8. Darwin

1736 Words
"Dad, aku akan membawa Alice kemari. Apa kau setuju?" tanya Galins. Mereka berdua sedang berada di ruang keluarga. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Sedangkan, yang lain berada di ruangan berbeda. Lian segera menatap tunggal-putranya dengan seksama, "Apa kau yakin? Sudah dad katakan sebelumnya." jawab Lian. Galins mengangguk, "Ya, Galins sudah memikirkannya, dan Galins menerima semua konsekuensi yang akan Galins terima nantinya." jawabnya lantang. Sungguh, Galins bertekad ingin mengembalikan hidup Alice yang sesungguhnya, dan membawa Alice ke dalam lingkungan keluarganya. Rasa sayang dan cinta semakin banyak, rasa ingin melindungi ada saat dia tahu kalau nyawa Alice sedang tidak aman. "Yasudah kalau begitu, besok kita bicarakan ini di ruang X. Bagaimana?" tanya Lian, menawarinya. Ia yakin yang lain pasti memiliki rencana untuk menangani masalah ini. "Mr. Aleson Darwin, coba katakan yang sebenarnya. Apakah benar Mr. Darwin telah tiada bersama dengan keluarganya," Di sana, tepatnya di layar televisi. Mr. Aleson Darwin yang notabene adalah kakak dari Mr. Ailan Darwin, daddy Alice. Sedang di wawancarai oleh salah satu wartawan. Mr. Aleson nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya tergurat kesedihan yang amat sangat dalam. "Benar sekali. Saya sangat sedih, mengetahui jika adik saya telah tiada. Saya berjanji, akan menghabisi perampok itu" jawab Mr. Aleson dengan nada menggbu-gebu. "Kau lihat, son?" tanya Lian, sambil menunjuk ke arah televisi itu. "Kau juga bisa ber acting. Jika salah satu keluarga mu nanti berkhianat." jawab Lian. Membuat Galins mengangguk. "Lalu dad?" tanya Galins. "Apakah benar, jika anakmu Angelina juga hilang?" tanya wartawan itu. Mr. Aleson mengangguk, "Benar! Anak saya pasti di culik. Mengingat jika musuh adik saya sangat banyak. Pasti dia mengingcar anak saya. Tolong bantu doa agar anak saya cepat di temukan." balasnya. Galins membulatkan matanya, "Bukankah anaknya Mr. Aleson adalah teman Zea dan Kea, dad?" tanya Galins, memastikan. "Benar, son." "Apakah aku juga harus menambah bodyguard untuk Kea dan Zea?" Lian tersenyum kecil, "Tak usah." jawabnya singkat. Namun, Lian mengerti. Ia yakin Kea dan Zea akan aman di bawah daddy nya dan mata-mata yang selalu mengikuti Kea dan Zea. "Dad, Revano menelepon mu." ujar Lisha, dari arah lain. Dia membawa handphone milik Lian lalu memberikannya. Kedatangan Lisha, di susul oleh si kembar Zea dan Kea, yang membawa cemilan di tangannya masing-masing. Lian segera beranjak dari duduknya, untuk berbicara dengan Revano. Tumben sekali Revano mengubungi dirinya malam-malam. Jika, tidak ada hal yang penting. "Ada apa Revano?" "Ada sesuatu hal yang sangat penting!" jawab Revano di sebrang sana. Lian mengernyit, dia melirik ke arah Lisha dan Lisha segera menganggukan kepalanya. Lian sekarang benar-benar pergi meninggalkan ruangan itu, meninggalkan sebentar anak dan istrinya. "Kak, sekarang kau tidur denganku. Aku ingin bercerita padamu." ujar Kea, dia bergelayut di tangan kiri Galins. Sementara Zea, duduk di sofa lain dengan cemilan dan film action kesukaannya di layar televisi. Galins tersenyum, lalu mengangguk setuju. " Tentu saja, dear." jawab Galins, membuat Kea tersenyum senang. Dia menyuapi Galins, sesekali tertawa kecil karena Galins terus saja menggodanya. "Zeana!" tiba-tiba saja Lian datang dengan wajah memerah, menahan amarah dan rahang yang tegas. Zea yang terpanggil, segera terlonjak. Dan duduk di sofa. "Ada apa, dad?" tanya Zea bingung. Sebenarnya Zea tahu, Lian tak akan marah jika dirinya tak membuat salah. Namun, yang membingungkan adalah, dia tak tahu mempunyai salah apa. "Kenapa kau membunuh anak Mr. Darwin!" ujar Lian, menegaskan. Zea menghela nafas pelan, "Angelina Carolina maksudmu, dad?" tanya Zea santai. "Dia yang lebih dulu jahat padaku. Aku hanya membela diri sendiri, dan menunjukkan keadilan yang sebenarnya." jawab Zea santai. Lian menghela nafas kasar, tangannya yang mengepal ia rentangkan. Guna untuk menahan kesabarannya. "Lagian, wanita biadab seperti dia tak harus hidup dad. Sampah saja." jawabnya, lagi. Lian memijat pelipisnya, tiba-tiba dia merasa pusing malam ini. "Kau tahu tidak, siapa Mr. Darwin! Lambat laun, kau pasti akan berurusan dengannya!" Zeana mengangguk kecil, "Lagi pula. Tak ada jejak sama sekali. Aku sudah mengamankannya dad, kau tak perlu khawatir. Tubuhnya sudah di makan hiu." jawab Zea kembali, dengan santai. Hal itu membuat Lian menggeram marah. "Zea! Harusnya kau lihat siapa yang sedang kau hadapi!" jawab Lian. Lalu dia segera pergi meninggalkan ruang keluarga. "Memangnya siapa Mr. Darwin" ujar Zea, bertanya dengan suara pelan. Namun, masih dapat di dengan. "Kau sama sekali tak tahu Zea?" tanya Kea. Zea mengangguk, "Ya, aku tak tahu. Beri tahu aku" Kea menggelengkan kepalanya, "Mr. Darwin itu orang yang berbahaya. Mereka licik dan juga tak kenal ampun siapapun itu. Yang terpenting dia puas. Bahkan dia sudah membunuh Alice dan juga orang tuanya Mr. Ailin Darwin." Tiba-tiba saja, Galins yang tengah memakan cemilan dari tangan Kea pun tersedak. Akibat terkejut oleh perkataan adiknya yang menyebutkan nama kekasihnya, Alice. "Bagaimana Kea tahu? Ah mungkin dari televisi" batin Galins. Zea membulatkan matanya, menatap ke arah adik kembarnya dengan tatapan tak percaya. "Apa maksudmu Kea? Kau berbicara dengan benar kan?" tanya Zea Kea menganggukan kepalanya, "Tentu saja, dan secara tak langsung kau telah membawa daddy ke dalam bahaya yang kau buat. Hmm, Zea sudah ku bilang berhenti membunuh orang." ujar Kea, di akhiri dengan nasihatnya. Zea melirik ke arah Lisha, mencari jawaban yang sebenarnya. "Apa yang di katakan Kea benar, mom?" tanya Zea Lisha mengangguk, "Benar." "Lalu aku harus bagaimana?" Lisha menghela nafas pelan, lalu tersenyum. Dia segera beranjak dari duduknya dan mengusap kepala Zea dengan sayang. Dia akan menyusul suaminya, pasti sekarang Lian sedang berada di kamar. "Kak, bagaimana ini. Aku harus melakukan apa?" wajah Zea sudah memerah, menahan tangis. Galins menghela nafas, "Tidak apa-apa. Kakak akan tetap menjadi pelindung untuk mu dan keluarga William. Sekarang, minta maaflah pada daddy." titah Galins. "Baiklah, aku akan membawakan daddy minuman hangat. Terimakasih kak," ucap Zea. Dia berdiri berjalan kecil ke arah Galins dan Kea. Dia mencium pipi Galins dan Kea, dan melewatinya untuk sampai ke dapur. "Selamat malam." teriak Zea. "Mau ke kamar sekarang?" tanya Galins. "Ya, kau harus menggendongku kak." jawab Kea. Bersedekap d**a, lalu menggeleng. "Tidak! Apa kau tahu, dirimu betat?" "Kalau begitu, aku akan di sini sampai pagi." Zea terkekeh kecil, melihat bibir cemberut adiknya. Dia segera menggendong Kea, dan berlari. Membuat Kea tertawa-tawa. Galins menidurkan Kea di dalam kamarnya. Sengaja, Galins membawa Kea ke kamarnya karena dia juga merindukan, sudah agak lama dia tak tidur di sana. Setelah berganti pakaian, Galins menyusul Kea tidur di dalam selimut. Membawa tubuh adiknya untuk ia peluk. "Lalu, Kau mau cerita apa?" tanya Galins. Kea segera beranjak untuk duduknya, dia menghadap kakaknya yang sedang tidur terlentang dengan dua bantal menjadi ganjalannya. "Apa kau bisa menemukan di mana keberadaan Alice?" tanya Kea tiba-tiba. Baru saja, Galins mencoba untuk berhenti memikirkan nama yang tak asing itu, adiknya sudah mengungkit kembali. "A-alice, siapa dia?" tanya Galins, memastikan. "Dia sahabatku. Anak dari Mr. Darwin" jawab Kea Tubuh Galins menengang, nafasnya terasa tercekat. Ternyata adiknya adalah sahabat dari kekasihnya. Itu berarti ... Galins menggelengkan kepalanya pelan, "Bukannya dia sudah meninggal?" tanya Galins. Kea menggeleng pelan, "Belum. Aku berbicara dengannya tempo lalu, dia bekerja di toko pengrajin." jawabnya. Lagi, Galins terdiam. Alice yang di maksud oleh adiknya adalah Alice yang sama dengan yang ia kenal. Galins tersenyum kecil, dia segera menarik tangan Kea agar duduk di sebelahnya. Setelah itu, dia membawa Kea untuk ia peluk dan kepalanya ia sandarkan di d**a bidang miliknya. "Sudahlah, ini kita pikirkan besok. Apa kau tak mengantuk, Kea?" "Aku mengantuk. Baiklah kalau begitu," jawabnya. "Kau harus berjanji satu hal. Jangan bicarakan ini pada orang luar." peringat Galins. "Tentu saja, aku tahu itu." Galins tersenyum, lalu mencium Kea. Berakhirlah dengan mereka tidur bersama, sambil berpelukan. Menyalurkan rasa kasih sayang antara seorang kakak beradik yang sudah lama tak seperti ini. *** "Apa aku boleh masuk?" tanya Zea hati-hati di luar sana. Lian mengerang, dia segera melepaskan ciumannya. Dan membenarkan kancing baju Lisha dengan cepat. "Ya, masuklah." suara barinton milik Lian menggema. Dengan langkah perlahan, Zea masuk ke dalam kamar dengan salah satu tangannya membawa gelas berisi minuman hangat. Lian segera beranjak ke kamar mandi, dia berniat untuk membasuh wajahnya yang berantakan. "Mom, daddy mana?" tanya Zea. Dia meletakkan minuman hangat itu di atas nakas. Tepat, di samping ranjang. "Ke kamar mandi sebentar, ada apa?" tanya Lisha. Zea segera berjalan ke arah ranjang, dia tidur di samping Lisha lalu memeluknya. "Aku hanya ingin meminta maaf." jawab Zea. Lisha tersenyum, dan memgelus dengan sayang rambut putrinya. Galins berjalan perlahan ke arah king size, dia duduk di tepian ranjang. "Ini untuk daddy" tanya Lian, mengambil gelas di atas nakas. "Ya, untuk mu dad." jawab Zea. Lian tersenyum kecil, lalu mulai meminum minuman yang di bawakan oleh anaknya. Setelahnya, dia merebahkan diri di samping Zea. Sementara Zea ada di antara Lian dan Lisha. Zea melepaskan pelukannya pada Lisha, lalu segera memeluk Lian dengan erat. "Apakah wajahmu kacau, karena diriku?" tanya Zea. Lian tersenyum kecil, ingin sekali dia mengatakan jika wajah kacaunya karena menahan hasrat untuk Lisha. Lian menggeleng pelan, lalu tersenyum jahil menatap istinya yang juga menatapnya. "Tidak, dear." jawab Lian lembut. Dia mengusap lembut rambut Zea, kepala anaknya ia tenggelamkan di d**a bidangnya. "Maafkan aku. Aku berjanji, akan memperbaiki semuanya. Aku akan meminta opa untuk membantuku." jawab Zea. "Tidak usah. Daddy bisa mengatasinya." jawab Lian. "Tapi, berjanjilah satu hal." sambungnya kembali "Apa dad?" tanya Zea, dia mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Lian. "Kau tak boleh, membicarakan hal ini pada siapapun. Ok?" "Im promises, dad." jawab Zea cepat. "Baiklah, sana pergi ke kamar mu dan tidurlah." jawab Lian, dia mencium puncak kepala Zea. "Tidak! Aku akan tidur bersama kalian malam ini. Ranjangnya cukup besar." Lian menelan nafasnya, niatnya yang ia pendam untuk Lisha harus terhentikan. "Bagaimana, apakah boleh?" tanya Zea. "Tentu sayang." jawab Lisha. Dia segera merebahkan memeluk Zea juga. "Iya kan, dad?" "Benar, boleh saja." jawab Lian. Dia juga ikut tersenyum kala melihat ke antusiasan dari mimik wajah Zea. "Kakak dan Kea sedang tidur bersama. Aku tak ingin tidur sendiri, jadi aku memutuskan untuk tidur disini dengan kalian saja." jawab Zea. "Baiklah, ayo tidur." "Kalian harus memelukku seperti ini, sampai pagi." jawab Zea yang di setujui oleh Lian dan Lisha. "Matikan lampunya, dad." ujar Zea. Lisha segera mengambil remote lampu. Mematikannya lalu menggantinya dengan lampu tidur. Dia masih memeluk Zea, dan di balas dengan pelukan Zea yang begitu erat. Putri manjanya, kini sudah beranjak dewasa. Meskipun begitu, Zea dan juga Kea masih tetap menjadi putri kecilnya. Kebersamaan debgan keluarga, itu lebih berharga di banding apapun. Prinsip Lian sedari dulu, awal pertama membangun rumah tangga bersama Lisha adalah. Keluarga yang baik di mulai dengan cinta, di bangun dengan kasih sayang, dan di pelihara dengan kesetiaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD