ayah. Dengan murka, Rachel mendatangi rumah masa kecilnya. Ia merangsek masuk melewati pagar pembatas, dua orang pegawai yang biasa bertugas di depan gerbang tak kuasa menahan kedatangannya. Rachel datang membawa sepucuk pistol di tangannya. Bermaksud mengancam sang ayah karena tindakan brutalnya menghajar Daniel yang tidak bersalah. “Rachel, tumben kau pulang?” Seperti biasa ia disambut sapaan dingin ibu tirinya, Reina yang sejak dulu memang selalu membenci dirinya. Rachel terus berjalan, mengabaikan kesinisan wanita jahannam itu. “Hei, kalau orang tua bicara tuh, kamu harus mendengar.” Reina yang tidak terima diabaikan seperti itu mulai marah. Rachel menghentikan langkahnya, menoleh tajam ke arahnya. Seketika Reina membungkam mulutnya dengan kedua tangannya saat melihat sepucuk senjata di tangannya. “Kau ... apa yang mau kau lakukan?” Rachel mulai muak dengan drama di keluarga ini. Termasuk muak dengan sikap arogan dan intimidasi sang ayah yang selalu egois mengatur kehidupan dirinya. Bahkan ibunya sampai rela kehilangan nyawa karena sedih memikirkan pengkhianatan sang suami yang lebih memilih wanita jalang itu dibandingkan Rachel dan ibunya. Mengabaikan keterkejutan ibu tirinya, Rachel berbelok ke sisi kanan menuju ruang kerja sang ayah. Ia mendobrak pintu yang terbuat dari jati yang sangat kokoh. Benar saja, lelaki tua itu berada di meja kerjanya menunggu kedatangannya. “Selamat datang kembali, Putriku.” Lukas yang mengetahui kedatangan putrinya menyambut Rachel dengan senyum tipis. Ia sama sekali tak gentar, meski Rachel membawa senjata di tangannya. “Apa yang kau lakukan pada Daniel?” tanya Rachel dengan tegas pada lelaki tua itu sambil menodongkan senjata ke arahnya. Tahu kalau putrinya tidak akan berani menembaknya, Lukas hanya berdiri dari kursinya. “Aku tidak melakukan apapun padanya.” “Jangan main-main!” Kali ini Rachel mengokang senjatanya, bersiap menembak. Lukas hanya menghela napas dalam, “Kau tidak akan berani menembakku, Rachel.” Ucapan itu sontak membuat Rachel berani melesatkan peluru, namun ia sengaja menargetkan lukisan yang terpasang di dinding tepat di belakang Lukas berdiri. “Kali ini aku sengaja terpeselet. Tapi tidak dengan tembakanku yang selanjutnya.” Rachel mulai mengancam. Ancaman tersebut berhasil membuat Lukas ketar-ketir, karena putrinya serius. Sepertinya ia telah membangunkan monster betina yang tertidur. “Katakan padaku, apa kau yang menyuruh seseorang menghajar Daniel?” Rachel kembali menuntut kejujuran Lukas. Lukas terpaksa jujur, sebelum Rachel berhasil mengenainya, “Aku hanya ingin memberinya pelajaran.” Rachel menembak lagi, suara tembakkan tersebut begitu memekakkan telinga. Ia mendengar jeritan keras di belakangnya, milik Reina, ibu tirinya. “Rachel, kau jangan durhaka pada ayahmu.” Ia berusaha menenangkan Rachel yang terbakar emosi. “Diamlah! Atau kau akan menjadi targetku selanjutnya,” ucap Rachel tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. Reina pun terdiam seketika. Tak berani mengontrontasi Rachel sedikit pun. Ia memberi sinyal ke pada suaminya yang membeku di hadapan putrinya. “Kali ini aku datang untuk memperingatkanmu. Jangan pernah mengusik hidupku atau Daniel lagi. Atau aku akan kembali dan menghabisi kalian semua ini. Jangan kira aku akan diam saja setelah kau menghancurkan hidupku dan ibuku.” Lukas menelan salivanya dengan susah payah. Terpaksa mengangguk setuju. “Batalkan pernikahanku dengan pria tua itu.” “Tidak semudah itu, Rachel.” Kali ini Lukas mulai berkata, “Aku berutang banyak padanya.” “Itu urusanmu. Bukan urusanku. Aku nggak mau tahu. Batalkan pernikahan itu atau kau nikahkan saja dia dengan Violet.” “Jangan macam-macam!” Reina berteriak di belakangnya. Tak terima kalau putri kesayangannya menjadi tawanan untuk pria tua bengis itu. “Kalau begitu, kalian pikirkan sendiri cara membatalkannya. Aku akan pergi!” Rachel menyimpan kembali senjatanya lalu pergi. Sedangkan Lukas hanya terduduk lemas di kursinya, gemetar di sekujur tubuhnya melemahkan tulang-tulang di kakinya. “Pi, kau harus atur anakmu itu. Pokoknya Mami nggak mau Violet menikah dengan pria tua bangka itu!” Reina mengeluh pada suaminya atas nasib malang mereka yang terjerat utang si tua bangka maniak itu. “Pokoknya Mami tenang saja. Papi akan pikirkan cara lain supaya Rachel mau menerima pernikahan itu.” Lukas berkata penuh keyakinan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD