Alasan Dan Petunjuk

1332 Words
Ratih bersiap untuk peperangannya sendiri. Ia bergerak lamban menuju kamar pribadi Hans dengan membawa beberapa peralatan kebersihan. Pura-pura membersihkan setiap bagian kamar ini, adalah rencana Ratih untuk melancarkan aksinya. Sembari mengingat-ingat di mana Hans biasanya menyembunyikan kotak rahasia yang ia simpan dengan aman. Setelah kurang lebih 60 menit mencari kunci kotak bagian paling bawah dari lemari kesayangan milik nyonya Prawira, Ratih merasa pusing karena ia bergerak begitu cepat mulai dari memanjat lemari hingga menunduk ke arah bawah kolong tempat tidur. 'Nyonya, saya tidak memiliki niat buruk. Mohon bantu saya agar dapat memenuhi keinginan ibu, sebelum napasnya berakhir.' Kata Ratih di dalam hatinya. Ketika teramat pusing, Ratih mundur beberapa langkah dan tanpa sengaja ia menyentuh foto nyonya Prawira yang biasa tuan mudanya peluk, ketika sedang sakit atau tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Bingkai foto tersebut terjatuh dan ketika Ratih ingin merapikannya kembali, anak kunci dari lemari kecil yang ia cari sejak tadi, tergeletak di sisi foto nyonya besar tersebut. Rasa lelah dan hampir kehilangan konsentrasi yang Ratih rasakan sejak tadi, tiba-tiba saja menghilang, sesaat setelah melihat apa yang ia cari telah ditemukan. Semangatnya pun muncul begitu saja dan membara. Tanpa terasa, kepala pelayan itu menitikkan air mata karena ia merasa bahwa doanya didengarkan dan usahanya dibantu oleh nyonya besar yang selama ini selalu mengayomi dirinya sejak masih muda. "Terima kasih, Nyonya," ucap Ratih dengan bibir yang bergetar sambil memeluk foto nyonya besar tersebut. Lalu dengan cepat, ia menunduk sembari membuka lemari tersebut. Setelah lemari dibuka. Benar saja, apa yang ia cari berada di dalam sana. Dengan tangan yang bergetar hebat karena ketakutan, Ratih membuka selembar surat terakhir yang ditinggalkan oleh nyonya Prawira, sebelum tragedi naas itu menghantam keluarga bahagia ini. Mata Ratih terbuka lebar, sesaat setelah ia membaca nama belakang yang sama dengan Aurora. Ternyata, inilah penyebab kebencian dan dendam kesumat seorang Hans Prawira, terhadap gadis bermata safir tersebut. Khawatir jika ucapannya tidak dipercaya oleh Aurora, Ratih bergegas keluar dari kamar Hans, untuk memperlihatkan surat tersebut kepada gadis cantik berambut panjang bergelombang tersebut. Saat ini, jantungnya berdegup kencang dan hatinya menyala. Sebab, setiap langkah saat meninggalkan kamar tuan mudanya, Ratih terus dihantui ketakutan. 'Bagaimana jika tuan Hans mengetahui apa yang sudah saya lakukan saat ini?' Tanya Ratih di dalam hatinya. 'Mungkin, ia akan membunuh saya dengan menggunakan pecahan kaca, agar mati secara perlahan dan terus tersiksa.' "Ara!" Panggil Ratih sembari memperlihatkan surat tersebut. Saat itu, Aurora melihat bagaimana kedua tangan kepala pelayan tersebut bergetar hebat. "Tolong dibaca dengan cepat!?" pinta Ratih. Seolah timah panas, sudah hampir dekat dengan tubuhnya dan siap untuk melenyapkan nyawanya. Aurora yang tidak bodoh, segera menarik secarik kertas tersebut dan membacanya dengan sigap. Sama halnya dengan Ratih, kedua mata Aurora terbelalak dan ia sulit percaya dengan apa yang dituliskan oleh nyonya Prawira, sesaat sebelum kematiannya. "Tidak mungkin," ucap Aurora sambil berpikir. Sebab, ia tahu persis sebagaimana tabiat dan sifat tantenya yang begitu lugu dan jujur tersebut. "Kita bicarakan ini nanti! Saya harus kembali ke kamar tuan Hans untuk menyembunyikan semua ini, sebelum ketahuan," ujar Ratih tampak terburu-buru dan begitu cemas. Aurora mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa lagi. Wajahnya pun memerah dan jantungnya menyala, seperti genderang mau perang. Dengan langkah terburu-buru, Ratih kembali ke kamar Hans Prawira dan menyembunyikan kertas tersebut sebagaimana tuan muda menyimpannya. Sama sekali tidak ada celah sedikit pun, sehingga tuan muda tersebut tidak akan curiga jika surat yang ditinggalkan oleh mamanya, sudah disentuh oleh orang lain. Setelah merasa yakin dengan apa yang ia lakukan, Ratih kembali menyimpan anak kunci berwarna kuning keemasan, tepat di belakang bingkai foto nyonya besar. Lalu ia berusaha untuk mengatur napas yang sudah terengah-engah, sembari melangkah keluar dari kamar mewah tersebut. Baru saja tiba di belakang pintu, tiba-tiba saja seseorang masuk dengan tergesa-gesa. Saat itu, Ratih tidak mampu lagi menyembunyikan ketakutannya, bahkan seluruh tubuh itu semakin bergetar hebat. 'Tuan Hans?' tanya Ratih di dalam hatinya, sambil mundur beberapa langkah. Namun pada saat yang bersamaan, seseorang dari luar, masuk dengan tergesa-gesa dan ternyata dia adalah Moza. Kedua bola mata Ratih terbelalak, "Nona! Apa yang Anda lakukan disini?" tanyanya sambil menyetabilkan diri. "Apa maksud pertanyaanmu itu?" kata Moza dengan segudang keangkuhannya, sambil menatap tajam ke arah Ratih. "Dasar pelayan parasit," ejeknya yang mengetahui mengenai rahasia seorang Ratih. "Maaf, tapi seharusnya Anda tidak masuk ke dalam kamar tuan Hans, jika beliau tidak berada ditempat!" tukas Ratih tegas dan tampak geram, sambil berusaha menahan seluruh getaran di tubuhnya. "Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya Moza sambil memeluk tubuh dengan tangannya sendiri. "Seharusnya kamu tahu, bagaimana hubunganku dengan Hans dan seperti apa keterbukaan kami berdua." "Maaf, Nona! Tapi tetap saja Anda tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, jika tuan muda tidak berada di dalamnya!" Ratih terus menantang, tanpa memperdulikan ucapan wanita jutek itu. Moza tampak geram. Bahkan dia menipiskan Bibirnya, seolah ingin menyayat wajah Ratih hingga ia menangis kesakitan. "Sebaiknya kamu yang pergi dari sini, sebelum aku menelepon Hans dan mengatakan kepadanya bahwa kamu sudah menyakitiku!" ancamnya sambil menggenggam kedua tangan. "Aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan," sambungnya semakin sombong. Semakin tidak suka dengan wanita yang satu ini, Ratih memilih untuk keluar dari kamar Hans tersebut. Lagipula, ia merasa sudah mendapatkan apa yang ingin ia cari. Bersama tatapan kebencian, Ratih meninggalkan Moza dan ruangan tersebut. Ia juga butuh waktu, untuk mengatur napas dan menarik udara segar. "Dasar pelayan penyakitan," celoteh Ratih seraya memainkan bibirnya dengan kasar. "Kenapa nggak mati aja sih, menyusul ibunya yang sama sok tahu dengan dirinya," ujarnya seolah begitu mengenal ibu kandung Ratih, yang merupakan orang kepercayaan nyonya Prawira. Setibanya di dalam kamar, Ratih langsung menutup pintu dan mendekati Aurora. Ia ingin membahas tentang surat yang menyudutkan diri dan keluarga Aurora itu. "Ara!" "Mbak?" Lalu gadis bermata safir itu menitikkan air matanya. "Bagaimana ini?" "Setidaknya kita tahu, alasan sebenarnya kenapa tuan muda begitu murka kepadamu." Ratih memegang kedua pipi Aurora. "Bagaimana sekarang? Apa kamu mau mundur dan menyerah?" tanya Ratih yang sebenarnya tidak ingin mendengar jawaban menolak dari bibir Aurora. "Menurutku, ini semua bukanlah hal yang benar. Batinku menolak untuk percaya, Mbak." Aurora masih begitu yakin, bahwa tantenya tidak memiliki hubungan dengan kematian keluarga Prawira. "Aku harus membersihkan nama keluargaku!" "Bagus!" Ratih meneteskan air mata dan kedua tangannya, kembali bergetar hebat. Tak lama, darah segar keluar dari lubang hidung kepala pelayan tersebut dan ia tampak kesakitan. "Astaga, Mbak. Kamu kenapa?" tanya Aurora yang sangat terkejut. "Ayo beristirahat sejenak!" pintanya sambil mencari tisu dan membersihkan darah dari seragam wanita berambut sepinggang, yang selalu digulung ke atas tersebut. Tiba-tiba saja, Ratih menangis sejadi-jadinya dan ia tampak begitu bersedih. Walaupun sangat ingin, tetapi Aurora menahan diri untuk bertanya. "Ara!" panggil Ratih dengan suara yang samar-samar terdengar. "Iya, Mbak?" Aurora duduk di sisi kanan Ratih dan menggenggam tangan pelayan setia itu. "Jika usia saya tak panjang, tolong jaga tuan Hans ya!?" pintanya dalam permohonan. "Saya sudah terlalu banyak berhutang pada keluarga ini. Bahkan, saya masih bisa bernapas hingga detik ini, hanya karena kemurahan hati keluarga Prawira." "Mbak ... ," gumam Aurora yang tidak mampu menolak, namun juga tidak bisa memastikan semuanya. Sebab, dia hanyalah sandra dan pelayan biasa. "Sebaiknya Mbak rehat ya! Nanti, biar aku yang mengurus makan malam tuan Hans." "Aku percaya kepadamu, Ara. Kamu pasti mampu!" Ratih terus menguatkan Aurora agar dapat bertahan. "Iya, Mbak. Tenang dan tidurlah!" pinta Aurora sambil mengusap tangan Ratih. "Satu lagi, Ara. Berhati-hatilah dengan perempuan itu! Menurut saya, Moza bukanlah perempuan yang baik. Selain itu, sebelum ajal menjemput, ibu pernah menyebut nama Amara yang saya ketahui adalah mama kandung Moza." "Apa maksud Mbak Ratih, semua ini ada hubungannya?" "Entahlah, Ara. Saya tidak memiliki bukti itu. Hanya saja ... saat saya mengintip nona Moza, ia sering sekali melihat sinis ke arah tuan muda. Dan, dia tidak seperti perempuan pada umumnya. Sepertinya ... seluruh bagian tubuhnya itu palsu," kata Ratih yang tampak sudah sesak. "Apa?" Aurora semakin bingung. "Berhati-hatilah!" "Iya, Mbak. Aku janji, sekarang tidurlah!" pinta Aurora sekali lagi. Bersambung. Bagaimana usaha Aurora untuk membuka tabir misteri yang selama belasan tahun menyelimuti keluarga Prawira? Baca kelanjutannya ya. Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar, dan tab love. Makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD