Di dalam kebingungan dan keresahan, sembari melangkah kembali ke kamarnya, Aurora berpikir keras. Ucapan Moza pun terus terngiang di telinganya.
'Sejak kapan kamu lebih mementingkan musuhmu itu? Dengar, Hans! Aku sedang mengingatkan kamu tentang siapa gadis itu! Dia adalah anak dari keluarga yang sudah membunuh papa dan juga mamamu!'
'Tujuanmu membawanya ke sini, bukanlah untuk menjadikannya seorang ratu, melainkan babu! Dia adalah musuh bebuyutanmu, Hans. Sadarlah!'
Seluruh tubuh Aurora bergetar hebat. Tiba-tiba saja ia merasa pusing dan dunia ini berputar-putar. Aurora tampak bingung dengan semuanya, hingga jiwanya tersudut dan ia terjatuh tidak sadarkan diri.
"Ara!" pekik Ratih yang terbangun, sesaat setelah mendengar suara keras di pintu kamarnya. "Tolong!" pekiknya dan berhasil memancing kedatangan beberapa orang termasuk sopir pribadi Hans Prawira.
"Ara kenapa?" tanya yang lainnya.
"Tolong angkat dia ke tempat tidur!" pinta Ratih yang tampak sangat khawatir. "Tolong ambilkan air dan minyak hangat!"
Tak lama, apa yang Ratih minta sudah bersusun di atas meja seadanya. "Dia pasti sangat kelelahan, makanya seperti ini." Ratih terdengar khawatir dan menerka apa yang terjadi pada Aurora.
***
Pagi menjelang, gadis permata safir itu sudah kembali sadar dan tengah disuapi bubur hangat oleh Ratih. Sementara pelayan yang lainnya, melayani Hans yang juga tengah menikmati sarapan di meja makan.
Seperti tidak terjadi hal apa pun semalam, Hans terus saja menikmati makanan yang sudah tersedia tanpa mempertanyakan tentang di mana Aurora yang saat ini tidak tampak di matanya.
Saat itu, para pelayan juga tidak ada yang berani mengatakan bahwa Aurora sempat tidak sadarkan diri, beberapa jam yang lalu. Bagi mereka, lebih baik tidak berbicara kepada tuan muda angkuh tersebut, daripada harus mendapatkan tatapan sinis, tajam, dan kejam.
Setelah menikmati aneka makanan yang lezat, Hans langsung berdiri dan bergerak menuju kantor. Hatinya begitu rindu dan ingin melihat wajah Aurora, sebelum bekerja. Tetapi otaknya menekan dan terus memaksa agar Hans menatap lurus ke depan, tanpa peduli dengan apa pun.
"Tuan muda sudah pergi," ujar Ratih sesaat setelah mendengar suara mobil yang selalu digunakan kemana pun dia pergi. Sebab, itu adalah mobil peninggalan sang mama yang begitu ia cintai.
Bagi Hans, berada di dalamnya seperti sedang berada di dalam pelukan sang mama yang begitu lembut, dan memiliki tatapan hangat persis seperti Aurora.
"Ara, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ratih yang khawatir karena ia melihat gadis di hadapannya ini benar-benar tampak tertekan. "Dahimu sampai terluka seperti ini," sambungnya yang menyadari bahwa bekas tersebut karena hempasan kuat, ketika Ara jatuh dan mengenai ujung kayu pintu kamar mereka.
Tiba-tiba saja, bulir-bulir air mata Aurora menetes deras. Ia kembali terbayang kejadian subuh tadi, ketika Moza datang. Ara pun memutuskan untuk menceritakan kebenaran tersebut kepada Ratih.
Kepala pelayan itu tampak berpikir keras dengan apa yang Aurora sampaikan kepadanya. Apalagi sejak awal, ia menaruh kecurigaan besar terhadap sekretaris pribadi tuan Hans tersebut.
"Dengar, Ara!" Ratih memegang kedua tangan Aurora. "Saya pernah mendengar soal keributan yang terjadi sesaat sebelum dan sesudah kematian tuan dan nyonya Prawira. Ibu menceritakannya dengan sangat jelas," beber Ratih yang tahu banyak tentang keluarga ini.
"Tolong ceritakan, Mbak!" pintar Aurora yang benar-benar tidak tahu apa-apa.
"Waktu itu, tuan Hans muda menemukan selembar kertas dari almarhum mamanya yang menyatakan bahwa suaminya itu sudah berselingkuh. Beliau begitu kecewa dan terpukul, hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi di dalam kamarnya."
"Tidak mungkin," kata Aurora sambil menatap tajam. "Kenapa berpikir seperti itu?"
"Kemudian disusul dengan tuan besar yang menembakkan pistol di dahinya, sesaat setelah mengetahui istrinya mati dengan cara yang mengenaskan."
"Apa, Mbak? Miris sekali," kata Aurora yang merinding tiba-tiba.
"Jujur saja, tidak ada satu pun di antara kami yang percaya bahwa tuan besar melakukan kesalahan seperti itu. Beliau terlihat begitu mencintai nyonya besar. Baginya, keluarga adalah segalanya."
"Selain itu, tidak ada satu pun orang yang pernah bersaksi bahwa tuan dan nyonya besar, pernah bertengkar. Hubungan keduanya begitu harmonis dan romantis."
"Rasanya ada yang janggal," gumam Aurora sambil berpikir. "Tapi, Moza bilang aku adalah musuh bebuyutan tuan Hans."
"Benarkah?" tanya Ratih yang juga ikut berpikir keras.
"Iya, Mbak. Makanya aku bingung, tiba-tiba pusing, dan lepas kendali."
"Menurutmu, bagaimana tuan Hans dan Moza?" tanya Ratih yang merasa bahwa Aurora bisa membawa tuan mudanya itu, kembali pada tabiat yang sesungguhnya.
"Ketika jauh dan berjarak, tuan Hans memang terkesan angkuh, kasar, dingin, dan kejam. Tapi ... jika berada cukup dekat dengannya, aku dapat merasakan kehangatan di setiap napasnya. Dia seperti air yang berada di dalam termos listrik dan terus dinyalakan. Sedangkan Moza, dia seperti hantu. Saat disisinya, aku bisa merinding beberapa kali, Mbak."
"Kita merasakan hal yang sama terhadap perempuan itu," timpal Ratih sambil menatap Aurora. "Dengar! Saya akan mengambil resiko untuk membantumu. Tapi kamu juga harus melakukan sesuatu untuk saya. Bagaimana?"
"Apa dan kenapa?"
"Kamu harus mengembalikan tuan muda ke posisinya! Dia laki-laki yang baik dan hangat, persis seperti tuan besar," jawab Ratih sambil memegang pundak Aurora. "Semua ini, demi janji saya kepada almarhum ibu. Sepertinya, sejak awal, beliau sudah mencium sesuatu yang aneh di antara hubungan semua orang."
"Kenapa kamu tidak melakukannya sejak awal, Mbak?"
"Karena saya hanya seorang pelayan dan tidak memiliki kesempatan untuk berada dekat dengan tuan Hans," jawabnya tegas dan masuk akal bagi Aurora. "Sementara kamu, sepertinya kamu mampu. Tuan muda tampak terpengaruh denganmu, reaksinya sangat baik kepadamu."
"Tidak mungkin," elak Aurora. "Bahkan dia sering menghukum dan membentakku, Mbak."
"Apa dia pernah memukul?" tanya Ratih sambil menantang mata gadis itu.
Aurora menggelengkan kepalanya, "Kalau itu, tidak pernah sih. Cuma, aku pernah melihat tuan memukul Moza," bisik Aurora seolah takut tembok mendengarkan informasi itu.
"Bagaimana ekspresi wajahnya?"
"Bengis seperti monster," jawab Aurora seraya mengangkat kedua tangannya di atas kepala dan memperlihatkan raut wajah menakutkan.
"Apakah dia pernah memperlihatkan hal seperti itu di hadapanmu?" tanya Ratih kembali. Sepertinya, ia ingin membuat gadis itu percaya diri.
"Tidak sih." Aurora menurunkan kedua tangannya dan tersenyum. "Malah, kadang dia tampak manis dengan muka judesnya itu. He he he he he." Aurora tertawa dan melupakan rasa sakitnya.
"Ara, kamu berbeda di hadapannya," kata Ratih sambil memegang tangan gadis itu. "Percaya deh!"
"Mbaknya seperti cenayan," elak Aurora dengan wajah memerah.
"Saya mengetahuinya sejak beliau memberi hukuman itu kepadamu. Tuan Hans begitu tertarik dengan ekspresi wajahmu, Ara."
"Dia ingin balas dendam, Mbak."
"Aku akan mencari tahu semua kebenarannya. Tidak perduli mengenai resiko ini. Tapi, kamu bisa kan memenuhi permintaan saya? Soalnya, hanya kamu yang bisa."
"Oke, deal!?" Aurora menyetujui perjanjian ini. Sebab, jiwanya juga sudah terlanjur suka pada sosok laki-laki yang sudah meremas bibirnya selama 15 menit itu, tadi malam.
"Saya akan bergerak cepat, mulai detik ini."
"Apa rencananmu, Mbak?" tanya gadis bermata safir itu tampak penasaran.
"Dimulai dengan surat terakhir yang dituliskan oleh almarhum nyonya besar," kata Ratih sambil menatap tajam. "Sepertinya, saya akan mengetahui alasan dari kalimat Moza itu. Saya yakin," ujarnya seolah memiliki detak tersendiri.
"Mbak tahu di mana tuan muda menyimpannya?"
"Mungkin." Ratih menghela napas panjang. "Sebaiknya saya mulai bergerak dari sekarang! Mumpung tuan Hans sudah berangkat. Kamu, sebaiknya habiskan sarapannya dan beristirahatlah sejenak!"
"Iya, Mbak. Makasih banyak ya."
"Sama-sama. Saya harap, kamu mampu mengembalikan tuan Hans, Ara!" Ratih berdiri dan meninggalkan gadis berambut panjang dan bergelombang.
"Kenapa kamu begitu perduli, Mbak?"
Ratih menghentikan langkahnya dan kembali menatap Aurora. "Saya dan keluarga, berhutang nyawa kepada tuan Prawira. Selain itu, saya yakin sekali kalau beliau tidak bersalah. Gara-gara hal ini, tuan muda sama sekali tidak bersedia bersanding nama dengan tuan besar. Beliau juga tidak pernah mendoakan papanya. Saya ingin membersihkan nama almarhum."
Lagi-lagi, alasan Ratih masuk akal bagi seorang Aurora. Apalagi, ia tidak melihat gelagat licik dan niat busuk dari kepala pelayan yang berada di hadapannya saat ini.
"Tuan Hans berhak hidup bersama orang-orang yang benar-benar mencintai dirinya. Jangan lupa janjimu, Ara!"
Aurora mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Mbak. Soalnya ... aku juga menginginkan hal yang sama." Aurora menundukkan kepalanya. "Aku, sepertinya aku sudah jatuh hati kepada pria dingin itu. Agh ... bodoh sekali," ujar Aurora sambil memukul kepalanya sendiri dengan jari yang terlebih dahulu ditekuk.
Bersambung.