Setibanya di kediaman Hans Prawira yang megah. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, Aurora masih tetap melakukan perintah yang sudah Hans berikan sebelumnya.
Setelah mengganti busana cantik dengan seragam pelayan, Aurora langsung membersihkan lemari yang sebenarnya sudah bersih dan rapi.
Awalnya, Ara sangat heran karena ia tidak tahu mana lagi yang harus dirapikan, tapi karena tatapan Hans sangat membunuh, ia memutuskan untuk memindahkan letak atau posisinya saja.
Setelah 45 menit dan Aurora mulai menguap, Hans masih ingin merepotkan hidupnya. "Pindahkan lemari ini ke ujung sana! Aku bosan melihatnya di sini," kata Hans dengan nada galak. Padahal tadi, dia sudah cukup lembut kepada gadis ini.
Dengan usaha yang ekstra, Aurora mengerjakan semuanya seorang diri. Apalagi ketika mengangkat meja yang terbuat dari kayu jati asli, keringat sebesar biji jagung langsung menghiasi wajah dan lehernya.
Ketika wajah cantik itu basah karena peluh, Hans langsung berfantasi. Seorang peluh itu tercipta karena percintaan yang berat antara dirinya dan Aurora.
Dengan cepat, miliknya mengeras dan Hans tampak begitu tersiksa. Bahkan, ia memutuskan untuk menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik selimut berwarna merah.
Sekitar pukul 01.00 WIB, Aurora menarik napas lega sambil tersenyum. Ia berpikir bahwa semua ini sudah berakhir dan ia dapat terlelap di atas tempat tidur nomor dua yang cukup empuk.
Sayangnya, baru saja ingin melangkah pergi, Hans membentak dan memberi perintah selanjutnya. "Ingat apa yang aku katakan terakhir kali?" Hans menekuk dahi. "Pijat kepalaku, hingga aku terlelap!"
Aurora menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Baik, Tuan." Lalu kembali mendekati Hans untuk memijat kepalanya.
Aurora sudah menempelkan pinggul bulat miliknya di ujung tempat tidur. Kemudian, ia langsung memijat kedua sisi dahi Hans yang sebenarnya tampak baik-baik saja.
"Mundur!" perintah tuan muda yang satu ini, dengan gaya bicara seperti seorang jenderal kepada seorang kopral.
"Baik, Tuan." Lalu Aurora mundur beberapa cm.
Ketika gadis itu sudah berada sedikit ke tengah, Hans menarik dan membuang bantal tidurnya ke ujung ranjang. Saat itu, mata Aurora mengikuti gerakan bantal tersebut.
Aurora yang sedang fokus pada hal lain, tiba-tiba saja merasakan Hans meletakkan kepalanya di kedua paha miliknya yang tampak bebas, tanpa mampu ditutupi oleh seragam pelayan yang ia kenakan.
"A?" Aurora berniat untuk melakukan protes, tapi Hans pura-pura memejamkan mata dan menoleh ke arah lainnya. "Hem ... ," keluhnya terdengar jelas di telinga Hans.
Tangan Aurora yang memang pandai melakukan banyak pekerjaan, terasa nikmat di kulit Hans. Ia pun terlena dan sudah sangat mengantuk.
Namun, di ujung rasa lelahnya, gerakan tangan Aurora berhenti dan ternyata gadis itu sudah menyandarkan kepada bagian belakang pada penyangga tempat tidur dan terlelap.
Hans kembali melipat dahi dan ingin marah. Menurutnya, mana boleh gadis itu tidur lebih dulu. Harusnya, ia meladeni Hans hingga pagi.
Laki-laki kasar itu terduduk dengan cepatnya, tapi ketika ia berniat membuka mulutnya lebar-lebar untuk marah, gerakan itu terhenti. Ia malah terkesima oleh kecantikan Aurora dan memutuskan untuk menikmati wajah gadis itu sepanjang malam.
Lebih dari satu jam, Hans menikmati wajah Aurora dengan jarak yang begitu dekat, ia pun memutuskan untuk kembali merebahkan kepala pada kedua paha gadis itu.
Ketika memiringkan tubuh ke arah kanan, bibirnya menyentuh kulit kaki Aurora yang sensitif, hingga membuat gadis itu bergumam seksi tanpa sengaja.
Rongga telinga Hans merespon dengan cepat suara manja tersebut dan jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan tidak beraturan.
Hans memutuskan untuk memejamkan kedua mata, seraya menikmati aroma tubuh Aurora yang wangi bunga Sakura. Sejak dulu, gadis ini memang sudah terbiasa menggunakan sabun dengan bunga khas masyarakat Jepang.
Ketika hasratnya mengudara, Hans berpikir untuk melakukan hal yang gila. Dengan pelan dan tidak terdeteksi, Hans membuka kancing baju seragam Luna yang berada di bagian depan.
Ia pun berhasil membuka hingga tiga bagian sehingga mampu memperlihatkan bentuk buah dadaa asli milik Aurora yang sudah membuatnya menggila sejak awal.
'Ternyata, kamu memang indah," kata Hans sambil tersenyum dan di matanya sama sekali tidak terlihat kebencian atau pun kemarahan.
Hans terus tersenyum dan kembali berfantasi sendiri. Meskipun ia tidak menyentuh Aurora sedikitpun. Tetapi tubuhnya sangat cepat bereaksi dan keinginannya terpuaskan.
25 menit bermain sendiri, Hans memutuskan untuk kembali mengancing pakaian Aurora. Ia tidak ingin, gadis ini mengetahui betapa seorang Hans begitu menginginkan dirinya.
***
Keesokan harinya, saat itu dunia masih gelap. Tiba-tiba saja, seseorang menjambak rambut Aurora dengan kerasnya. Ternyata Moza datang dengan segala amarahnya.
"Au!" Aurora yang terkejut, langsung menjerit kesakitan, seraya menahan rambut bagian yang paling dekat dengan akar. "Lepas!" ucap Aurora dengan tatapan mata yang tajam. Ia sama sekali tidak tampak takut dengan wanita pemilik segudang rahasia itu.
Pada saat yang bersamaan, Hans juga terbangun dan menatap Moza dalam-dalam. "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan dia!" Hans tampak serius, tapi Moza tidak bersedia melakukannya.
Melihat Aurora begitu kesakitan dan Moza melanggar perintahnya, api amarah Hans menyala. Ia pun langsung berdiri dan menampar Moza hingga perempuan full make up itu terjatuh dan terduduk di lantai.
Moza memegang pipinya yang terasa sakit, "Hans!" pekiknya yang masih terduduk.
"Di rumah ini, maupun di kantor, aku adalah penguasanya. Siapa pun yang tidak bersedia untuk menjalankan perintah dariku, akan mendapatkan perlakuan yang sama. Cam kan itu!" Hans memberi peringatan dengan nada yang keras dan tinggi.
Moza pura-pura menangis demi mendapat simpatik dan menarik perhatian. "Sejak kapan kamu lebih mementingkan musuhmu itu?" tanya Moza sambil berdiri. "Bukankah dia yang sudah menghancurkan kebahagiaan dan hidupmu?"
"Cukup!" pinta Hans sambil mengepal kedua tangannya untuk menahan diri.
"Dengar, Hans! Aku sedang mengingatkan kamu tentang siapa gadis itu!" tunjuknya kasar kepada Aurora. "Dia adalah anak dari keluarga yang sudah membunuh papa dan juga mamamu!"
"Cukuuup!" pekik Hans dengan mata yang terbuka lebar.
Aurora berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak mengerti tentang apa pun. Lalu menatap Hans yang selama ini bersikap kejam kepadanya.
"Tujuanmu membawanya ke sini, bukanlah untuk menjadikannya seorang ratu, melainkan babu!" Moza mengingatkan misi Hans ketika pertama kali datang dan terobsesi untuk membawa Aurora keluar dari rumahnya. "Dia adalah musuh bebuyutanmu, Hans. Sadarlah!"
Pack.
Hans kembali menampar Moza dengan kekuatan lebih daripada sebelumnya. Saat itu, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Tu-Tuan! Apa semua yang dikatakan perempuan ini benar?" tanya Aurora yang sudah basah sebagian wajahnya. "Apa Anda begitu membenciku dan ingin menghukumku?" tanya Aurora dengan bibir yang bergetar.
"Pergi dari sini!" pinta Hans dengan suara yang lembut.
"Tuan, aku ... ."
"Pergi dari sini!" bentak Hans sangat emosional hingga membuat tubuh Aurora tersentak dan gemetaran. "Jangan perlihatkan lagi wajahmu di hadapanku!" Hans membuang wajah dari Aurora dan kebencian tampak jelas di dalamnya.
Tanpa mampu berkata-kata, Aurora meninggalkan laki-laki yang terasa aneh baginya. Apalagi, mereka baru menikmati malam dengan kecupan hangat dalam waktu yang lama.
"Dan kamu Moza, keluar dari rumahku sekarang juga!" Suara yang dipenuhi dengan amarah dari bibir Hans, masih terdengar di telinga Aurora.
'Dia benar-benar sedang marah besar.' Kata Aurora tanpa suara.
Tak lama, Moza menyusul keluar dari kamar Hans dan berlari ke pintu luar untuk meninggalkan rumah megah ini.
Bersambung.
Dimana cinta dan benci ini akan bertemu? Baca kelanjutannya ya dan jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, serta follow aku.