Jatuh Cinta

1268 Words
Sebelumnya, Ponsel sekertaris Hans berbunyi dan ia mendapatkan telepon dari seseorang yang diutus untuk memata-matai tuan muda tersebut. "Halo, Moza. Ia masih saja tampak happy sejak tiba. Sepertinya ini tidak sesuai dengan khayalanmu, Beb." Jaco menghubungi Moza sesaat setelah Hans dan Aurora datang ke pasta dansa. "Apa? Siapa wanitanya?" Moza langsung berdiri dari tempat tidur sembari menerima telepon dari salah satu rekannya yang berada di pesta meriah tersebut. "Sebentar! Akan saya kirimkan fotonya." Laki-laki pemilik lidah ganda itu, langsung mengirimkan foto Hans dan Aurora yang tengah duduk di sisi meja VIP. Saat itu, keduanya tampak begitu dekat, dengan jarak tubuh yang hanya beberapa jengkal saja. "Ada lagi?" tanya Moza dengan suara yang terdengar geram. Selang beberapa menit, Jaco kembali mengirimkan foto kedua. Yaitu gambaran ketika mereka baru saja tiba di pesta dansa. Foto kedua ini memperlihatkan bagaimana Hans bersama Aurora yang tengah menyelipkan tangannya di lengan kiri laki-laki bertubuh kekar tersebut. Keduanya tampak begitu serasi dengan senyum yang menawan. Semua itu membuat orang-orang berpikir bahwa Hans sudah menemukan wanitanya dan Moza hanyalah sekertaris biasa yang tidak ada artinya. Sembari meneguk anggur merah, Moza terus memperhatikan arah pandang Hans ketika Aurora sedang menatap lurus ke depan (Pada foto pertama). "Ternyata, kamu memang menyukainya," kata Moza bersama tatapan penuh kebencian. Pemandangan itu pun, membuat hatinya begitu sakit hingga ia melempar gelas kaca tinggi ke teras balkon dan membiarkannya berderai begitu saja. "Lihat saja nanti! Saya akan membuat perhitungan dengannya," sambungnya dengan wajah yang terlihat begitu sinis, sembari menatap layar ponsel ukuran besar. Dengan napas yang yang tersengal, Moza memegang dahi dan memijatnya perlahan. Ia mulai merencanakan sesuatu yang buruk untuk Aurora, demi membalas rasa sakit hatinya. Meskipun, sebenarnya gadis belia itu, tidak berbuat hal yang buruk terhadap sekretaris pribadi Hans tersebut. Sementara di dalam gedung gemerlap, Hans dan Aurora tengah menikmati canda cinta yang semakin menenggelamkan hasrat di dalam jiwa keduanya. "Kamu?" Hans masih ingin menabur benih-benih cinta. "Ya?" Aurora menatap sesaat setelah melepaskan kecupannya. 'Kenapa dia bisa sangat berani menatapku? Dia adalah perempuan satu-satunya yang bisa. Bahkan Moza saja tidak sanggup.' Ujar Hans tanpa suara. "Ma-maaf, saya hanya melakukannya begitu saja." Aurora memundurkan langkah dan berniat untuk menjauhi Hans. "Bisa memberikannya kepada saya lagi?" Hans meminta agar Aurora menambahkan jumlah kecupannya. "Apa?" tanya Aurora dengan segudang kebingungannya. Detik ini, Hans menelan salivanya yang terasa begitu cair. Tampaknya, ia benar-benar ingin "Sebelum kita pulang." Aurora tersenyum, "Aku pikir, Anda bosan." "Apa?" tanya Hans sesaat setelah mendengar ucapan yang tiba-tiba terasa menyakitkan hatinya. 'Tidak, bagaimana aku bisa bosan? Bahkan aku ingin melakukannya sepanjang malam.' "Jangan sok pandai dalam menilaiku!" "Maaf, Tuan." Aurora menundukkan kepalanya. Hans merasa kesal. "Kita pulang saja sekarang!" "Baik, Tuan." Aurora mengikuti keinginan tuannya tersebut. "Apa? Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu seperti gerakan atau ucapan untuk menahanku?" tanya Hans yang ternyata berharap mendapatkan rayuan dari gadisnya. Aurora bingung dalam tanya, "Apa, Tuan? Maksud Anda, seperti rayuan?" "Kamu sangat mengesalkan!" Hans membalik arah dan memilih untuk duduk di atas sofa, sembari menahan kekecewaannya. 'Apa-apa'an ini? Dia semakin angkuh dan menyiksaku. Dan, kenapa aku jadi mengemis rasa kepada gadis bodoh ini. Siaaal! Dia terlalu indah malam ini.' Hans terus berceloteh dengan raut wajah super kesal. Tidak ingin dipermainkan, tapi juga tidak mau pulang, Hans memutuskan untuk meneguk minuman yang dapat memabukkan dirinya. Tapi tetap saja, tatapan mata Aurora lah yang mampu memabukkan jiwanya. Aurora yang mulai memahami Hans, langsung mengambil langkah. Semua ini karena perasaannya yang tiba-tiba saja, terasa dekat dengan laki-laki yang sudah berniat untuk mempermainkan hidupnya. Setelah yakin, Aurora berjalan ke arah sumber musik dan menukar alunan suara dengan lagu yang biasa ia padu padankan dengan gerakan tari baletnya. Saat ini, Aurora ingin membuat Hans terkesima sekaligus tersenyum kecil sekali lagi, dengan aksi gerakan balet yang sangat ia kuasai. Lima menit pertama sudah mampu membuat Hans terpukau. Ia tidak mengetahui bahwa gadis yang selama ini ia benci, memiliki sesuatu yang bagus untuk penghibur luka dan laranya. Hans mulai tersenyum kecil, wajahnya terlihat mulai ramah. 'Dia, bagaimana dia melakukannya? Apa dia hidup bersama sekumpulan peri? Ha ha ha ha ha, omong kosong seperti apa ini?' Kata Hans di dalam hatinya karena ia melihat Aurora seperti sesuatu yang bersayap. "Hidup adalah sebuah perjalanan. Kadang kita menemukan jawaban, namun ada banyak juga yang masih tersimpan di lorong waktu." Aurora ikut menyanyikan penggalan lagu yang mengiringi gerakan tarinya, hingga di ruangan tersebut menggema suara merdu dari bibir indahnya. 'Sudah sangat banyak hiburan, musik, lagu, dan tarian yang aku dengarkan. Tapi kenapa kamu terlihat begitu berbeda? Apa istimewanya? Kamu seperti embun di pagi hari. Sejuk, tenang, damai, penuh cinta. "Misteri yang masih tersembunyi untuk tiap-tiap orang. Itulah rahasia yang sering membuat kita bertanya." Aurora melanjutkan lagunya sambil menutup kedua mata dan bergerak gemulai. 'Terkadang, kita menjadi dua pribadi, Tuhan dan diri sendiri (yang disebut juga jiwa). Kita tetap saja bertanya kepada keduanya karena hanya mereka yang memberikan ketenangan.' Hans terus berkata pada dirinya sendiri. "Ketenangan yang diperoleh tersebut membebaskan. Kebebasan tersebut membuat seseorang selamat dan mampu bertahan meski badai hidup kerap menderanya. Kawan, kita adalah pemenang!" Suara Aurora yang begitu lantang dengan musik yang semakin beritme, cepat, dan kencang, sembari mengiringi gerak tubuhnya. Bahkan gerakan berputar itu, mampu menerbangkan bagian bawah dress yang Aurora kenakan, hingga memperlihatkan lekuk paha mulus dan jenjang miliknya. 'Tuan, aku yakin. Waktu bisa mengubah dirimu. Sebab, tidak ada yang abadi. Kita hidup bukan hanya untuk hari ini saja. Lagipula, kemewahan itu hanya akan menyilaukan matamu. Karena semua itu hanya ilusi duniawi.' Aurora berkata di dalam jiwa sambil tersenyum dan berharap. Suara musik dan lagu berhenti, Aurora pun terdiam seraya mengatur napasnya. Saat itu, Hans memutuskan untuk mendekati gadisnya dan menatap dalam-dalam. "Apa artinya cinta menurutmu? Seperti apa cinta itu? Dan bagaimana mendapatkannya?" Mata Hans menatap tajam, kali ini ia tampak bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya. "Tuan ... ." Aurora menghela napas panjang dan mengatur tubuhnya yang masih menyala. "Sebenarnya, aku juga tidak tahu. Sebab ... ." "Apa?" Hans menyela perkataan Aurora. "Seperti itu tadi ... ," sambung Aurora yang tidak tahu harus memulai dari mana. "Apa? Bisakah berbicara dengan normal?" tanya Hans semakin bingung dengan teka teki kata yang keluar dari bibir gadisnya. "Haaah ... ," keluh Aurora. "Maksudku, bahkan itu tadi adalah kecupan pertama yang aku lakukan. Selama ini, aku tidak pernah pacaran, Tuan." Hans terkejut kali ini. "Apa? Tapi, tadi itu terasa mahir di bibirku." "Ah, tidak mungkin," elak Aurora sambil menggerakkan kepalanya sangat cepat. "Dulu, Aku memang pernah suka pada seorang teman laki-laki yang tampan dan punya senyuman memukau." "Tidak perlu memuji orang lain!" Wajah Hans yang semula terlihat tenang dan bahagia, kini menjadi tegang kembali. Semua itu karena kata-kata dari Aurora yang terasa sakit di dadanya. Hans tidak suka jika Aurora memuja dan memuji laki-laki lain, selain dirinya. 'Sebaiknya pulang saja! Sebelum kamu membunuhnya. Mengesalkan sekali. Seret dia, Hans!' kata jiwa Hans yang kelam. Namun pada kenyataannya, Hans malah menggenggam tangan Aurora sangat erat, seolah takut kehilangan dan mereka berjalan berdampingan tanpa sikap yang kasar. "Setibanya di rumah nanti, bersihkan kamar tidurku!" pinta Hans dengan gaya marah. Padahal, ia hanya ingin lama-lama bersama Aurora. "Ba-baiklah, Tuan." "Setelah itu, rapikan lemari pakaianku!" sambungnya sambil berjalan keluar dari ruangan. "Iya, Tuan. Baiklah," jawab Aurora yang tidak bisa menolak. Padahal ia cukup bingung karena semua ini bukan pekerjaan yang ringan. "Kemudian, pijat kepalaku hingga tertidur! Jangan katakan tidak!" "Ba-baiklah, Tuan." Melihat suara bingung dan wajah tegang dari gadisnya, membuat Hans tersenyum simpul. Entah apa yang membuatnya bahagia. Apakah karena dapat menyiksa musuhnya atau bisa berlama waktu bersama Aurora. Jangankan orang lain, bahkan Hans saja tidak tahu jawabannya. Bahkan, ia tidak memikirkan apa pun saat ini. Yang ia mau hanyalah, gadisnya terus saja tampak pada kedua bola matanya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD