Tujuh

1408 Words
Angga sudah siap untuk jalan malam bersama sang istri. Memakai jeans dan jaket kulitnya yang berwarna hitam. Sepatu kets dan juga tas slempang kecil miliknya. Lalu melihat ke arah Viera yang baru keluar dari kamar, hanya mengenakan kaos warna hitam dan celana panjang bahan. Juga sandal dari bahan karet. Angga mengangkat sebelah alisnya, melihat Viera yang sepertinya sudah siap jalan itu. "Jaketnya nggak dipakai?" tanya Angga kepada Viera, yang ditanya hanya menggeleng sambil memperhatikan penampilannya. "Yaudah nggak jadi deh, pesan online aja kerak telornya," ucap Angga berpura – pura melepas tali sepatunya. "Ish kok gitu," cibir Viera. "Ambil jaket dulu sana," suruh Angga, dia melakukan itu juga karena khawatir dengan kandungan Viera, hari semakin malam akan semakin dingin, bagaimana bisa dia keluar hanya mengenakan kaos saja seperti itu. Kalau masuk angin bagaimana? Kan Angga juga yang akan kesenangan mengerok tubuh belakang Viera, nanti bisa timbul hal yang diinginkan. Angga menggeleng, tahan tahan. Ucapnya dalam hati, menginstruksikan otaknya agar tidak berpikiran yang iya iya. Viera keluar kamar sambil mengenakan jaket nya, lumayan tebal namun tetap tidak diresleting, karenanya Angga maju dua langkah untuk menghampirinya, lalu mengaitkan resleting itu sampai ke leher, jarak mereka cukup dekat, Angga memperhatikan bibir Viera yang berwarna merah itu, menelan salivanya kasar dan membalikkan tubuh persis pasukan baris berbaris. Dia tak mau melanggar sumpahnya. Angga membuka pintu depan dan membiarkan Viera lewat, lalu mengunci pintu apartmen itu dan menekan lift untuk turun. Motornya juga terparkir di basement, tak jauh dari mobil Viera. Karena itu mereka turun sampai basement dan Angga menyerahkan helm pada Viera, beruntung dia membawa helm cadangan yang dititipkan di lemari petugas keamanan di basement tersebut. Viera memakainya dan lagi-lagi tidak mengaitkannya, hingga Angga yang memakai helm full face itupun membantu Viera mengaitkannya. "Susah ya kaitnya?" tanya Angga. "Nggak sih, males aja," ucapnya. Angga memasang wajah datar, tak mau menimpali Viera, biarlah dia dengan pemikirannya, biarlah dia dengan kemalasannya, namun Angga akan memastikan bahwa selama disampingnya, dia harus mengikuti keinginan Angga untuk keselamatan dan keamanannya. "Naiknya hati-hati," ucap Angga, motor milik Angga merupakan motor pria jenis CBR yang pasti cukup tinggi dan memungkinkan Viera untuk memeluknya dari belakang. Viera memegang bahu Angga saat naik ke motor itu, dan Angga sedikit memiringkan motornya agar terjangkau kaki Viera. "Pegangan ya," ucap Angga, Viera mengangguk, berpegangan pada kantung jaket Angga. Hingga Angga tak jadi melajukan motornya dan menarik tangan Viera untuk memeluknya dari belakang. "Perutnya tertekan nggak kalau begini?" tanya Angga khawatir. "Nggak kok, yaudah jalan aku laper!" sungut Viera, sedari tadi Angga tampak bawel sekali, padahal biasanya lelaki itu kalem. Atau mungkin sedang tidak stabil hormonnya? Viera pernah membaca bahwa pria juga mempunyai fase mood yang tidak stabil setiap bulannya, hampir sama seperti saat wanita datang bulan. Fase itu datang sebulan sekali. Viera tak mengerti dengan fase pria itu, yang dia inginkan saat ini hanyalah makan malam diluar, makan kerak telor yang dijual di pinggir jalan atau dimana pun itu. Angga melajukan motornya dalam diam, Viera juga tampak menikmati angin malam yang membelai wajahnya. Selama ini dia bekerja menggunakan mobil pribadi sehingga jarang sekali merasakan belaian lembut angin yang seolah menyapu wajahnya, rasanya Viera ingin merentangkan tangannya dan berteriak "Bebas!" namun bebas untuk apa? Viera mengangkat bahu acuh. Sudah setengah jam Angga berputar-putar di daerah Jakarta, namun tak menemukan penjual kerak telor yang dicari. Hingga dia memutuskan menghentikan motornya di pinggir jalan. "Kita cari ke monas aja ya?" tawar Angga. "Iya kemana aja deh yang penting dapet, kamu mau bayi ini ngiler?" rutuk Viera. "Jangan dong, masa ileran? Kita ke Monas ya sekalian makan disana," "Ya, lagipula sudah lama banget nggak ke Monas malam-malam," tutur Viera. Angga pun kembali melajukan motornya, dan tak sampai dua puluh menit mereka sudah memarkirkan motor itu di pelataran Monas. Monas adalah sebutan dari Monumen Nasional, dimana sebuah bangunan yang menjadi lambang kota Jakarta berdiri tegak bak menantang langit, dengan bagian atas berdesain seperti api obor yang di lapisi emas. Dari kejauhan Monas akan tampak berkilauan, dan saat malam tiba, lampu di sekitar atas Monas akan menyala warna warni. Saat pagi tiba, Monas menjadi tempat favorit untuk berolahraga atau sekedar berselfie ria. Dan kala malam menjelang, banyak muda-mudi berkumpul disana, ada juga yang memanfaatkannya untuk berolahraga, atau hanya sekedar ngobrol biasa sambil memesan minuman atau makanan. Angga tersenyum riang ketika melihat penjual kerak telor duduk termenung sendirian, dia menunjuk penjual itu pada Viera, Viera mengalihkan pandangan pada bapak penjual yang sudah tampak renta itu dengan raut bahagia. "Kerak telornya dua ya pak," ucap Angga, bapak tua itu tersenyum senang mendapatkan pelanggan malam ini, langsung membuat makanan khas suku Betawi itu. Kerak telor adalah makanan khas betawi yang terdiri dari ketan putih, telur ayam juga udang kering. Makanan itu dimasak dengan wajan diatas tungku kecil, mirip seperti omelete namun dibuat cukup tipis sehingga terasa gurih di mulut, ditambah taburan kelapa sangrai dan berbagai bumbu lainnya diatasnya. Angga membuka jaketnya, dan menggelarnya diatas rumput yang bisa diduduki itu, Viera pun tanpa rasa sungkan duduk diatas jaket Angga, mendapat perlakuan spesial dari Angga tentu merupakan kebanggaan tersendiri baginya, dia merasa benar-benar tidak salah pilih suami. Karena Angga sangat baik dan memperhatikannya, padahal mereka bukan siapa-siapa sebelumnya. Itu yang Viera tahu, beda dengan yang ada di benak Angga. Viera masih memandangi orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka, banyak yang berpasangan malam ini. Juga ada beberapa keluarga yang mengajak anak mereka. Ada juga yang tampak bergerombol sambil ngobrol dan tertawa terbahak-bahak. Dan yang tak ketinggalan pelari yang mulai berkeringat dan terus berlari sambil sesekali memperhatikan jam yang dipakainya. Hingga Viera tak menyadari bahwa kerak telor pesanannya telah matang dan tersedia di hadapannya. "Pelan-pelan, masih panas," tutur Angga. Saat Viera mulai memotong sedikit kerak telor itu. "Aku beli minum dulu ya," tunjuk Angga pada penjual minuman yang agak sedikit jauh dari tempat mereka duduk. Viera mengangguk sambil memakan pinggiran kerak telor itu terlebih dahulu. Saat Angga pergi, beberapa pengamen menghampirinya dan mulai menyanyikan lagu, Viera tertegun mendengar suara pengamen itu, bukan karena mengagumi suaranya. Namun dia sangat ingat lagu ini adalah lagu yang paling sering dinyanyikan Sammuel saat bersamanya, lagu dari Marcell yang berjudul Peri Cintaku. "Di dalam hati ini, hanya satu nama yang ada di tulus hati kuingini, kesetiaan yang indah takkan tertandingi, hanyalah dirimu satu, peri cintaku, benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai... Aku untuk kamu, kamu untuk aku, namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda, Tuhan memang satu, Kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi...." suara pengamen itu mengalun diiringi petikan gitar yang menambah syahdu malam ini. Viera hampir saja menitikkan air mata lagi, jika Angga tak segera menyodorkan lembaran uang kertas pada pengamen itu dan memintanya memainkan lagu lain. Pengamen itu tampak senang mendapat uang yang cukup banyak bagi mereka, Angga meminta menyanyikan lagu ceria beraliran Reggae, dan merekapun menyanyikan lagu Steven and coconut trees yang cukup terkenal. Membuat Viera tak jadi menangis dan justru tersenyum lagi. Angga cukup senang melihat senyum Viera yang tersungging, sambil menikmati makan malamnya, dinyanyikan oleh pengamen yang bisa di request lagunya. Setelah menyanyikan dua lagu, pengamen itu pun pergi sambil mengucapkan terima kasih pada Angga. "Jangan diinget terus," ucap Angga. Memandang Viera yang sudah menunduk melihat kerak telor yang hampir habis itu. "Ya habis keingetan terus," jawab Viera pelan. "Maaf ya," imbuhnya. "Maaf untuk apa?" "Ya maaf untuk segalanya, termasuk untuk perasaan aku yang masih memikirkan dia," ucap Viera sambil menunduk, Angga mengangkat dagu Viera agar menatapnya. "Sudah, jangan dipikirkan lagi, dihabiskan makananya nanti keburu dingin," ucap Angga. "Iya," jawab Viera, lalu dia pun memakan makanan itu, sesekali Angga mengajaknya berbicara dan bertanya tentang pekerjaan Viera. Setidaknya dia ingin Viera melupakan kesedihannya dengan sedikit bercerita. Viera benar-benar ingin makan kerak telor rupanya, karena dia sudah menghabiskan bagiannya bahkan Angga sempat menawari lagi yang ditolak Viera, dan kini dia merasa sangat kekenyangan, beruntung mual tak datang menderanya kali ini. Viera menselonjorkan kakinya dengan tangan bertumpu ke belakang tubuhnya, wajahnya menghadap ke langit, beberapa drone nampak di kejauhan dengan lampu yang berkelap kelip layaknya bintang. "Padahal kalau nggak ada polusi pasti bintang kelihatan nih," ucap Angga, melakukan hal yang sama seperti yang Viera lakukan. "Kamu suka bintang?" tanya Viera. "Aku suka kamu," ucap Angga keceplosan. Viera mengernyitkan keningnya dan menoleh pada Angga. "Iya aku suka yang kamu bilang maksudnya," ucap Angga sambil menahan malu. Viera tertawa sambil menggeleng. "Kamu baik Ga, pasti banyak cewek yang suka kamu deh," tutur Viera, kembali menatap langit. "Entahlah," jawab Angga, dia tak peduli dengan wanita lain yang menyukainya, yang dia pedulikan kini, wanita yang ada disampingnya. Kapankah bisa menghilangkan perasaan cinta pada lelaki itu dan hanya memikirkan Angga seorang saja? ***     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD