Angga membiarkan Viera menumpahkan tangisnya, wanita itu masih tergugu saat melepas pelukan Angga terhadapnya. Angga menyodorkan tissue pada Viera, dia menghapus air mata dari pipinya. Angga dapat melihat matanya yang jelas sembab dan hidungnya yang memerah.
“Aku ambil minum ya,” ucap Angga, Viera mengangguk dan membiarkan Angga keluar dari kamar itu.
Angga datang kembali membawakan segelas air putih, Viera meminumnya sedikit dan meletakkan diatas nakas.
Angga melihat Spaghetynya yang teronggok itu, diambil piring spaghety dan mulai memutarnya dengan garpu. “Makan dulu ya?” tanya Angga, sambil menyuapi Viera.
“Nggak ah, gak nafsu makan,” ucap Viera sambil mendorong pelan tangan Angga.
“Bukan buat kamu, ini buat bayi kita,” ucap Angga sambil tersenyum, Viera menatap Angga yang mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum. Lagi-lagi Angga menyodorkan makanan itu namun kali ini Viera membuka mulutnya dan mengunyah spaghety yang masih agak hangat itu, rasanya sangat nikmat, resepnya sangat dikenalnya, mirip dengan yang biasa dia makan di restoran Angga, dia berpikir kalau pasti Angga mempelajari resep spaghety itu dari chef yang bekerja disana.
Satu yang dia tidak tahu, bahwa menu spaghety andalan restorannya ini justru berasal dari hasil karya tangannya yang kemudian disempurnakan oleh Chef disana.
“Enak?” tanya Angga.
“Lumayan, kamu pesan dari restauran tempat kamu kerja?” tanya Viera. Angga hanya tertawa kecil dan menggeleng.
“Bikin sendiri. Makan lagi ya,” ucapnya sambil menyodorkan makanan itu ke mulut Viera dan lagi-lagi Viera menerimanya, hingga habis separuh, dan perutnya sudah terasa sangat penuh, dia takut akan memuntahkan makanan itu jika terlalu kenyang. Dan Angga mengerti hal itu. Justru dia yang menghabiskan sisanya.
“Kamu nggak jijik makan bekas aku?” tanya Viera sambil meminum air di gelas yang tadi Angga bawa.
“Nggaklah, masa sama istri sendiri jijik,” kekeh Angga, menghabiskan makanan itu dan berniat membawa piring kotor itu ke wastafel.
“Nonton film aja yuk,” ajak Angga. Viera pun mengangguk, “Kamu duluan, aku mau ke toilet,” ucapnya. Angga mengiyakan, berjalan lebih dahulu ke ruang televisi setelah sebelumnya mencuci piring dan gelas kotor tersebut.
Lalu dia menyalakan televisi, mencari channel film favoritnya dan duduk di sofa panjang. Viera sudah berganti pakaian menjadi pakaian santainya, celana pendek sepaha dengan kaos kebesaran berwarna putih.
Viera duduk disamping Angga dan ikut menonton televisi itu.
“Mau tiduran?” tawar Angga, sambil menepuk pahanya sendiri. Viera berjengit, namun kemudian dia justru merebahkan kepalanya di paha Angga dengan posisi tubuh membelakanginya dan mata yang menghadap ke televisi.
“Kamu nggak pernah nanya siapa ayah biologis dari bayi ini?” tanya Viera. Memang sejak awal Angga seolah tak ingin tahu tentang asal usul pria penebar benih di rahimnya yang kini bersemayam dan tumbuh sehat di dalam sana.
“Aku nunggu kamu cerita,” ucap Angga, tangan sebelahnya mengepal. Dia tahu tentang Sammuel, tentu saja, toh beberapa kali Viera mengajak pria itu makan di restaurannya kan? Namun dia tak tahu tentang cerita cinta mereka, hatinya cukup sakit ketika melihat Viera bermanjaan dengan lelaki lain itu.
Viera menarik napas panjang, “Aku mengenalnya enam tahun lalu, berteman selama satu tahun kemudian memutuskan berpacaran, namanya Sammuel ya seperti yang kamu tahu kita berbeda keyakinan. Tidak hanya itu, orang tuanya sangat membenci aku, namun aku mencoba bertahan. Karena aku sayang sama dia, hanya saja...
“Kita tidak seharusnya melakukan hal itu, ya aku menyesali mengapa aku harus terjerembab dalam perbuatan kotor itu tanpa menikah, dan sialnya lagi, dia tak mungkin menikahi aku kan?” Viera seolah berdialog dengan dirinya sendiri. Angga menopang kepala dengan tangannya yang diletakkan di pegangan sofa.
“Dia tahu kamu hamil?”
“Dia tahunya aku hamil sama kamu,”
“Bagus itu, jangan kasih tahu dia apapun yang terjadi,”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau dia ambil anak aku,” ucap Angga sambil mengusap perut Viera. Viera membiarkannya, toh memang sejak awal dia menawari Angga untuk menjadi ayah dari anak yang dikandung kan?
“Jangan pernah merokok lagi ya, kasian bayi ini nggak bersalah, penyesalan itu pasti ada, tapi... jangan jadikan itu suatu hal yang membuat kamu terpuruk, kamu harus berusaha memperbaiki diri untuk ke depannya, agar tidak pernah jatuh ke lubang yang sama lagi. Aku yakin kok, kamu pasti bisa,” ucap Angga panjang lebar, namun tak mendapat respon dari Viera, dia memajukan wajahnya, melihat wajah Viera yang ternyata sudah terlelap. Angga sampai menggeleng geli, mengusap kepala Viera dan mengecup kening Viera.
Suara napas wanita itu terdengar teratur, tampak sangat pulas tidurnya, membuat Angga tak tega membangunkannya.
“Maafin mamah kamu ya nak,” ucap Angga sambil mengusap perut Viera.
***
Angga mengambil bantal sofa tak jauh dari tempatnya, memindahkan kepala Viera ke bantal itu. Lantas dia berjalan ke balkon, mengangkat jemurannya yang sudah kering. Mungkin suara besi dari gantungan baju itu membuat Desi keluar dari apartmennya juga. Celingukan melihat ke sekitar Angga.
“Sudah kering pakaiannya? Mbak Vieranya mana Mas?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Sudah, lagi tidur di dalam, kenapa Mbak?” tanya Angga balik, pandangannya tak mengarah ke Desi, justru terlihat acuh, dia lebih tertarik pada pakaiannya yang sudah kering dan siap di setrika itu.
“Oh nggak apa-apa,” ucapnya.
“Saya ke dalam dulu ya Mbak, mari,” tutur Angga sopan.
“Eh Mas-mas!” panggil Desi, Angga menoleh.
“Mas bisa kenal Mbak Viera dimana sih? Mas kan ganteng kok mau sama mbak Viera?” cibirnya, Angga hanya tersenyum geli.
“Ya dia juga kan cantik Mbak, justru saya beruntung bisa jadi suaminya,” kekeh Angga, mengangguk seolah berpamitan lagi, dan menutup pintu kaca dari balkon itu. Membawa keranjang berisi pakaian yang telah kering itu ke dalam.
Melihat Viera yang masih terlelap tidur, Angga pun mengambil meja untuk menyetrika dan mulai menyetrika bajunya.
Sejak dulu dia memang sudah sering mencuci dan menyetrika pakaiannya sendiri, meskipun di rumahnya ada asisten rumah tangga, namun terkadang dia suka menyetrika ulang pakaian yang akan dipakainya jika sudah terlalu lama di diamkan di dalam lemari sehingga bentuk nya jadi agak berantakan.
Dan biasanya mbok akan marah dan merebut setrikaan itu. Mbok yang menjadi asisten rumah tangga Angga memang tidak menginap, hanya datang di pagi dan sore hari, usianya tak terlalu tua namun minta dipanggil Mbok, entah kenapa?
Angga hampir menyelesaikan sekeranjang pakaian yang disetrikanya itu ketika Viera bangun sambil menguap dan mengucek matanya.
“Mau dibantu?” tawar Viera. Angga melihat mata Viera yang masih membengkak itu hanya menggeleng dan memberikan senyum hangatnya pada istrinya itu.
“Nggak perlu, kamu istirahat aja.”
“Ga, nanti makan malam diluar yuk, naik motor aja, aku tiba-tiba pengen makan kerak telor,” ucap Viera sambil menyalakan televisi.
“Iya boleh,”
“Aku masih agak ngantuk, tidur di kamar ya?”
“Iya, nanti aku bangunin kalau sudah sore,” ucap Angga, Viera meninggalkan Angga begitu saja. Lelaki itu menarik napas panjang dan berjalan ke sofa, mematikan televisi dan melanjutkan menyetrika pakaiannya itu.
Mungkin Viera memang terbiasa hidup seperti ini, meskipun sebagai perempuan namun hidupnya tampak tak teratur.
Awalnya Angga agak kaget, mendapati wanita itu yang setiap pulang kerja pasti meletakkan sepatu sembarangan, termasuk kaos kaki, juga tas yang diletakkan asal di sofa.
Bahkan terkadang dia langsung tertidur tanpa mengganti baju atau mencuci wajahnya. Dan terbangun satu sampai dua jam kemudian untuk ganti baju dan cuci muka.
Itupun bajunya biasanya digeletakkan asal saja di lantai, hingga Angga yang memindahkannya ke keranjang pakaian kotor.
Lemarinya pun tampak berantakan, seolah baju-baju itu pernah jatuh dan dipaksa masuk begitu saja. Padahal jika dilihat penampilan luarnya, Viera itu sangat rapih dan terlihat disiplin, satu helai rambutnya pun tak keluar dari hairnetnya, namun jika dirumah tampak berbeda seratus delapan puluh derajat.
Angga mencoba memahami Viera yang mungkin sudah terlalu lelah di kantornya, karena itu dia tak pernah protes dan justru mencoba membantu Viera merapikan segalanya, membereskan sepatunya, meletakkan sepatu itu di lemari khusus sepatu. Memindahkan kaos kaki ke keranjang pakaian kotor, juga merapikan baju yang berantakan itu.
Setelah menyetrika, Angga membawa baju itu ke dalam kamar, memasukannya ke dalam lemari, mulutnya menganga, melihat baju Viera yang tampak berantakan lagi, sepertinya wanita itu mengambil baju di paling bawah dan membiarkan sisa bajunya jatuh, lalu meletakkan asal di lemari.
Angga menoleh pada Viera yang sudah tertidur pulas, lagi-lagi dia tak mungkin membangunkan Viera atau memarahinya karena pakaiannya yang berantakan.
Karena itu dia memilih merapikan tumpukan pakaian itu, dan menutup lemarinya. Setelah Viera terbangun nanti dia akan meminta Viera memilah pakaian yang masih terpakai dan tidak terpakai, agar tak terlalu penuh seperti ini.
Angga keluar dari kamar itu setelah berhasil merapikan kekacauan yang ditimbulkan Viera, merebahkan diri di sofa sambil memainkan ponselnya, mengecek restoran yang ditinggalnya saat weekend, hari yang biasanya paling ramai. Padahal sebelumnya justru dia tak pernah absen saat weekend tiba, namun kali ini berbeda, semua crew di restoran itu pun paham karena dia yang sudah menikah dan memprioritaskan keluarga kecilnya.
Makanya Angga hanya bisa mengawasi lewat ponsel dan menanyakan apakah ada masalah yang berarti ketika dia tinggal.
Hari ini dia berhak bernapas lega, karena seluruh crew mengatakan semuanya beres dan tak ada masalah apapun. Angga meletakkan ponsel itu di meja, matanya merasa agak mengantuk, karena itu dia memilih memejamkan mata sebelum pergi makan malam dengan Viera nanti.
Dia berharap apapun yang dia lakukan saat ini dan nanti, bisa membuat Viera menambatkan hati padanya dan menjadikannya satu-satunya pria dalam hatinya. Bukan kah dalam hidup memang selalu ada yang pertama, namun bisa jadi yang terakhir adalah yang terbaik. Meski Angga bukan yang pertama menyentuh hatinya, namun Angga sangat berharap, dia menjadi yang terakhir yang singgah dan menetap di hati istrinya.
***