Percaya Takdir

2999 Words
Ardan bersiul-siul. Cowok tengil itu hendak menjemput mamanya. Karena mobil mamanya kan masih berada di bengkel. Papanya masih di Bogor. Dari pada kelamaan, mending ia yang menjemput. Tapi tiba di rumah sakit, mamanya masih sibuk melakukan operasi pada pasien. Akhirnya yaaa seperti biasa, malah berdiri di depan meja resepsionis sambil menggoda para karyawan. Hahaha. Semenjak ayahnya Talitha sudah tak bekerja di sini, ia jadi liar berada di sini. "Ada dokter baru gak, Jo?" Si Joni terkekeh. Satpam yang turut berjaga di resepsionis itu pasti mengenal cowok tengil yang satu ini. Kisahnya kan legendaris. Semua orang tahu bagaimana dramanya dulu saat masih kecil di sini. Ardan masih trauma akan hal itu? Ohoooo. Tentu saja tidak. Anggap saja itu angin lalu. Tidak perlu dipikirkan. Semua akan lupa pada masanya. Ya kan? "Dokter residen banyak, pak bos. Tapi udah pada punya suami. Paling si Abel tuh yang masih jomblo." "Lu kira gue gay?" Joni terkikik-kikik. Ya biasa lah kalau mengobrol dengan cowok yang satu ini memang tak perlu sungkan. Sama seperti menghadapi anak direktur, si Ferril. Kecuali yaa pada Farrel. Baru sungkan. Auranya kan beda. Sama seperti direktur mereka. "Dokter koas gimana?" Joni terkekeh-kekeh lagi. "Ada banyak sih, pak yang baru. Tapi saya juga kurang tahu masih jomblo atau enggaknya." Ia mengangguk-angguk. Lalu matanya teralihkan dengan seorang perempuan yang tampak berjalan menuju pintu lobi sambil menelepon. "Iya, gak apa-apa. Paling nginep semalem." Ardan menegakkan tubuhnya. Tidak lagi bersandar pada meja. Kemudian mengikuti perempuan itu. Ia berdiri di belakangnya. Yah tak begitu jauh dari pintu. Perempuan itu mengambil makanan dari ojek online lalu berbalik badan dan Ardan nyengir. "Kok di sini, tan?" Ia langsung menyapa. Tentu saja ia mengenal tante Jihan, istrinya om Tio. Perempuan itu sudah mematikan teleponnya. Ardan malah berjalan bersamanya. "Keera tadi kena tabrak mobil." "Oh? Ada Keera juga?" "Ada. Dia lagi koas di sini. Mau jenguk?" "Boleh deh, tan. Udah lama gak lihat Keera." Jihan terkekeh. "Apa kabar kamu?" Rasanya sudah lama sekali tak melihat cowok yang tengil satu ini. Berapa tahun yaa? Jihan juga jarang ke Jakarta semenjak lama pindah ke Padang. "Alhamdulillah, tan. Masih nyari jodoh." Jihan tertawa. Masalahnya dari dulu masih belum teratasi ternyata. "Masa cowok kayak kamu gini susah nyari cewek sih?" "Nah itu lah, tan. Ardan juga bertanya-tanya kenapa begitu sulit untuk mencari jodoh, tan," curhatnya dengan nada puitis dan ekspresi wajah yang benar-benar dramatis. Jihan tak bisa berhenti tertawa kalau bersama cowok tengil yang satu ini. Yaa bagi ibu-ibu seperti Jihan, sosok Ardan ini keren loh kalau dijadikan menantu. Karena bisa menghibur hati mertua. Eaaaak! "Udah nyari ke mana aja kamu?" "Dari Sabang sampai Merauke. Terus sampai Belanda, Jerman, Turki, dan yang lain tetep aja gak ketemu, tan." Jihan terpingkal-pingkal dibuatnya. "Kurang ibadahnya kali." "Nah itu lah, tan. Kan katanya kalau ibadah itu harus ikhlas," kali ini ia berbicara dengan sangat serius. Jihan masih terkikik-kikik sambil menutup mulutnya. "Ustad Marshall juga bilang kalau ibadah itu harus diniatkan karena Allah bukan karena pengen nyari jodoh, tan." Jihan masih tertawa-tawa. Ya benar sih. Cuma entah kenapa ucapannya yang seserius itu pun masih saja bisa membuat Jihan tertawa. Begitu menghibur. "Yaa makanya perbaiki diri. Niatnya juga harus dikuatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya bukan karena semata-mata untuk nyari jodoh." Ardan menjentikkan jari. "Jadi, tan, kali-kali kalau ketemu cewek yang sekiranya mungkin bisa cocok sama Ardan, tan. Tante bisa kabarin Ardan, tan," tukasnya bagai sales yang sedang mempromosikan barang. Jihan mengiyakan sambil tertawa-tawa. Bukan hanya pada Jihan sih, ia mengatakan itu. Hampir ke semua orang. Hahaha. Tapi herannya, satu pun belum sampai. Kenapa ya? Apa yang salah ya? Lalu keduanya tiba di ruang rawat Shakeera. Gadis itu sudah bangun. Langsung menoleh begitu melihat Ardan. Ya kan sudah lama tak melihat cowok jomblo yang satu itu. "Widiiih!" Begitu sapaan khasnya. Shakeera sedang tak mood untuk bercanda. Tapi setidaknya menghargai karena kedatangan Ardan di sini. "Lama gak ngelihat," Ardan geleng-geleng kepala. Jihan biar kan keduanya. Yaa siapa tahu anaknya mau meladeni Ardan. Cowok itu kan baik dari dulu. "Apa kabar lo?" Shakeera berusaha tersenyum kecil. Ia tak mungkin marah pada Ardan kan? Apalagi saat terakhir Ardan mencegahnya untuk tak bunuh diri di hari pernikahan Farras dan Ando beberapa tahun lalu. Lelaki itu yang menemaninya hingga ia diantar pulang. Ya lelaki ini memang sudah seperti abangnya sendiri. Meski ia tak punya abang. "Harusnya tadi abang bawa makanan yak? Tapi gak tahu kalo lo masuk rumah sakit gini." Shakeera hanya berdeham. Meski matanya tampak menatap Ardan yang mungkin kasihan juga melihatnya? Ardan masih menangkap kesenduan itu. Kesenduan yang ia lihat beberapa tahun lalu ketika menahannya berbuat gila. Ardan tak menyangka kalau Shakeera akan separah ini. "Tante bilang lo koas di sini kan? Kapan-kapan ngobrol lah sama abang. Nanti abang sering kain ke sini," ucapnya. Shakeera sungguh berterima kasih atas rasa simpati kepadanya. Yaa ia tahu sih kalau Ardan bukan mengasihani. Tapi dari dulu juga, ia sudah dianggap saudara oleh Ardan dan keluarga besar mereka. Jadi yaaa hal-hal sesepele ini sudah biasa. Cowok ini juga kan suka iseng menganggunya di media sosial. Protes lah karena ia tak balas mengikuti. Padahal bukan maunya begitu. Ia hanya sedang berupaya untuk menghindari lingkaran di sekitar Ardan. Lingkaran keluarganya Ardan yang memungkinkan pertemuan dengan orang-orang yang ia tandai itu. Meski Ardan juga tak bersalah sih. Dan kini ia sangat berterima kasih atas usaha Ardan yang sangat ingin menghiburnya. Ya selayaknya saudara yang saling menyayangi. Ardan kan memang begitu. Sangat baik hati. Sayangnya, tak semua perempuan bisa melihat sisi baiknya ini. Bukan kah dibalik ketengilannya ada kebaikan yang tak pernah ia tunjukkan? "Dari pada jenguk Keera, mending abang Ardan cari jodoh deh." Setelah setengah jam, akhirnya ia mau bersuara juga. Ardan terkekeh. "Ya kan siapa tahu jodohnya lewat lu. Lagi koas kan di sini?" Keera terkekeh-kekeh. Dasar sableng. Ada saja caranya biar misi utamanya tetap berhasil. Misi apa? Ya cari jodoh lah. Bagi Ardan, mencari jodoh itu tak gampang loh. Buktinya? Bertahun-tahun begini pun, ia masih jomblo. Bukan kah menyedihkan? Ya tidak sih. Ardan tidak mau merasa sedih. Karena apa? Karena ia percaya kalau Allah itu tak pernah memberikan takdir yang buruk kepada hamba-hamba-Nya. Percaya deh. Ya kan? @@@ Pagi-pagi sudah gaduh. Ia kaget dengan kedatangan suaminya. Ya suaminya menemukannya. Kini menamparnya bahkan berteriak agar para pengawal yang ia bawa segera membawa pergi anak dan istrinya. "Kamu gila apa?" Ia tentu marah karena istrinya menghilang beberapa hari ini. Kini bahkan ditampar berkali-kali. Apakah istrinya membalas? Tentu tidak. Ia hanya bisa pasrah tiap dipukul. Walau berusaha menahan para penjaga untuk tak membawa puterinya pun percuma. "Pa! Pa!" Ia mencoba mengejar anaknya yang dibawa masuk ke dalam mobil lain. Lalu kini ia terseret-seret masuk ke dalam mobil bersama suaminya. "Kamu gila apa? Kalau sampai orang-orang tahu Nisa masih di sini...." Ia kehilangan kata-katanya. Ia hampir kehilangan kata-katanya. Jabatannya jelas dipertaruhkan. Ia hendak ditawarkan menjadi Mensesneg dalam waktu dekat. Ia harus menjaga kredibilitas itu. Membuat anaknya tetap terlihat di sini baginya hanya akan menjadi bencana saja untuknya. Iya kan? Dan istrinya hanya bisa menangis. Ia melihat mobil yang membawa anaknya itu sudah bergerak jauh sekali meninggalkannya. Ia jelas sedih. Bagaimana mungkin tidak sedih? Anaknya membutuhkannya. Anaknya perlu disembuhkan. Apa suaminya ini tidak mengerti? "Aku mengirimnya ke Singapura." Ia benar-benar mengirimnya ke sana. Hari ini akan diberangkatkan dengan naik kapal agar tak membuat gaduh. Ia tak mau disorot media massa lagi. Sudah cukup dengan segala hal yang diperbuat anaknya dan membuatnya pusing kepala. "Pa!" "Aku tahu apa yang terhaik untuknya," ia menekan kata-kata itu ketika mengatakannya. "Kamu pikir, aku melakukan ini sekedar untuk bermain-main?" Istrinya menangis sambil menyandarkan tubuhnya. "Aku akan biarkan kamu menyusulnya nanti. Tapi nanti. Setidaknya beberapa hari ini, kamu harus temani aku dulu." "Aku tidak habis pikir denganmu!" ia jelas marah besar. Bagaimana bisa suaminya masih memikirkan hal lain dan mengabaikan anak mereka yang benar-benar membutuhkan mereka disaat kondisinya sedang terpuruk seperti ini? "Aku yang seharusnya mengatakan itu. Aku yang tidak habis pikir denganmu. Bukan kah kamu di rumah? Kenapa kamu bahkan tidak becus mengurus satu anak perempuan sedari dulu?" Ia menatapnya nanar. Ujung-ujungnya ia yang selalu disalahkan. Bahkan suaminya tak berhenti mengomel sekarang. Menyalahkannya atas apa yang terjadi pada Nisa hari ini. Menyalahkannya atas kepribadian Nisa yang berubah menjadi seperti itu. Dan yaah itu lah. Menyedihkan? Sangat. Apakah perempuan yang hanya disalahkan atas apa yang terjadi pada anak hanya karena mereka mengurusnya? Ia memang di rumah. Tapi kepribadian anak itu bukan tergantung hanya pada ibunya. Harus ada peran ayahnya. Bukan berarti karena sang ayah sibuk mencari nafkah lantas lepas tangan akan apa yang terjadi pada anak mereka. Karena keluarga itu adalah bentuk kerja sama dari kedua orangtua. Jadi tak sepatutnya kalau hanya menyalahkan salah satu dari keduanya. Bukan kah itu tak adil? Dan suaminya ini memegang tanggung jawab besar sebagai menteri. Terlihat sudah keren sekali dengan jabatan itu. Terlihat pandai sekali mengurus banyak orang. Tapi lihat lah, mengurus satu anak pun ia tak bisa kan? "Kamu hanya bisa menyalahkanku. Bahkan untuk kegagalanmu yang lain pun, yang tak ada hubungannya denganku, kamu masih sering menyalahkanku. Sekarang aku tanya," ia menatap dalam. Matanya sudah berair. Sungguh nanar sekali rasanya. "Kamu yang melakukan segala hal itu. Kamu yang mengambil keputusan itu sendiri tanpa peranku sama sekali. Lalu ketika gagal, apa pantas masih menyalahkanku atas apa yang bahkan tak ku lakukan sama sekali?" Ia sudah benar-benar marah makanya seperti itu. Tapi apa yang ia dapat? Suaminya menghentikan mobil sebentar lalu sekali lagi, tangan itu melayang untuk menampar pipinya. Ia menahan hatinya. Rasanya sakit sekali akan apa yang dilakukan oleh suaminya. Ditampar? Bukan kah itu sungguh menyakitkan? "Aku hanya memintamu untuk menurutiku. Kamu pikir, semua hal ini akan terjadi kalau kamu tidak menurutiku?" Dan rasanya ia ingin sekali berteriak. Berteriak sekali saja. Agar orang-orang tahu bagaimana suaminya yang sebenarnya. "Diam lah. Hanya turuti mauku," tukas suaminya kemudian. Ia sama sekali tak ingin dibantah. Ketika sudah memutuskan sesuatu maka semua orang harus menurutinya. Ia mengendarai mobil dengan cepat menuju ke rumah. Ada acara yang hendak dihadiri nanti malam. Ia bahkan seharusnya tak punya waktu untuk melakukan ini. Namun setidaknya ia berhasil menemukan istrinya yang pergi terlalu dekat. Ya seharusnya kalau benar-benar ingin kabur ya jangan di sini. Jangan di Bogor. Dari Bogor ke Jakarta hanya berapa jam hah? Dekat sekali bukan? @@@ "Aneh tau gak?" Ia hilir-mudik di depan dua orang yang juga bingung dengan aksinya itu. Ia terus bercerita bagaimana kronologi pertemuan terakhirnya dengan Farrel yang begitu membekas. Tentang bagaimana lelaki itu ketakutan. Bahkan tubuhnya sampai gemetaran dan yah apalagi ya? "Gay?" Dava dan Bella terbahak. "Kalau bukan gay, terus apalagiiii?" Ia dongkol karena kedua orang itu puas sekali tertawa. Lalu kesimpulan apalagi yang harus ia ambil kalau bukan gay? Ia tak berhenti bercermin kala itu. Ia tampak cantik sekali malam itu tapi Farrel bahkan enggan melihatnya. Apa namanya kalau bukan gay? Ia frustasi. "Lo yakin?" Dava mengambil minumannya dan meneguknya hingga tandas lalu kembali menatap Shabrina yang yah tampak frustasi atas apa yang terjadi. Sementara pacarnya masih terkikik-kikik geli. Gay? Dava sih jelas tak percaya. Ia kan cukup lama mengenal Farrel. Bahkan sikap Farrel selama ini normal-normal saja dan cenderung gentleman. Bagaimana mungkin bisa menjadi seorang gay?  Ia terbahak lagi ketika mengingat hal itu. Terheran-heran dan benar-benar merasa lucu. Ia memang tak tahu bagaimana kejadian aslinya. Ya kan CCTV dimatikan. Shabrina juga ingin sekali agar itu privat. Ia ingin berbuat sesuka hatinya dengan Farrel. Ia bahkan sudah membayangkan bisa berciuman dengan lelaki itu. Bukan kah itu tampak menyenangkan? Lelaki setampan itu adalah idamannya. Ia bukan melihat kayanya tapi soal kekerenan. Siapa yang tak tertarik dengan Farrel Adhiyaksa? "Terus apalagi coba kalau bukan gay, Mas Davaaaaa?! Astagaaaa! Bahkan nih ya seumur hidup gue, baru kali itu gue ketemu cowok kayak gitu." Bella tertawa. Ya menurutnya juga tak masuk akal kalau Farrel itu gay. Yaa sampai sekarang juga Shabrina masih merasa aneh. Masih tak yakin juga. Karena cowok gay rasanya tak seperti itu. Tapi bekum tentu juga kan? Yang gay itu belum tentu tertebak. Iya kan? "Emangnya kalau cowok gay didekati cewek begitu, reaksinya bakalan menjadi seperti itu?" Bella melempar pertanyaan. Ia jelas penasaran tapi Shabrina mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. Ia tak pernah berurusan dengan cowok gay karena selama ini, lelaki yang mendekatinya adalah laki-laki yang normal. Tidak ada yang gay dan juga tidak ada yang berkelakuan aneh seperti Farrel. Baru kali ini ia berhadapan dengan cowok yang benar-benar gemetaran.  Bella kembali terkikik. Ya lucu saja. Masih tak percaya juga. Seorang Farrel Adhiyaksa? Bisa menjadi lelaki gay? Ohoooo. "Sia-sia deh lo dandan sampe lima jam begitu eeeeh gak dapet apa-apa," oloknya.  Shabrina mendengus lantas menghabiskan minumannya. Ia juga kesal setengah mati kalau ingat itu. Melihatnya bahkan tidak. Ia jadi bertanya-tanya setinggi apa sih tipe perempuan yang dicari Farrel? Bahkan sampai tidak melihatnya? Tidak mau melihatnya? Ia ingin sekali mencari tahu bagaimana masa lalu Farrel. Tapi yang ia tahu, cowok itu memang pernah menyukai perempuan saat SMA. Tapi ia tak tahu siapa perempuan itu karena Ferril tak membeberkannya. Ya kam Ferril tak akan bisa masuk ke dalam perangkapnya lalu mau-mau saja membeberkan segala hal tentang Farrel kepadanya. "Kalau bukan gay," ia masih mencoba mencari jawaban untuk itu, "Trauma?" Bella terbahak mendengarnya. "Maksud lo, dia punya trauma karena kekerasan oleh cewek begitu?" Shabrina berdecak. Mungkin bukan yang seperti itu juga. Lagi pula badan Farrel seberotot itu masa tak bisa melawan? Atau mungkin trauma masa kecil? Ya kan kakau masih kecil pasti tak mampu melawan? Tapi rasanya tidak mungkin juga kan? Bagian itu menurutnya tak masuk akal sama sekali. Dan semua khayalan indahnya buyar sudah hanya gara-gara rasa takut dari lelaki itu. Ohoii. Bahkan ia rela memberikan segalanya kalau Farrel meminta. Ia sangat mencintai lelaki itu. Ini bukan lagi sekedar rasa tertarik. Bahkan mungkin lebih ya kan? Ia seharusnya sudah bisa menjadi kekasih itu sekarang. Mu gkin menemaninya bekerja? Atau bahkan waw melakukan itu di ruangan kerjanya? Ia malah mengkhayalkan hal itu tapi lagi-lagi khayalan itu buyar. Sirna sudah ketika Farrel berlari terbirit-biri meninggalkannya. "Apa mungkin trauma keluarga?" Dava terbahak. Itu semakin tak masuk akal menurutnya. Trauma keluarga? Ia geleng-geleng kepala. "Lo kalau datang ke rumahnya, gak akan nemu jejak kekerasan rumah tangga apalagi sampai bikin trauma. Yaaa keluarganya itu lovable, Shab. Ayahnya pengusaha rumah sakit, besar. Bukan cuma punya satu rumah sakit. Ibunya? Ibunya mantan dosen di UI, Shaab. Ferril? Lu tahu lalau dia itu CEO dan kembaran perempuannya? Juga sukses jadi pebisnis sekaligus pembicara. Terus lakeknya? Konglomerat. Semua orang di negara ini pun tahu bagaimana harmonisnya keluarga besar mereka itu. Jadi apanya yang trauma keluarga?" Ia tertawa-tawa. Menurutnya itu memang bagian yang tak masuk akal. Shabrina jelas berdecak. Ia tak punya ide lain untuk menyebutkan alasan dari hal itu. "Terus apa dong, maaas?"  Ia tak mendapatkan jawaban. Bahkan sepasang kekasih itu malah tampak saling merangkul dan duduk berhimpitan itu hanya bisa tertawa. Mereka mana tahu jawabannya sih? Lagi pula, selama mengenal Farrel, Dava mengenalnya sebagai lelaki yang sangat misterius dan yaaa kadang terlihat sangat berbeda juga. Tapi bukan sebagai lelaki gay yang dituduhkan Shabrina. Ia yakin Farrel jauh dari itu. "Psiko kali aaah." Dava hanya punya ide itu. Tak ada lagi ide lain yang terlintas di kepalanya. "Kalo dia itu psiko, gue udah abis kali semalem, Maas! Udah mati tahu gak?"  Ia sebal karena Dava asal bicara. Tapi Dava tak peduli, ia juga tak bisa dekat dengan Farre karena yaaa terkadang cowok itu terlalu susah untuk didekati meski kadang asyik mengobrol dengannya. "Mungkin lo bisa tanya kembarannya, Shaab. Kan lo bilang kalau dia pernah jatuh cinta tuh sama cewek waktu SMA. Ya lo cari tahu lah siapa ceweknya," usul Bella. Shabrina jelas menolak mentah-mentah ide itu. Ferril mana bisa diajak kompromi? Ia tampak seperti lelaki liar lainnya. Tampak menyebalkan. Tapi sungguh lihai dan memgerikan. Berurusan dengannya, mungkin bisa membuat siapapun mati. Bahka Shabrina juga masih ingat bagaimana kata-kata terakhir dari Ferril padanya. "Lo boleh dekati cowok lain, Bri. Silah kan dan gue gak akan ganggu. Tapi jangan pernah lo deketin Abang gue. Jangan sampai telanjang di depan abang gue. Lo akan tau akibatnya kalau melampaui batas itu. Dan garis bawahi ya kalau gue udah pernah ingetin lo soal ini. Jadi jangan salahkan gue kalau gue bahkan bisa matiin hidup lo. Lo tahu gak rasanya sekarat tapi gak mati-mati?" Ia bergidik kembali saat mengingat itu. Ia tak tahu kenapa Ferril begitu sensitif ketika menyangkut urusan Farrel. Padahal bukan kah Farrel juga bisa menjaga dirinya? Dan lagi, cowok mana sih yang menolak cewek telanjang? Yaa kalau ia tak mempan didekati dengan cara lain, dengan cara seperti itu biasanya lebih manjur. "Shaaaab!" Kedua orang itu menyadarkannya. Lalu mereka sama-sama terbahak melihat Shabrina kaget. Shabrina menarik nafas dalam. Ia juga tak paham dengan lelaki itu. Shabrina membaringkan tubuhnya. Lelah berkonfrontasi dengan diri sendiri. Lalu membuka ponsel dan mengecek akun media sosial lelaki itu. Yaa cowok itu bukan seperti Ferril. Terkadang Ferril masih update. Kalau Farrel memang bukan tipe yang seperti itu. Bahkan gambar manusia di dalam akunnya hanya gambar bunda. Tak ada gambar perempuan lain dan menurutnya, Farrel juga bukan tipe cowok playboy seperti saudara kembarnya yang b******k itu. Makanya ia semakin menyukai lelaki ini. Tapi kenapa susah sekali mendapatkannya? Ia belum pernah sekalipun seperti ini. Begitu sulit mendapatkan seorang lelaki yang sangat ia ingin kan. Lalu ia mondar-mandir di dalam kamar. Harus bagaimana lagi kah? Memesan ruang privat lagi? Aaah Farrel pasti akan tahu kalau itu sampai terjadi lagi. Atau ia memesan kamar sekalian? Bukan kah itu lebih menggoda? Harusnya para lelaki senang dong karena ia sangat berinisiatif seperti ini. "Ya udah. Lo datengin aja kantornya, Shaaab." Ia kembali menelepon Bella di malam hari. Ia begitu terusik dengan hal ini sampai susah tidur. "Ya teruuus?" Ia mendongkol. Kalau sudah datang lalu ajak bicara tapi kalau Farrel masih menghindar bagaimana? "Lo telanjang aja coba. Goda sekalian dan terang-terangan. Masa masih nolak sih kalau dikasih badan?" "k*****t emang lo yah. Orang lagi serius juga." Bella terbahak. Ya kan ia hanya ingin membantu. Siapa tahu cara itu berhasil. "Atau duduk di pangkuannya gitu. Duduk di atas mejanya deh. Masa gak tertarik sih sama badan lo yang seksi gitu?" Ia berdesis. Itu juga yang menjadi pertanyaan baginya. Cowok itu hanya berlagak tak tertarik dan menjadi munafik? Masa tak tertarik? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD