Akhirnya tibalah giliran nama Viera di panggil sang perawat, masuk ke dalam ruang periksa, dan dokter pria berkacamata itu menyambutnya dengan senyum tersungging di bibir.
“Silakan duduk,” ucap sang dokter.
“Bagaimana kehamilan pertama ini? Agak merepotkan kah?”
“Ya lumayan dokter, masih sering mual,” jawab Viera.
“Hari pertama Haidh terakhirnya lupa ya bu?” tanya dokter itu, Viera mengangguk.
“Jadwal menstruasi saya tidak teratur dokter, jadi tidak ingat,”
“Ya sudah, kita USG ya,” ucap dokter itu mempersilakan Viera pindah ke ranjang periksa tak jauh dari tempat mereka duduk tadi.
Perawat mengangkat baju Viera dan meletakkan gel di perut Viera. Angga berdiri di samping Viera, memperhatikan layar monitor berwarna hitam putih itu.
Sang dokter mulai menggerakkan alat ultrasonografi di atas perut Viera dan memperhatikan layar yang sudah menunjukkan gambar yang seperti lingkaran-lingkaran itu, dan semakin lama terlihat kaki dan tangannya, juga benda bulat yang berdetak-detak di dalam layar itu. Ya itulah jantung si janin yang berdetak cepat.
“Perkiraan dari USG sudah masuk usia tujuh belas minggu, atau empat bulan, ukuran kepalanya normal, jantungnya normal,” ucap sang dokter yang juga dicatat oleh perawat tadi.
“Jenis kelaminnya belum terlihat dokter?” tanya Viera, sedikit penasaran dibuatnya.
“Belum terlihat bu, mungkin tiga minggu lagi baru mulai terlihat,” ucap sang dokter. Meletakkan kembali alat USG di tempatnya dan meminta perawat membersihkan perut Viera karena sudah selesai pemeriksaannya.
Viera dibantu Angga bangkit dan kembali duduk di hadapan sang dokter yang mencatat di buku KIA tadi, juga mencatat resep.
“Saya resepkan vitamin penambah darah, diminum ya Bu, penting untuk ibu dan bayi, juga asam folat,” ucap sang dokter sambil terus menulis di kertas resep.
“Berhubungan badan sudah boleh dilakukan secara intens, tidak masalah selama tidak ekstrem ya pak,” lanjutnya, Angga dan Viera saling lirik dengan kecanggungan.
“Lho kok malah malu-malu,” ledek sang dokter, Angga tertawa garing menimpalinya. Membuat para perawat di dalam tersipu melihat pasangan suami istri yang masih tampak tegang itu.
“Jadwal periksa kembali sebulan lagi ya Pak, Bu, semoga sehat selalu,” ucap sang dokter sambil menyerahkan resep itu pada Angga.
“Terima kasih dokter,” ucap Viera dan Angga berbarengan.
Angga masih membantu Viera membukakan pintu untuknya dan berjalan di samping Viera menuju apotik untuk menebus obat.
Viera menunggu di kursi tunggu setelah Angga menyerahkan resep itu ke petugas. “Pakai uang aku aja,” ucap Viera sambil mengeluarkan dompetnya dari tas. Angga mencegahnya.
“Pakai uang aku aja nggak apa-apa,” tolak Angga.
“Jangan, nanti uang kamu habis,” ucap Viera.
“Aku ada kalau hanya untuk periksa dan obat saja, please jangan ditolak terus,” ucap Angga setengah memohon.
“Hmmm, baiklah tapi kalau uang kamu habis dan belum gajian, bilang ke aku ya,” ucap Viera, “Aku nggak mau terlalu bebanin kamu,” tambahnya.
“Kamu itu tanggung jawab aku, bukan beban buat aku,” ucap Angga sambil mengusap kepala Viera, bertepatan dengan dipanggilnya nama Viera oleh kasir untuk membayar biaya periksa dan obat, Angga mengedipkan mata pada Viera dan berjalan ke arah kasir. Viera masih terdiam dan memegang kepalanya, bekas tangan Angga terasa masih menempel di kepalanya. Viera tak mengerti mengapa perlakuan baik Angga membuat udara di sekitarnya terasa lebih panas?
***
Angga mengajak Viera mampir ke supermarket tak jauh dari klinik, untuk membeli sayuran segar stoknya selama seminggu.
Ya minggu lalu memang mereka sempat ke supermarket dan kini stok sayuran di kulkasnya sudah habis. Angga sangat pandai memilah bahan masakan sehingga tak perlu setiap hari belanja dan hanya memanfaatkan bahan yang ada di kulkas saja.
Dilihat dari mana pun tampak jelas kalau Viera kini telah berbadan dua, ya tubuhnya yang semampai tak mampu menutupi perutnya yang membuncit. Viera sering tidak percaya diri jika melihat ukuran perutnya yang membesar.
Entah kenapa dia merasa semenjak menikah justru kehamilannya malah semakin jelas terlihat? Dirinya sudah biasa menjadi bahan gosip di kantor. Walaupun terkadang omongan itu sangat menyakiti hatinya, namun Viera mencoba bebal toh dia tak digaji oleh mereka.
Justru mereka yang harus menjaga bicaranya karena dia yang menjabat sebagai manajer accounting, memungkinkan mereka untuk tak menerima payroll. Namun bukan Viera namanya jika tak profesional.
Saat Angga memilih sayuran, Viera justru berjalan ke kulkas berisi frozen food, dia yang terbiasa menyetok froozen food di kulkas pun mulai memilih beberapa nugget dan sosis ukuran jumbo, barangkali Angga mau mengkombinasinya dengan sayuran yang setiap hari dihidangkan untuk Viera.
Hingga sebuah bisikan terdengar di telinganya, sepertinya yang punya suara sengaja mengeraskan suaranya. Dari kaca kulkas minuman di depan Viera, Viera dapat melihat dua orang wanita yang dia kenal. Ya dia tahu dua wanita itu adalah teman kuliah Sammuel kala itu.
Viera memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Sammuel yang terlintas, Sammuel adalah ayah biologis dari bayi yang ada di kandungannya.
“Lihat deh, baru nikah udah hamil, kasian Sammy ditinggal selingkuh,” cibir salah satu wanita itu.
“Iya lima tahun jagain jodoh orang, lagian udah tau berbeda masih di jalanin aja, ujung-ujungnya ditinggalin kan?” jawab temannya.
“Yah begitulah, yang cowok masih hancur berantakan, yang cewek udah bahagia sama laki-laki lain,” wanita itu tampak menggidik ngeri seolah Viera adalah monster menjijikkan, dan mereka pun pergi meninggalkan Viera yang menunduk lesu. Tanpa disadari butiran air matanya jatuh membasahi tangannya yang memegang erat bungkus nugget.
“Hei, yuk pulang,” Angga mengusap bahu Viera. Viera meletakkan bungkusan nugget dan sosis itu di keranjang belanja Angga. Tak mau menatap Angga dan berjalan meninggalkannya sambil berkata, “Aku ke toilet dulu.”
Angga menatap punggung Viera yang terisak, tadi dia sempat mendengar ucapan dua wanita itu, namun saat Angga ingin menghampiri mereka, dua wanita julid itu pun pergi karena melihatnya. Angga tak habis pikir mereka membicarakan Viera dengan nada seperti itu, dengan suara keras pula? Jika memang dia ingin Viera mendengarnya langsung, kenapa tidak di hampiri saja Viera? Kenapa harus dengan cara menyindir?
Setelah membayar belanjaan, Angga menunggu dekat kasir. Rupanya Viera sudah berjalan lebih dahulu ke mobil, itu pun Angga baru tahu setelah mendapat pesan dari Viera.
Angga berjalan cepat ke parkiran mobil. Viera sudah di dalam mobil itu sambil bersandar dan memejamkan matanya. Memang tadi kunci mobil di titip di tas Viera sehingga wanita itu memilih menunggu Angga di mobil sampai dia agak tenang.
Angga tak mau banyak bicara, setelah menyalakan mobil, dia segera melajukan mobilnya menuju rumah. Meskipun tadi berencana mengajak Viera makan siang di rumah makan, namun melihat moodnya yang pasti berantakan, membuat Angga urung.
Bahkan setelah mobil terparkir di basement apartmen pun, Viera segera berjalan meninggalkannya. Baru tadi pagi Angga melihat Viera tertawa, dan kini wanita itu tampak sedih membuat hati Angga kian sakit. Se- sedih itukah Viera mendengar nama kekasihnya disebut?
Apakah dia masih sangat mencintai lelaki itu?
Benak Angga dipenuhi ratusan pertanyaan yang terus membayanginya sejak tadi.
Dia pun menurunkan barang belanjaan dari mobil, dan berjalan menuju lift yang membawanya ke lantai apartmen Viera. Lihatlah, bahkan wanita itu tak menunggunya untuk ke apartmen bersama.
Angga menekan tombol lift menuju lantai apartmen Viera, sesungguhnya rumahnya lebih nyaman jika ditempati keluarga, dibandingkan apartmen ini, namun belum waktunya dia memberitahukan ini pada Viera.
Dia tak mau Viera jadi canggung, karena yang Viera tahu dia hanyalah seorang pelayan restoran yang berasal dari kalangan bawah. Bukan Angga sang pemilik restoran itu.
Angga membuka pintu apartmen, melihat pintu kamar yang tertutup rapat membuatnya yakin pasti Viera ada di dalamnya.
Dia pun memutuskan untuk menata barang belanjaan di kulkas, memilah sayuran yang awet dan cepat layu. Untuk yang cepat layu, dia akan menaruhnya paling atas agar bisa segera di masak, dan untuk yang awet, atau tahan lama di letakkan di paling bawah, untuk stok tiga hari kedepan.
Setelah itu dia memasak untuk makan siang. Hanya menu sederhana saja setidaknya ada yang masuk ke perut istrinya.
Angga memilih memasak spaghety, jam makan siang sudah hampir lewat. Dia tak mau Viera sampai terkena magh karena melewatkan jam makan siangnya.
Setelah merebus spaghety itu, dia pun menumis bawang bombay dengan saus spaghety, menambahkan beberapa bahan pelengkap. Termasuk irisan daging cincang dan memasaknya sebentar hingga matang merata.
Spaghety telah diletakkan di piring ceper dan disiram saus dengan estra daging, juga taburan keju diatasnya. Cukup indah dilihat mata dan rasanya sudah pasti enak. Tak sia-sia dia pernah belajar di luar negeri untuk jadi Chef, dan juga terjun langsung di restoran miliknya. Meskipun tak jadi chef utama, namun masakannya patut diacungi jempol.
Angga mengetuk pintu kamar dan mencoba mendorongnya, tidak terkunci. Namun apa yang dia lihat sungguh diluar dugaannya, Viera sedang merokok dengan air mata mengalir di pipi.
Angga hampir berteriak, kalau saja dia ingat bahwa Viera tengah mengandung, namun karena mengandung itu makanya dia ingin marah pada istrinya, bahkan asap telah mengepul di kamar itu.
Mungkin sudah sejak tadi Viera merokok. Dengan cepat Angga berjalan menghampiri Viera dan menarik rokok dari tangannya dan mematikannya dengan menekan pada bungkusnya, meletakkan piring spaghety itu di atas nakas, dan berjalan ke arah jendela, membukanya lebar-lebar agar asap itu segera keluar dari kamarnya.
“Kamu nggak ingat lagi hamil!” Angga tak kuat juga menahan rasa kesalnya. Viera mendelik ke arah Angga.
“Harusnya aku nggak hamil!! Harusnya bayi ini nggak tumbuh disini!!” jerit Viera sambil memukul perutnya, Angga berlari ke arah Viera memegang kedua tangan Viera yang masih ingin memukul perutnya. Tangis Viera pecah, Angga mendekap Viera, membiarkan wanita itu menumpahkan tangisannya.
“Maaf aku nggak bermaksud marah sama kamu,” ucap Angga sambil mengusap kepala Viera, Viera semakin menangis kencang dan memeluk Angga, menumpahkan segala kesedihannya yang membuatnya semakin sesak.
***