Tiga

1656 Words
Pagi sekali Angga bangun dari tidurnya, mereka memang tidur sekamar dan satu ranjang, namun tidak seperti pasangan pengantin baru lainnya, karena Viera jelas memunggunginya dan Angga melakukan hal yang sama, lebih memilih memeluk bantal guling dibandingkan istrinya sendiri. Angga menyiapkan sarapan untuk istrinya, semangkuk oatmeal dengan potongan buah segar di atasnya, lengkap dengan s**u rasa vanila. Setelah sarapan siap, dia yang sudah mandi dan berpakaian rapih itu pun kembali masuk ke dalam kamar, duduk di pinggiran ranjang lalu mengguncang pelan bahu Viera yang masih tertidur pulas. "Bangun Vier," ucapnya, beberapa kali memanggil nama istrinya, Viera menggerakkan kelopak matanya, melihat Angga, nampak sedikit kaget namun dia bisa menguasai keadaan, mungkin dia tadi lupa jika mereka telah menikah. "Jam berapa ini?" tanya Viera, menguap dan mengangkat tangannya ke atas untuk mengulet. "Jam setengah tujuh, aku udah siapin sarapan untuk kamu, mau mandi dulu atau sarapan dulu?" tawar Angga. Viera mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menepis kantuknya, baru kali ini dia merasa tertidur sangat pulas meski tanpa obat tidur yang biasa dia konsumsi. "Sarapan, hoammm,," Viera lagi-lagi menguap, meskipun kali ini dia menutup mulutnya, Angga menarik selimut Viera dan membiarkan Viera turun dari kasur, lalu dia melipat selimut itu dan merapikan bantalnya saat Viera ke toilet untuk membasuh mukanya. "Hanya ada oatmeal dan buah di kulkas, sepertinya nanti malam kita harus belanja ke supermarket," ucap Angga, memotong apel dan menyuapnya. Viera menikmati oatmeal yang masuk ke mulutnya, padahal dia terbiasa makan makanan ini, namun entah kenapa rasanya kali ini lebih nikmat, sesaat Viera terkejut namun dia teringat bahwa Angga memang bekerja di restoran, sudah pasti dia bisa menyiapkan masakan juga. "Ya boleh, kebetulan hari ini pulang cepat, kita mau berangkat bareng?" tanya Viera. "Iya, biar aku yang bawa mobil kamu ya," Angga menghabiskan potongan apelnya lalu meminum s**u dari gelasnya, bertepatan dengan Viera yang juga menghabiskan makanannya. Aneh rasanya, biasanya dia terserang mual kala pagi, namun kali ini dia tampak sangat menikmati makanan itu dan tak terasa mual sama sekali, apakah mungkin fase mual muntahnya sudah terlewati? Viera berdiri dan berniat mencuci piring, namun Angga melarangnya. Dia yang ingin mencuci piring itu, dan Viera tentu menerimanya dengan senang hari, ada untungnya juga menikah dengan lelaki rajin seperti suaminya ini. Benak Viera. *** Hari – hari berlalu hampir sama seperti biasanya, hanya saja kali ini ada pria yang ikut tidur di ranjangnya, mereka masih tampak canggung satu sama lain sehingga jarang sekali berbicara. Saat belanja kebutuhan pekan lalu pun, Angga sempat memaksa ingin membayar belanjaan itu meskipun Viera melarangnya, beruntung antrian depan kasir semakin panjang membuat mereka mau tak mau menghentikan sedikit perdebatan itu yang dimenangkan oleh Angga yang sudah menyodorkan kartu debitnya. Pagi ini Viera rasanya enggan sekali membuka mata, mungkin karena hari ini merupakan hari liburnya dan dia biasa bersantai setiap kali libur. Menjadi manajer di sebuah hotel ternama, tentu membuatnya sulit sekali untuk sekedar bersantai saat hari kerjanya, bahkan saat libur pun seringkali dia mendapat panggilan masuk dari para rekan kerjanya. Melirik ke kanan dan tak mendapati Angga disampingnya, padahal biasanya saat buka mata yang pertama kali terlihat adalah pria yang berikrar menjadi suaminya itu. Meskipun terkadang masih agak canggung mengingat dia yang tak terlalu mengenal pria itu, namun semakin lama dia merasa semakin terbiasa dengan kehadiran Angga dirumah itu, terutama di kamarnya. Dia selalu bersikap cuek pada lelaki itu, padahal entah mengapa batinnya sering terusik dengan sikap baik Angga yang sangat memperhatikan kehamilannya? "Belum bangun?" terdengar suara dari arah pintu. Viera memejamkan mata lagi, pura-pura tidur adalah jalan ninjanya untuk menghindari kecanggungan terhadap suaminya itu. Angga menghampiri Viera, memastikan bahwa wanita itu memang masih terlelap. Dia berbalik badan, mengambil handuk dari dalam lemari. Merasa Viera yang masih tertidur, membuat dia berani membuka bajunya, toh tak ada yang melihat. Lagi pula badannya terasa basah, dia memang sangat hobi lari dan setiap libur dia biasa menyempatkan diri untuk berlari, dua sampai lima kilo meter jarak tempuh terdekatnya. Viera mengintip dari sudut matanya, Angga yang sudah bertelanjang d**a, memperhatikan wajah nya di cermin besar depan lemari Viera yang juga kini menjadi tempatnya menaruh baju. Meskipun begitu, tetap saja pakaian Viera mendominasi tujuh puluh lima persen isi dari lemari besar itu, beda dengan dirinya yang hanya mempunyai sedikit saja tempat karena dia juga memang tak banyak membawa bajunya ke sini. Angga memperhatikan otot perutnya yang belum terlalu terbentuk, mengusapnya dan membalikkan tubuhnya seolah memuji tubuhnya sendiri yang cukup indah dipandang mata. Itu pun perkataan dari beberapa orang yang memang pernah melihat tubuhnya saat renang atau berganti baju di restoran, bahkan para teman pria nya tampak iri pada tubuh Angga yang bugar dan proporsional itu. Angga memajukan wajah ke arah cermin, memperhatikan rahangnya yang cukup kokoh, meraba pipinya dan juga dagunya, sepertinya dia harus bercukur karena sudah ada beberapa bulu halus yang tumbuh. Dia tak terlalu suka memakai jenggot atau kumis, katanya tak cocok. Viera baru pertama kali melihat Angga mematut diri depan cermin dan cukup lama seperti ini, hampir saja tawanya lolos, saat Angga mengangkat tangannya dan memperhatikan otot di tangannya, apakah semua pria seperti ini? Viera sampai menggigit bibirnya agar tak tertawa melihat kelakuan Angga yang tak pernah ditunjukkan di depannya itu. Angga membuka celana pendeknya, menyisakan celana dalam berwarna abu saja. Sesuatu tampak menonjol di baliknya, Viera masih mengintip dan menelan salivanya kasar, cukup lama tidak mendapat belaian membuatnya sedikit merasa kepanasan. Beruntung Angga tak terlalu lama memamerkan bayangan juniornya itu, karena dengan segera dia membelitkan handuk di pinggangnya dan masuk ke kamar mandi. Kalau tidak, bisa dipastikan Viera akan langsung memesan alat untuk membantu menuntaskan hasratnya yang terpendam. Viera sempat ingin bangkit dan ikut masuk ke kamar mandi menyusul Angga, apakah lelaki itu masih akan menolaknya ketika dia memohon? Viera menggeleng, Angga akan menilainya murahan jika dia melakukan itu. Meskipun memang dia merasa sangat murahan. Apa kata yang cocok untuknya? Untuk seorang wanita yang rela melepas harga dirinya, bahkan sampai hamil oleh pria yang bukan suaminya sendiri? Mungkin masih lebih berharga para p*****r yang memberikan tubuhnya karena dibayar. Dibandingkan dirinya yang menyerahkan segalanya hanya dengan kata cinta belaka. Entah dirinya yang diperbudak cinta atau memang dia yang bodoh? Ya bodoh adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya, itu yang sering dia ucapkan berkali-kali. Seharusnya dia menjaga harta yang berharga untuk suaminya kelak, bukan seperti ini. Namun nasi telah menjadi bubur, tak akan bisa berubah menjadi nasi lagi. Karenanya, sekarang dia tak mau mengingat lagi dosa masa lalunya, biarlah itu terkubur menjadi sebuah penyesalan yang terdalam. Viera berjanji jika dia punya anak perempuan nanti, dia akan menjelaskan tentang pendidikan seks usia dini pada anaknya, tentang pentingnya menjaga kehormatan dirinya, agar tak menyesal sepertinya. Karena sungguh penyesalan itu tak bisa ditebus oleh apapun. Sesuatu yang telah terjadi, tak bisa di putar kembali. Dia tidak hidup dalam dunia kartun yang bisa memutar balikkan waktu. Viera menarik nafas panjang, rasa kantuknya sudah hilang, rasa gairahnya pun seolah terbang terbawa angin. Karenanya, dia memilih bangun dari rebahannya, melihat ponselnya untuk mengecek w******p group pekerjaan, barangkali ada sesuatu yang penting? Dan dia bisa bernapas lega karena tak ada masalah yang berarti di tempat kerjanya. Viera berdiri di depan cermin, memiringkan tubuh, mengusap perutnya yang mulai membuncit. Pintu kamar mandi terbuka, tampak Angga yang telah memakai kaos dan celana panjang jeansnya, mengusap rambutnya yang basah dan meletakkan pakaian kotor di keranjang khusus pakaian kotor di dekat pintu kamar mandi. "Yuk siap-siap," ucap Angga, membawa keranjang pakaian kotor itu keluar kamar. "Siap-siap kemana?" tanya Viera, menghentikan langkah Angga. Angga menoleh, rambut basahnya masih nampak berantakan namun terlihat seksi, Viera menggeleng, apa sih yang dibayangkannya lagi? "Check up ke dokter kandungan, aku udah buat janji, satu jam lagi kita berangkat, aku mau cuci pakaian dulu," ucap Angga. "Ke dokter mana?" Lagi-lagi Angga menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. "Nggak jauh kok, klinik di depan gang aja, memangnya kamu nggak penasaran sama kandungan kamu?" tanya Angga balik, Viera hanya mengangkat bahunya acuh. "Ga, bajunya bawa ke laundry aja sih," tutur Viera, kali ini Angga tetap berjalan. "Nggak apa-apa aku sudah biasa cuci pakaian sendiri," ucapnya, lalu dia menoleh, mendapati Viera yang tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri, "Belum mau mandi juga?" sindirnya. "Iya iya bawel," rungut Viera, mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi, Angga hanya tersenyum geli melihat Viera. *** Setelah mandi, Viera pun berjalan ke arah dapur yang menyatu dengan ruang tamunya, dari tempatnya duduk mengarah ke balkon, dimana Angga biasa menjemur pakaiannya, sebenarnya dia juga mencucikan pakaian Viera dan juga menyetrikanya, terkecuali pakaian kerja Viera karena Viera akan memisahkannya dan selalu membawanya ke petugas laundry. Penampilan bagi manajer hotel adalah yang utama, dia tak mau bajunya rusak atau tampak kusam, karenanya mengeluarkan kocek yang cukup besar tak apa karena sepadan dengan gajinya yang juga cukup besar. Viera mengambil buah dari kulkas, dan mulai mengupas kulitnya. Memperhatikan Angga yang kini sedang menyapu, ya mesin cuci otomatis satu tabung itu memang sangat memudahkan pekerjaannya, dan dia cukup senang karena Angga sangat rajin, tanpa disuruh, dia selalu membereskan rumah Viera, lihatlah kini, apartmen yang biasa berantakan itu selalu terlihat rapih. Padahal Viera paling malas beberes rumah, terkadang dia memanggil asisten rumah tangga harian untuk membersihkan apartmennya dibanding harus berlelah diri menyapu dan juga mengepel tempat itu. Angga meletakkan sapu di dekat meja makan, berjalan ke kitchen set, mengambil s**u dan menyeduhnya lantas memberikan pada Viera. "Diminum," tuturnya sambil meletakkan s**u putih itu di hadapan Viera, Viera saja bahkan sampai lupa jika dia mempunyai s**u hamil. "Thank's," ucap Viera pelan, benar-benar dia tak salah memilih suami, Angga tipe suami yang ideal, meskipun hati Viera belum merasakan getaran yang biasa dinamakan cinta, namun dia cukup nyaman berada di dekat Angga, mungkinkah rasa nyaman bisa mengalahkan rasa cinta? Setelah selesai menyapu, Angga kembali berjalan ke tempat mencuci, melihat waktu yang tertera di mesin itu, masih cukup jika dia mengepel apartmen itu. Karenanya dia segera membawa peralatan pel dan mulai mengepel lantai. Dan apa yang dilakukan viera? Wanita itu justru kembali ke kamar untuk berdandan, tak ada keinginan sedikitpun membantu suaminya itu, biarlah Angga terbiasa melakukan hal ini di tempatnya kerja kan? Pikir Viera. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD