Empat

1342 Words
Viera sudah selesai make up dan memakai baju yang cukup rapi, mengabsen barang bawaan di tasnya. Lalu keluar kamar dan memperhatikan Angga yang kini menjemur pakaian. Terdengar suara perempuan di balkon, Viera mengernyitkan kening, apakah itu si mahmud (mamah muda) ganjen tetangganya? Ya di apartmen ini Viera mempunyai tetangga yang bernama Desi, wanita itu terkenal ganjen dan suka memakai pakaian seksi, padahal anaknya sudah empat dan masih kecil-kecil namun entah mengapa hobi sekali memamerkan tubuhnya? Dan benar dugaannya, Desi juga menjemur di balkonnya, mengenakan tank top dan hot pant. p******a besarnya menyembul seolah ingin keluar dari tempatnya, juga bokongnya yang besar dan tampak masih kencang. Terkadang Viera mendengar para ibu-ibu bergosip mengenainya yang gemar sekali di puji dengan kata seksi. Konon kabarnya, sang suami takut padanya sehingga tak berani melarangnya sama sekali. Usianya hanya beda tiga tahun diatas Viera, menikah di usia dua puluh tahun dan anak nya yang paling besar sudah masuk SMP sedangkan yang paling kecil berusia lima tahun, itu yang Viera tahu, karena wanita itu seringkali menyapanya duluan dan menceritakan berbagai aktifitasnya ketika kebetulan berpapasan dengan Viera di lift sampai ke lantai apartmen mereka. "Mbak Vieranya mana? Kok Mas Angga yang nyuci?" tanya Desi dengan logat manja, lihatlah dia berbicara sambil menggoyangkan dadanya, maksudnya apa coba? Viera mendengus melihat itu. Melipat tangan di d**a sambil mencuri dengar. "Ada, lagi siap-siap, kebetulan kita mau keluar," ucap Angga ramah. Setiap balkon di pisahkan oleh pagar pembatas dari besi seukuran pinggang orang dewasa, dan Desi memegang besi itu sambil memajukan tubuhnya, jelas sekali menggoda Angga. Lama-lama Viera merasa jengah, meskipun dia tidak mencintai Angga, namun Angga kan suaminya, wajar kan kalau dia sebal melihat suaminya di goda wanita itu? Viera berdehem dan menghampiri Angga yang baru saja menyelesaikan menjemur pakaian terakhirnya dari ember, menggelayut manja pada Angga dan tersenyum sinis pada Desi. "Eh ada Bu Desi, apa kabar?" sapa Viera sambil mengalungkan tangannya di leher Angga, Angga hanya tersenyum geli menahan tawanya. Desi tampak manyun dan tersenyum miring, "Baik, mau kemana nih rapih banget?" "Mau jalan dong, kan lagi libur, ya kan sayang?" Viera menoleh ke Angga dan berkedip, "Iya," jawab Angga sambil tersenyum, entah setan apa yang merasuki Viera karena dia sudah memajukan wajahnya dan mengecup pipi Angga. "Yuk nanti keburu siang," ucapnya manja, mengusap pipi Angga yang sedikit menempel sisa lipstiknya yang memang belum terlalu kering itu, menggamit lengan Angga masuk ke dalam. Lalu menoleh pada Desi yang tampak semakin mencibir. "Bye Bu Desi, enjoyed your day ya," tuturnya sambil menutup pintu kaca balkon itu. Viera melepas pegangan tangannya pada tangan Angga sesaat setelah masuk ke dalam apartmen masih tampak menahan tawanya. "Kamu lihat nggak muka dia lucu banget pas aku cium pipi kamu, hahahaha ganjen banget sih jadi ibu-ibu," Viera tertawa keras, dan Angga tersenyum simpul, baru pertama kali melihat Viera tertawa, dan dia tampak semakin cantik. Viera berjalan sambil menggeleng, meninggalkan Angga yang sudah memegangi dadanya yang berdegup kencang, 'hei jantung, masih bertahan kan disana? Jangan copot dulu ya,' ucapnya dalam hati. *** Angga mengemudikan mobil milik Viera, memarkirkan di parkiran gedung rumah sakit tiga lantai yang berada tidak jauh dari apartmen Viera. Viera memperhatikan bangunan itu, bahkan meskipun berada di dekat apartmen nya Viera tak pernah ke rumah sakit ini. Dan kali ini dia memeriksakan diri disini, tempat yang menurutnya tak tahu bagaimana rating pelayanannya? Baguskah? Entahlah, Viera tak peduli dia hanya ingin menuruti Angga satu kali ini, sebagai balasan dari kebaikan pria itu yang bersedia menjadi suaminya bahkan ikut membantu mengurus rumahnya. Angga turun dari mobil, membukakan pintu untuk Viera dan berjalan di sampingnya, menuju lobi rumah sakit yang tak terlalu besar itu. Dia berjalan ke bagian pendaftaran dan meminta Viera menunggu saja di kursi yang telah di sediakan. Setelah mendaftar ulang dan mengisi data dirinya, dia pun menghampiri Viera yang masih asik membuka chat di ponselnya. "Yuk, periksanya di lantai dua," ucap Angga mengulurkan tangannya, Viera mengernyitkan keningnya, Angga menggoyang tangannya agar Viera segera menjabatnya, sambil tersenyum dia berkata, "Petugas pendaftaran tahu kalau kita mau ke dokter kandungan, aku nggak mau di cap sebagai lelaki yang tidak peka jika mengabaikan istri sendiri." Viera melirik ke petugas pendaftaran yang tampak tersenyum kepadanya, Viera membalas senyum itu dan menjabat tangan Angga, dia pun berdiri dan berjalan meninggalkan tempat pendaftaran, Angga memindahkan tangan Viera untuk mengamit lengannya saja. Beberapa pasang mata melihat kedekatan mereka yang tampak seperti pasangan suami istri yang serasi. Tentu Angga sangat menikmati momen ini, bukankah dia memang telah menambatkan hatinya pada istrinya ini sejak lama? Menjadi pusat perhatian, membuat Viera urung melepas tangan Angga, benar kata Angga banyak yang akan memperhatikan setiap pasangan yang periksa ke dokter kandungan, dan kemesraan antara suami istri memang tampak menonjol di tempat ini, sang suami yang terkadang cuek, bisa sangat perhatian disini, entah karena alasan apa? Apakah melihat kemesraan pasangan lain, membuat mereka menyadari bahwa penting untuk menjaga istrinya yang sedang hamil? Ataukah pelototan dan permintaan sang istri yang mendadak manja ketika menemui dokter kandungan? Viera tak tahu dan tak mau tahu, yang dia lihat di kursi tunggu, telah berbaris para wanita hamil yang semuanya di dampingi suami mereka. Sebagian besar ibu muda yang mungkin hamil anak pertama. Angga mengajak Viera ke meja perawat untuk melakukan pengecekan tubuhnya. Setelah ditimbang berat badannya, Viera pun melakukan tensi darah. "Ibu sudah pernah punya buku KIA sebelumnya?" tanya perawat itu sambil mencatat tekanan darah Viera di buku besar miliknya. "Buku KIA?" tanya Viera. "Iya buku KIA, Kesehatan Ibu dan Anak," jelasnya, Viera menggeleng. Perawat itu tersenyum ramah dan mengambil satu buku baru dari laci lalu membuka halaman tengahnya yang berisi keterangan tentang ibu hamil. "Usia kandungannya sudah berapa bulan Bu?" tanyanya setelah menyalin data Viera dari berkas yang dibawa petugas ke hadapannya tadi. "Nggak tau sus, mungkin empat bulan," ucap Viera acuh, Angga hanya tersenyum ramah pada suster yang meliriknya itu. Angga mengangguk pada sang suster yang seolah memintanya memahami istrinya. Suster itu mencatat beberapa hal dan memasukkan buku tadi dalam map khusus pasien, "Silakan tunggu di kursi itu ya Bu, nanti dipanggil lagi untuk periksa," ucap suster itu. "Masih lama ya Sus periksanya?" tanya Viera, suster itu melihat daftar nama pasien. "Karena sudah didaftarkan via online sebelumnya, nomor ibu akan dipanggil setelah lima pasien lagi," ucap suster itu. "Oh, baiklah, terima kasih ya," ucap Viera yang juga diucapkan Angga kembali. Angga mengajak Viera duduk di depan ruang periksa, tertulis di pintu ruangan itu nama dokter kandungan yang bertugas adalah dokter Ridho. "Anak pertama ya?" tanya seorang ibu bersikap ramah pada Viera, Viera hanya tersenyum dan mengangguk, meskipun tampak bosan, namun dia mencoba bersikap ramah pada wanita yang menyapanya. "Berapa bulan?" tanyanya lagi, Viera memperhatikan Angga dan Angga yang menjawab pertanyaan ibu itu, "Jalan empat bulan, kalau ibu berapa bulan?" "Sudah memasuki tujuh bulan, ini anak ketiga saya," ucapnya sambil tersenyum sumringah, "Mudah-mudahan cowok, dua kakaknya cewek semua," imbuhnya. "Aamiin," timpal Angga. Viera memilih memainkan ponselnya, bukankah anak perempuan atau laki-laki sama saja? Pikirnya. Tak berapa lama, rupanya ibu itu dipanggil oleh sang perawat untuk masuk ke ruang periksa, di dampingi suaminya yang tampak perhatian padanya, juga senyum cerah sang ibu membuat Viera sedikit iri, apakah jika yang mendampinginya adalah pria yang dicintai, dia juga akan tersenyum cerah seperti itu? Namun ke –iri- an Viera musnah ketika pasangan itu keluar dari ruang rawat dengan tampang yang agak kusut, sang suami berjalan lebih dulu, meninggalkan istrinya yang tampak lesu sambil berjalan pelan mengekornya. "Pasti perempuan lagi, suaminya keliatan kesal," bisik pasien tak jauh dari Viera, kepada ibu hamil di sebelahnya. "Kasian ya, padahal perempuan atau laki-laki sama aja," timpal ibu satunya. "Kurang bersyukur Bu," balasnya. "Iya, padahal banyak lho orang yang belum dikaruniai anak," ibu di sebelahnya ikut menggeleng, sambil mengusap perutnya yang membuncit itu. Viera tak ingin mendengar percakapan itu lagi. Melirik ke perutnya yang jauh lebih kecil dibanding semua pasien disana. Tangannya terulur ingin mengusap perut itu, namun urung. Dia lebih memilih memainkan ponselnya lagi. "Kenapa?" tanya Angga, Viera menoleh pada Angga dan menggeleng. Angga menggantikan keinginan Viera tadi untuk sekedar menyentuh perutnya, karenanya Angga yang mengusap perut itu hingga Viera terkekeh, "geli ish," bisiknya sambil mendorong tangan Angga, rasanya aneh ketika perutnya di usap oleh orang lain.  ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD