Aurora menatap tajam ke depan. Sambil menepis rasa lelah yang sudah menyiksa raganya, ia terus saja menyelesaikan semua pekerjaan wajib milik Ratih.
Dia memang lelah, tapi tidak sakit. Makanya, Aurora menguatkan diri untuk melakukan apa pun, meski di luar kemampuannya. Malam ini, rencananya ia akan mendekati Hans untuk memulai rencananya.
Ia ingin, memiliki kekuatan yang sama dengan Moza, agar mendapatkan kesempatan untuk menyingkirkannya.
Jika memang perempuan itu parasit, maka yang harus Aurora lakukan adalah melenyapkannya. Baik secara cepat, maupun perlahan.
Gadis belia itu tidak pernah menyangka, bahwa ia akan menjalani hidup seberat ini. Bahkan, ia harus berpikir lima kali lipat daripada biasanya, agar bisa mengalahkan wanita berhati iblis itu.
Ia percaya, Ratih tidak mungkin berbohong. Sebab, dari cara bicara dan tatapan matanya, terlihat sekali ketulusan dan keinginan hati untuk menjadikan Hans seperti dirinya dahulu.
Lagipula, Moza memang terlihat banyak menyembunyikan rahasia dan gerak geriknya begitu mencurigakan. Ia seperti bukan hanya ingin menguasai Hans, tetapi menjadikannya lumpuh.
Di ruang kerjanya, Hans sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya selalu kembali kepada Aurora. Bayangan gadis itu, begitu kuat mencengkram jiwanya.
"Tuan!" sapa sopir dengan kepala tertunduk.
"Ada apa?" jawab Hans dengan gaya seperti biasanya.
"Tadi pagi, Aurora terjatuh dan sempat kehilangan kesadarannya," ucap sopir yang sepertinya sudah tahu tentang hati tuan mudanya.
"Apa?" Raut wajah Hans, seketika menjadi kaku.
"Iya, Tuan. Saya hanya khawatir, sebab dia masih muda dan terlihat sangat lelah, setelah mendapat hukuman dari Anda."
"Bagaimana mungkin kamu bisa khawatir kepadanya dan tidak takut denganku?"
"Maaf, Tuan." Laki-laki itu menjawab dengan cepatnya. "Saya juga tidak mengerti, tapi ... ketika melihat Anda bersamanya, Anda seperti tuan muda yang dulu saya kenali," jawabnya memberanikan diri.
"Ha ha ha ha ha, jangan membuatku tertawa!"
Mulut Hans mengejek, tetapi matanya berbinar. Ia mampu membohongi semua orang, namun tidak laki-laki yang sudah bekerja pada almarhum tuan dan nyonya Prawira selama lebih dari 30 tahun.
"Bagiku, dia adalah tawanan yang bodoh."
"Saya mengenali Anda, Tuan," tukas sopir pribadi tersebut sambil menahan perasaan sedih di hatinya. "Permisi!"
Tanpa menjawab dan terus tertawa, Hans membiarkan laki-laki itu keluar dari ruangannya. Tetapi, ketika tengah seorang diri, mata Hans berkaca-kaca.
Demi menguatkan diri, ia menggenggam kedua tangannya seerat mungkin. Lalu kembali bersumpah di dalam hati, bahwa ia akan menjadikan Aurora sebagai mainannya.
Jika perlu, ia akan memberikan tubuh muda itu kepada banyak pria agar gadis itu memohon kematiannya. "Darah harus dibayar dengan darah," katanya penuh dendam. "Lihat saja nanti!" Hans kembali berjanji pada diri sendiri.
Sekitar pukul 14.20 WIB, Hans kedatangan tamu spesial, dia adalah Frans. Laki-laki yang memiliki power setara dengan Hans tersebut, untuk pertama kalinya turun dari singgasananya hanya untuk mencari gadis bermata safir.
Meskipun pertemuan dan sentuhan diantara keduanya, terkesan begitu singkat. Tetapi bagi Frans begitu membekas. Bahkan ia sangat sulit untuk beristirahat sebelum bertemu kembali dengan gadis itu.
"Selamat sore!" sapa Frans tanpa ingin di dampingi oleh siapa pun.
"Anda?" Hans tampak terkejut. Ia pun langsung berdiri dan menyambut rekannya tersebut. "Silakan!"
"Maaf mengganggu Anda!" pintanya dalam senyum.
"Tidak apa," jawab Hans kaku. "Sepertinya ada urusan yang sangat penting?" tanya Hans yang paham tabiat laki-laki yang tidak suka menyia-nyiakan waktu sedetik pun itu.
Frans menghela napas panjang, "Saya ke sini, demi gadis itu. Saya mendapatkan kabar, kalau dia bukanlah kekasih Anda." Frans langsung menuju sasaran. "Anda dan Moza adalah pasangan dan itulah yang diakui sekertaris Anda kepada saya."
Hans tersenyum sinis, "Informasi itu ada yang benar dan ada juga yang salah," jawab Hans sambil mengangkat kaki kanan yang ditimpa pada kaki kirinya. "Aurora memang bukan kekasih saya, tapi Moza juga hanya sekertaris saya."
"Good. Berarti Anda tidak akan keberatan jika saya mengajaknya untuk keluar malam ini?"
"Kenapa Anda bertanya kepada saya?"
"Sebab, gadis itu berada di dalam genggaman Anda."
"Itu benar." Hans menurunkan kaki kanannya dan menatap Frans dalam-dalam, seolah menantang. "Dia adalah tawanan saya."
Frans membalas senyum itu dengan sikap santai, " Kalau begitu, izinkan saya menebusnya!" Laki-laki yang satu ini, tampaknya sudah kecanduan dengan Aurora dan sanggup melakukan apa pun untuk gadis molek tersebut.
"Sayangnya, saya hanya menginginkan darahnya," jawab Hans yang tidak bersedia menukar Aurora dengan apa pun.
Meskipun kalimat itu terdengar menyeramkan, tapi dengan gaya itulah ia mempertahankan gadis berambut panjang dan bergelombang tersebut.
"Baiklah kalau begitu," kata Frans yang langsung berdiri karena kesal pada jawaban Hans. "Tapi, jika Anda berubah pikiran, silakan hubungi saya lagi! Bahkan, investasi saya di kantor ini, akan saya anggap sebagai bantuan cuma-cuma, jika Anda bersedia memberikannya kepada saya."
"Saya mengerti," jawab Hans dengan tatapan kesal. "Silakan!" usirnya tegas.
'Sialan. Dia pikir bisa merebut Aurora dariku dengan hartanya?' Ucap Hans tanpa suara, sambil menggenggam kedua tangan dan terus menatap punggung Frans yang mulai meninggalkan dirinya, dengan segudang perasaan kecewa.
Sesaat setelah Frans tidak tampak, Hans menyatukan tangan pada ujung kedua sisi dahi. Tampaknya, ia begitu pusing dengan dirinya sendiri.
Sebab, sebelumnya. Hans mengatakan bahwa ia akan memberikan tubuh muda milik Aurora, kepada banyak laki-laki demi memeras air mata gadis itu.
Namun ketika ada laki-laki yang muncul di hadapannya dan ingin merebut Aurora, Hans merasa tidak rela untuk melepaskan gadis tersebut. Meskipun, ia akan mendapatkan keuntungan besar dari pertukaran ini.
'Perasaan seperti apa ini?' Tanya Hans di dalam hatinya.
Setelah kedatangan Frans, tiba-tiba saja hati Hans menjadi sakit dan teriris. Ia merasakan cemburu yang membara, serta menjalar di setiap urat nadi di tubuhnya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang, setelah menyelesaikan semua pekerjaan.
Sekitar pukul 20.00 WIB, sepulangnya dari meeting besar di hotel. Hans menolak, ketika disuguhkan daging segar dari perempuan bayaran yang telah disiapkan oleh koleganya, sebagai hiburan.
"Hans!" Moza menelepon dengan suara yang penuh amarah.
"Ada apa?" tanya Hans dan memang dua kata ini, merupakan kalimat yang selalu keluar dari bibirnya.
"Kamu pulang sekarang dan lihatlah apa yang sudah perempuan ini lakukan!" Moza terdengar ingin membakar laki-laki kejam tersebut.
"Apa yang terjadi?" tanya Hans sekali lagi.
Moza membungkam dan memutuskan untuk mengambil foto. Lalu ia mengirimkannya kepada Hans yang sudah lelah karena bekerja seharian, bahkan lebih dari waktu yang seharusnya.
Tangan kanan Hans bergetar hebat, matanya memerah, dan giginya beradu kasar satu dengan yang lainnya. Ia tampak sangat marah dan kali ini, benar-benar tidak bisa memaafkan.
Dengan langkah cepat setengah berlari, Hans menuju ke mobilnya. "Pulang!" perintahnya kepada sopir dan wajah tegang terlihat jelas di sana.
"Baik, Tuan."
Sang sopir yang merupakan mantan pembalap jalanan, mengarungi jalanan yang sudah terlanjur basah akibat hujan yang terus mengguyur kota sejak tadi sore, dengan cepatnya.
Jika dilihat, suasana begitu dingin dan tenang. Namun, semua itu tidak dapat membuat seorang Hans Prawira berpikir jernih. Hatinya terus saja terbakar dan membara.
Setibanya di rumah, Hans langsung memasang wajah masam. Matanya seperti senapan serbu yang fokus pada targetnya. Tidak ada kesempatan untuk lari, yang ada hanya nurani nan terbuang.
Hans masuk ke dalam kamarnya. Saat itu, sudah menangis di sudut kamar bersama beberapa pelayanan lainnya. Hanya Ratih saja yang tidak berada di sana karena baru saja terlelap.
Mata Hans tampak marah, ketika ia melihat bingkai foto sang mama yang sudah hancur berserakan di lantai. Bahkan, tubuhnya tidak lagi mampu bergerak.
"Mama ... ," gumamnya yang memang terdengar sangat terluka.
"Sayang, pendatang baru itulah yang melakukannya!" tunjuk Moza kepada Aurora. "Aku melihatnya sendiri, makanya berani mengatakan hal ini kepadamu." Moza terus membakar hati Hans.
"Tidak, Tuan. Itu tidak benar," sanggah Aurora yang langsung menghapus air matanya dan berdiri. "Aku baru saja berniat untuk menata makanan di atas meja dan semua ini sudah terjadi." Aurora membela dirinya dengan cepat.
"Kamu ... ." Hans menunjuk wajah Aurora dengan kasarnya. "Masih berani menunjukkan wajahmu di hadapanku?" Hans terlihat begitu marah dan kesal.
"Tuan, aku tidak melakukannya." Bibir Aurora bergetar hebat. "Mana mungkin aku berani, bahkan menyentuhnya saja aku tidak ... ."
"Diam kamu!" perintah Hans sambil mengangkat tangan kanannya. Sepertinya, ia ingin menampar gadis bermata safir itu, tetapi tidak mampu.
Tangan itu bergetar hebat di atas kepala Aurora. Sementara gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk. Dan Moza menyeringai jahat, seakan ia meneriaki kemenangannya.
'Ayo, pukul dia Hans!' Kata Moza di dalam hatinya.
Hans menurunkan tangannya, ketika melihat bulir-bulir air mata gadis itu mengalir. Entah dari mana, tiba-tiba saja membuatnya melemah. Namun, rasa marah itu masih berkabung di dalam jiwanya.
"Kalian!" pekik Hans pada kedua orang bodyguarnya. "Bawa dia pergi dari sini dan lakukan apa yang seharusnya kalian lakukan!" perintahnya, kembali memberi hukuman.
"Siap, Tuan."
"Tidak, Tuan. Aku sama sekali tidak melakukannya." Aurora terus saja membela diri, tetapi Moza kian mencerca.
"Dasar wanita rendahan," hina Moza yang langsung mendekati Hans. "Sebaiknya, kamu istirahat saja, Sayang!" Lalu Moza memainkan jari jemari tangannya untuk mengusir asisten rumah tangga yang lainnya.
Setelah semua orang pergi, Moza memeluk Hans dari belakang. Ia mulai menyentuh lembut seperti rayuannya yang lalu-lalu. Namun sayang, kali ini Hans sama sekali tidak memiliki hasrat untuk melakukan goyangan pinggulnya yang energik.
'Kenapa? Dia yang dihukum dan menangis, kenapa aku yang merasakan sakitnya?' Kata Hans tanpa suara.
Namun, ia tidak berbuat untuk kembali menarik perintahnya. Sebab, apa yang gadis itu lakukan, merupakan kesalahan fatal menurut Hans.
Baginya, tidak ada satu pun yang boleh menyentuh apalagi sampai menyakiti sang mama. Walau semua itu hanya sebuah foto dan bingkainya saja.
Bersambung.
Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar, dan follow aku ya, makasih.