Misi Pertama

1199 Words
“Maaf ya Tisya, kalau kemarin saya benar-benar mempermalukan tulisan kamu hingga saya buang. Tapi, dari situ saya bisa paham kalau kamu memang sedang haus ilmu untuk penulisan jurnalistik sendiri, apakah betul, Tis?” tanya Bu Rere. “Hmm, sebenarnya bukan haus ilmu di bidang jurnalistik saja, sih. Akan tetapi saya juga haus akan kasih sayang Jeon Jong Kook, Bu … “ jawab Tisya diselingi dengan lelucon karena sebelumnya Bu Rere membuat sebuah celetukan juga. “Aduh, udah salah server kamunya,” Bu Rere menepok jidatnya. “Ayo bangun Tis, malu sama umur kalau masih suka menghalu,” tambah Bu Rere. Tisya manyun, “Bu Rere gak seru ah, kenapa saya harus malu sama umur? Umur kan hanya sebuah angka, tidak ada arti apa-apa di dalamnya,” tukas Tisya yang kebanyakan ngebaca quotes di Twitter nih. Bu Rere menggelengkan kepalanya, ia berfirasat kalau kebanyakan ngomong tidak penting, diskusi tidak akan berjalan sedikitpun. “Tisya, kita omongin nanti ya soal itu, yang terpenting sekarang saya akan langsung membahas tentang judul berita dulu. Ayo, anggota yang lain silakan menyiapkan catatannya karena saya tidak akan mengulang untuk yang kedua kalinya,” pesan Bu Rere. Semua anggota yang sudah kebiasaan membawa buku catatan kecil, langsung mengeluarkan milik mereka masing-masing. “Siap, Bu!” koor seluruh anggota. “Baik, pertama yang akan kita pelajari tentang membuat judul berita. Seperti yang kita ketahui, judul merupakan wajah dari isi berita yang ditulis. Judul harus memiliki makna penting yang berkaitan dengan isi, dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Kalau dari judul saja tidak menarik apalagi bertele-tele, sudah dipastikan pembaca akan mundur teratur untuk membaca tulisan kalian,” jelas Bu Rere, yang mana penjelasannya itu ditulis langsung oleh para anggota. “Sampai di sini apa ada pertanyaan?” tanya Bu Rere sebelum melanjutkan materinya. Tisya pun mengangkat tangannya, “Saya Bu mau bertanya … “ “Oke, silakan, saya gak mau pertanyaan yang berhubungan dengan Jeon Jong Kook, ya,” kata Bu Rere yang kembali menyeletuk. Hmm, kalau kita lihat dari sini, Bu Rere itu termasuk orang yang demen banget sama yang namanya bercandaan. Buktinya saja, tiap ada hal-hal serius yang sedang dikerjakan, Bu Rere tidak lupa menyelipkan celetukan-celetukan agar suasana menjadi makin mencair. Ternyata, pandangan pertama ketika bertemu dengan Bu Rere, tidak sebegitu menyeramkan yang dikira, ya. “Iya, Bu. Ini saya serius kok bertanyanya. Begini, saya pernah membaca berita dengan judul yang sangat mainstream dan singkat sekali. Menurut saya itu juga judul yang tidak menarik dan tidak ada wajah barunya. Apakah Ibu juga berpikir demikian?” tanya Tisya. “Hampir mendekati benar. Kalau ada berita dengan judul yang mainstream, itu artinya memudahkan pencarian berita tersebut. Biasanya, judul yang mainstream diikuti dengan media yang mainstream. Intinya sih, kepengen cari banyak-banyak pembaca doang. Dan kalau dalam kamus saya, itu sangat tidak dianjurkan! Sangatnya pakai huruf kapital semua sebagai penegasan,” jawab Bu Rere. “Lalu, untuk judul yang clickbait, menurut Ibu bagaimana?” tanya Tisya lagi. “Pertanyaannya sangat dasar sekali sebagai jurnalis, mestinya kamu bisa menjawab pertanyaan kamu sendiri. Andin, coba kamu jawab pertanyaan dari Tisya,” Bu Rere malah melemparkan pertanyaan tersebut ke Andin. “Kamu yang dari tadi mencatat, pastinya tahu dong!” tambah Bu Rere. Andin mempertegak duduknya, “Saya yang jawab, Bu?” “Bukan, nenek kamu. Ya kamu, lah!” balas Bu Rere. “Hehe, nenek saya sudah meninggal, Bu,” respon Andin. Bu Rere terbelalak kaget, “Maaf, Din. Saya gak bermaksud kok, hmm—“ “Santai, Bu. Wajar dong kalau Ibu gak tahu, kita aja baru ketemu kemarin. Masa iya Ibu mau tahu keluarga saya hanya dalam sehari? Kan mustahil, hehe. Oke, saya akan menjawab pertanyaan Tisya,” kata Andin tapi nyomot tiga buah makaroni pedas yang ada di depannya dulu. “Baik, kalau untuk judul clickbait sendiri, saya tidak sepakat ya. Dikarenakan judul tersebut cenderung mengarah ke berita hoax. Atau yang lebih gampangnya sih, judul yang menjual sekali dan mengiming-imingi isinya bagus, alhasil ketika dibaca malah biasa saja atau cenderung banyak yang tidak penting,” beber Andin. “Saya pun sering menemukan hal semacam ini, dan membuat saya cukup geram. Apalagi kalau media-media yang hanya menjual judul yang lagi viral, dan tidak memperhatikan kualitas sama sekali, ingin rasanya saya tutup itu medianya,” lanjut Andin. “Jadi, menurut kamu, judul berita itu harus yang seperti apa?” tanya Bu Rere. “Seperti yang dibilang sama Bu Rere di awal, harus menjelaskan makna dan isi dalam berita,” jawab Andin. “Maaf kalau salah, Bu, saya juga masih belajar, eheheh,” kata Andin. “Bagus, bagus … tepuk tangan semuanya buat Andin. Jawabannya sudah benar, yang penting berita itu harus menjelaskan isi, itu lah hal yang paling paling utama. Tisya, apa sudah paham sampai sini?” tukas Bu Rere. Tisya menganggukan kepalanya. “Lumayan, Bu. Sudah ada gambaran lebih banyak di kepala saya,” respon Tisya. “Oh ya, saya mau bertanya, memangnya sebelumnya itu kalian belajar membuat berita itu dimentorin siapa, ya?” ujar Bu Rere. “Kita di awal dikasih materi sama wartawan local aja sih, Bu … materinya pun tidak sampai dalam, hanya di permukaannya saja,“ terang Andin yang memelankan suaranya. “Biarpun kalian semua di sini hanya belajar berita di permukaan, sering-seringlah berlatih sendiri, practice makes perfect, kan? Nah, anggaplah kalian itu adalah orang-orang yang haus ilmu, jadi selalu mau mencari ilmu ke mana saja,” pesan Bu Rere pada semua anggota. “Dan saya mau bertanya nih, untuk pembimbing kalian yang sebelumnya, apa sering melakukan evaluasi atau kunjungan ke ruang organisasi?” tanya Rere. Dengan mantapnya seluruh anggota menggelengkan kepalanya secara bersamaan. Hal itupun membuat Bu Rere terkekeh. “Kasihan sekali kalian, anak-anakku. Tapi gak perlu dikagetin sih kalau Pak Joseph adalah orang yang seperti itu. Beliau adalah Kepala Bagian Keuangan kampus, jadi kerjaannya sangat banyak dan gak sempat memperhatikan kalian. Ya semoga, dengan saya menjadi pembimbing baru kalian di sini, organisasi ini bisa makin maju, produktif, dan pastinya diisi dengan orang-orang yang kompeten,” harap Bu Rere. “Apa kalian siap untuk melanjutkan perjuangan di pers mahasiswa kampus?” tanya Bu Rere di akhir diskusinya. “SIAP!” seruan dari para anggota, yang jiwanya masih berkobar-kobar. “Kalau kalian siap, saya mempunyai satu misi rahasia yang harus kalian kerjakan. Misi sangat penting untuk dibahas, sangat sangat penting! Dan untuk menjalankan misi ini dibutuhkan kerjasama, ketekunan, dan kefokusan yang maksimal. Kalian menjadi jurnalis, harus memegang teguh tiga poin tersebut. Saya yakin sekali diantara kalian bisa menguak misi ini,” kabar Bu Rere yang membuat semua anggota mengerutkan dahi mereka satu per satu. “Apa itu Bu?” tanya Andin dengan rasa penasarannya yang mencuat. “Kasus pelechan seksual yang ada di kampus ini, misi itu harus kita jalankan sekarang juga mengingat banyaknya laporan-laporan yang saya dengar. Tapi, sebelum melangkahkan misi itu lebih jauh, saya ingin janji kalian untuk menuntaskan kasus ini sampai akar-akarnya, bagaimana?” Bu Rere memberi pertanyaan kembali. Seluruh anggota saling memandang satu sama lain, di pikiran mereka hanya ada dua, berani menyelesaikan misi yang ditawarkan oleh Bu Rere demi kesejahteraan bersama, atau memilih diam membatu agar tidak menerima resiko dari pihak manapun. Lalu, apakah yang dipilih para anggota pers mahasiswa kampus dengan adanya misi dari Bu Rere ini?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD