7. About painting

2033 Words
"Tidak Bryan, aku lebih menyukai warna hitam untuk gambar ini. Dan di taburi dengan beberapa titik bintang." jawab Kea, dia kembali merampas kuas dari tangan Bryan. Bryan berdecak kesal, "Aku ingin membantumu, berikan padaku." jawab Bryan. "Kamu bisa melukis di sana," tunjuk Kea pada kanvas yang di jepit easel tepat berada di samping lukisannya. Malam ini Kea tengah melukis pemandangan malam, seorang wanita yang tengah menatap ribuan bintang. Gambar itu bukanlah sembarang gambar, banyak arti yang tidak bisa ia katakan tetapi ia ungkapkan ke dalam lukisan. Bryan mendesah pelan, lalu menggeleng. "Aku akan melihat wajahmu saja," balasnya. "Ck. Bilang saja, kalau kau tidak mempunyai bakat untuk melukis." jawab Kea, membuat Bryan terkekeh pelan. Karena apa yang di katakan oleh Kea benar, dirinya tidak memiliki bakat melukis akan tetapi dia memiliki bakat bisnis dari daddy nya dan juga ... Hacker dari mommy nya. "Tapi, aku dapat meng-Hacker mu Kea." jawabnya, membela diri. Kea mengedikkan bahunya, "Aku tidak peduli. Tidak ada hubungannya dengan lukisanku." Bersedakap, menatap Kea dengan membulatkan matanya. "Tentu saja ada Kea, aku dapat meretas data perusahaan terbesar, dengan begitu aku akan memasukkan lukisanmu kesana untuk di pajang, lukisan yang kau punya akan terkenal, dan aku juga akan membeberkan kalau lukisanmu paling terbaik di antara yang terbaik." ujarnya, bereskpresi dengan antusias. Kea menghela nafas, menjatuhkan kuas di atas palet, melirik ke arah Bryan dengan tatapan jengah. "Bukankah perusahaan yang kau maksud itu, milik daddy ku?" Bryan menggaruk tengkuknya, "Ya, kau benar." jawabnya, Kea mendelik. Kea segera melirik ke arah palet, mengambil kuas yang lain, yaitu kuas flat karena dia akan menggambar garis kontur lurus. Dengan begitu, hasilnya tidak akan melebar seperti hasil dari round brush. Bryan, masih setiap memandang wajah cantik Kea. Ia tak menyangka, kalau dirinya akan jatuh hati pada Kea yang notabene adalah sepupu biologisnya. Lantas kedepannya, bagaimana dia dapat mempertahankan hubungan terlarang ini? Uncle, aunty, mommy dan Daddy nya pasti tidak akan setuju dengan hubungan ini. Dia takut kedepannya, akan menyakiti hati Kea, karena banyak kemungkinan hubungannya tidak akan mendapat restu. "Akhirnya, selesai juga." ujar Kea, dia menaruh palet beserta kuas di meja pinggirnya. Menyatukan kedua tangannya di depan d**a. Bryan memandang lukisan itu penuh takjub, tangan Kea memang perlu di acungi jempol. Bukan hanya Kea, tetapi Zea pun sama, keduanya memiliki bakat melukis. Akan tetapi, Zea melukis tidak setiap hari seperti Kea. Bisa di bilang, Zea lebih pemalas. Dan hobby nya adalah bersenang-senang. "Ini sangat indah, aku tidak berbohong." ujar Bryan. "Tentu saja, kalau tanganku yang melukis semuanya akan menjadi indah." jawab Kea, Bryan mendelik lalu memencet hidung mancung Kea, membuat sang empu meringis kecil lalu mendengus kesal. "Bisa di jelaskan arti lukisan ini? Aku ingin mendengarnya. Sepertinya mengandung banyak makna." ujar Bryan, dengan senang hati Kea mengangguk. "Aku mempunyai seorang teman, mungkin sudah menjadi seorang sahabat sekarang. Aku tak sengaja bertemu dia di pinggiran kota, tepatnya di desa pengrajin dari kayu, dia di sana sebagai pengrajin." jelas Kea. "Lalu?" tanya Bryan, dia penasaran dengan cerita selanjutnya. Pasalnya, Kea sulit sekali mendapatkan teman ataupun sahabat. Dan kali ini, dia menyebutnya bahwa dia bertemu dengan seorang yang ia anggap sahabat. Kea tersenyum, lalu berjalan ke arah sofa. Di ikuti oleh Bryan. "Aku membeli gantungan kunci, dan itu sangat cantik sekali. Aku taruh di sana." tunjuk Kea ke arah meja belajar, di sana memang ada gantungan kunci yang cantik bertuliskan nama Keana dan di bingkai dengan cantik di pinggirannya. "Namanya Alice, dia tinggal di tepi hutan. Kasihan sekali, dia harus putus belajar karena orang tuanya meninggal akibat perampokan. Untuk membiayai hidupnya, dia harus menjadi pengrajin, dengan upah yang tak seberapa. Bahkan sehari-hari kalau tidak mendapatkan upah, dia harus makan sayuran yang berada di belakang rumahnya. Dia menanamnya sendiri." jelas Kea, Bryan masih mendengarkan dengan seksama, mencerna dengan baik perkataan Kea. "Perempuan yang ada di ayunan itu sambil tersenyum, adalah Alice." tunjuk Kea, pada gambar yang baru saja ia selesaikan. "Dan dia masih bisa tersenyum, meskipun orang tuanya sudah tidak ada. Kebiasaannya setelah kedua orang tuanya tiada adalah menatap bintang, karena dia yakin salah satu dari bintang itu ada dad and mom nya yang tengah bersinar untuk dirinya, yang tengah tersenyum untuk dirinya menjadi kuat." jelas Kea, air matanya tak sengaja mengalir. Namun ia tepis dengan kasar. "Dan awan hitam yang itu, menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja selama ini, dia menutup kesedihan dengan senyumannya." akhirnya tangis yang Kea tahan pecah juga, dia menutup wajahnya karena tidak kuat menceritakan tentang sahabat yang tak pernah ia temui lagi. Bryan segera membawa Kea ke dalam pelukannya. "Tidak apa-apa, berhentilah menangis. Bagaimana kalau besok kita mengunjunginya?" tawar Bryan, namun Kea menggeleng. "Aku sudah mengunjungi tokonya tadi, tapi katanya saat salju akan turun atau tengah musim salju, toko itu tutup. Lalu bagaimana dia makan? Ini tahun pertama dia tanpa keluarga, Bryan. Bahkan aku sampai lupa, bertanya dimana letak rumahnya." Kea menjawab masih dengan suara parau, dia masih menangis memikirkan nasib Alice yang entah dimana keberadaannya. Bahkan, dia memikirkan nasib Alice juga saat badai salju menerjang rumahnya. Bryan mencium puncak kepala Kea, tangannya mengusap-usap punggung wanitanya dengan lembut. "Aku akan mencari tahunya. Jadi beritahu aku, siapakah nama asli dia?" tanya Bryan. Kea mendongak, "Benarkah?" tanya nya dengan binar, Bryan ingin kerkekeh melihat wajah imut Kea namun ia tahan, karena tidak memungkinkan dengan situasinya. "Tentu dear, sudah ku bilang aku hacker andalan. Kemampuanku seperti kemampuan mommy ku." jawabnya. Kea mengangguk, setelah memutar bola matanya jengah. "Alice darwin. Ya, namanya adalah itu." jawab Kea. Seketika, membuat Bryan menahan nafas beberapa detik, tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah Kea, meminta penjelasan satu kali lagi. "Da-darwin?" tanya Bryan gugup. Kea mengangguk, "Ya, ada masalah dengan nama itu?" tanyanya. Bryan tersenyum kecil menutupi kegugupannya, lalu segera menggeleng dengan cepat. 'Tidak mungkin itu dia, bukankah dia sudah meninggal, bersama orang tuanya, saat perampokan itu? Tunggu! Perampokan? Alice, ku mohon jika itu kau bertahanlah. Aku masih menyayangimu, semoga kau baik-baik saja' lirih Bryan dalam hatinya. "Wajahmu menunjukkan kalau kau tidak baik-baik saja, Bryan." Bryan segera menggeleng, dia mengambil laptop Kea di atas meja belajarnya. "Tidak, dear." Dia mulai mengetikkan sesuatu, dan berakhirlah mengetikkan sebuah nama 'Alice Darwin' "Benarkah itu dia?" tanya Kea, membulatkan matanya. "Bukankah Mr. Darwin meninggal bersama anak dan istrinya?" tanya Kea, sekarang dialah yang menatap Bryan dengan tatapan tak percaya. Menggeleng, dan matanya menangkap kembali penjelasan yang ada di depan laptopnya. Mata Kea membulat dengan sempurna, "Ya! Alice yang ku temui di sana adalah Alice yang sama dengan anak Mr. Darwin" Kea antusias, dan segera merebut laptop dari pangkuan Bryan, disana gambar wajah Alice sangat jelas. Tidak tahu apa yang harus Bryan lakukan, tubuhnya kembali menegang, rasa bibirnya sangat kelu, susah untuk di gerakan. Bahkan jantungnya, berpacu sangat cepat. Alice? Kekasihnya? Benarkah dia masih hidup, dan tidak meninggal bersama kedua orang tuanya? 'Lalu data itu? Palsu! Sialan!' Bryan menahan amarah, dia harus mencari tahunya terlebih dulu. Ya, Bryan berharap Alice masih hidup. Namun, di satu sisi lain, di berpikir bagaimana dengan Kea nantinya, jika dia menemukan Alice, dan kembali pada Alice lagi? Bryan mengacak rambutnya frustasi. Dia melihat Kea, yang tengah melihat wajah Alice di dalam layar dengan tatapan binar dan antusias. Lalu, setelah seperti ini apakah dirinya akan tega menyakiti Kea? Wanita baik, yang tak tahu apa-apa. Atau dia harus melupakan Alice di dihupnya? Dan juga, bagaimana dia bisa mengungkapkan fakta kalau Alice, masih hidup. Bahkan, dirinya saja tidak tahu keberadaan Alice. Apakah dia harus membicarakan ini bersama dengan keluarganya, di ruang X. Ya, sepertinya itu bukanlah pilihan yang buruk. "Kea, berjanjilah satu hal denganku." ujar Bryan. Kea yang tengah melihat foto pun, menoleh, mengernyitkan keningnya bingung. "Apa?" tanya Kea. "Jangan mengatakan pada siapapun kecuali keluarga kita, kalau Alice masih hidup. Aku percaya padamu, jadi biarkan lah masalah ini aku yang akan membantu menyelesaikannya, mungkin bersama dengan Galins dan yang lainnya." jawab Bryan. Alice mengangguk, lalu tersenyum dia segera memeluk Bryan dengan erat. "Aku mohon, bawalaj Alice. Aku berjanji, akan menjamin kehidupannya kalau dia tak di terima lagi di keluarga Darwin. Daddy and mom pasti setuju, karena Mr. Darwin adalah rekan bisnis Daddy." jawabnya, semakin membuat tubuh Bryan menegang. Dia bingung harus melakukan apa jika dia benar-benar membawa Alice kelingkaran hidup nya bersama Kea. Bryan membalas pelukan Kea, dan mengangguk ragu. Sulit? Tentu! Akan sangat sulit. Mengingat jika keluarga Darwin bukanlah orang sembarangan. "Sudah dulu berpelukannya. Ayo makan!" ujar Lisha, tiba-tiba saja mengagetkan Kea dan juga Bryan. "Mommy, kau mengagetkanku." ujar Kea, membuat Lisha terkekeh. "Lagian, kenapa kalian berpelukan seperti itu. Hmm apakah ada sesuatu?" tanya Lisha dengan tatapan yang menyelidik, sementara Kea menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tidak ada aunty, Kea hanya bersemangat karena telah menyelesaikan lukisan nya yang begitu cantik. Lihatlah" tunjuk Bryan, ke arah depan tepat ke arah lukisan Kea. Lisha melihat ke arah tunjuk Bryan, lalu dia berdecak kagum dengan lukisan yang telah di selesaikan oleh anak bungsunya. "Kea, ini sangat cantik sayang, kau tahu?" ujar Lisha dengan nada kagum, Kea tersenyum senang. "Mom, apa kau menyukainya?" tanya Kea. Lisha mengangguk, "Tentu saja, sayang. Daddy juga pasti akan menyukainya, bukan hanya Mom dan Dad tapi semua orang pun pasti akan menyukai karya ini." jawab Lisha. "Aishh, mommy ini paling bisa membuatku terbang. Ayo ke bawah, Kea sudah lapar." rengeknya menja, Lisha terkekeh pelan lalu mengangguk. "Yuk," ajaknya, dan melenggang pergi, di susul oleh Bryan dan juga Kea. "Apa daddy sudah pulang, mom?" Lisha mengangguk cepat, dia bergandengan tangan bersama dengan anak bungsunya. "Sudah, ada apa?" tanya Lisha, Kea menggeleng pelan. Makan malam di rumah Lisha dan Lian selalu ramai, dengan adanya anak-anak. Kini di ruang makan sudah banyak sekali kursi yang telah di duduki. Dari mulai, Zea, Kea, Bryan, Stella dan Sean. Entah mengapa mereka lebih suka makan dan berkumpul di rumah Lian dan Lisha. "Galins dimana?" tanya Lisha, dia melirik ke arah Lian yang sedari tadi tengah menatapnya. Lian sebenarnya sudah tahu, kemana tunggal-putranya pergi. Namun, untuk kali ini Lisha belum saatnya mengetahui semuanya. Pasti jika Lisha tahu, maka akan heboh. Lian mengedikan bahunya, lalu menggeleng. "Paling bersama dengan Kenzie, atau sedang berada di rumah kakek." jawab Lian. Lisha tak menaruh curiga sedikitpun, jadialah dia menganggukkan kepalanya saja. Selama ini, dia tak pernah membatasi pergerakan ketiga anaknya. Karena ia yakin Lian, suaminya selalu memantau ketiganya. Dan itu, membuat Lisha tak terlalu khawatir. Saat dia mengetahui kejadian Zea, yang di khianati oleh Alzy dia juga marah bukan main. Namun, setelah ia mengetahui semuanya sudah teratasi barulah dia mampu menghela nafasnya. "Ahhhh lepaskan.... Kenzie! Aku tidak ingin makan. Aku sedang marah padamu!" suara yang tak asing di pendengaran mereka pun terdengar. Sontak saja, mereka segera melirik ke asal suara. Lisha menggelengkan kepalanya pelan, melihat tingkah laku kedua keponakannya. Sementara Lian, tak terganggu sedikitpun. "Heh! Kau tak boleh berbicara seperti itu. Panggil aku dengan baik!" ujar Kenzie. Dia masih menggendong Aurora layaknya karung beras. Kepalanya berada di bawah, sedangkan kakinya di atas pundaknya. Kenzie melepaskan Rora, dan mendudukkannya di samping Zea. "Tidak! Aku membencimu." sargah Rora. Kenzie menghela nafas, lalu mengedikkan bahunya acuh. Pasalnya Rora mengajaknya untuk berjalan-jalan di luar. Sementara perkiraan cuaca malam ini akan ada badai salju. Kenzie juga duduk di samping Kea. "Aku mencintaimu." jawab Kenzie. Membuat Rora semakin mengerucutkan bibirnya. "Uncle, apa kau tidak berniat mengukum kak Kenzie. Aku sangat ingin jalan-jalan malam ini, tetapi dia menyebalkan." rajuknya, Kenzie memutar bola mata malas, lalu menerima air minum dari Lisha, aunty nya. Lian menggeleng pelan, "Tidak dear, Kakak mu benar. Malam ini akan ada badai salju. Diamlah di sini, jangan lupa kabari orang tua kalian." ujar Lian. Rora akhirnya pasrah, dan mengangguk. "Bagaimana aku tak tahu? Oh Lian, bagaimana dengan Galins. Aku harus mengubungi nya sekarang." panik Lisha, berniat beranjak namun suara seseorang mencegahnya. "Tak usah mom, aku sudah pulang." jawabnya. Membuat Lisha menghela nafas pelan. "Dari mana saja kau, seharusnya tidak keluar rumah dulu." ujar Lisha. "Baiklah mom, aku minta maaf. Ayo makan, aku sangat lapar." ajak Galins, membuat Lisha mengangguk. Terlebih dulu, Lisha mengambilkan Lian makanan beserta lauk pauknya. Di susul oleh anak-anak yang mengambilnya masing-masing. Makan malam pun di hiasi dengan kekeluargaan yang begitu harmonis. Mengingat makan malam seperti ini, Lian jadi mengingat Alice. Haruskah dia membawa Alice kemari dengan cepat? Tunggu! Badai salju? "Badai salju, seperti kemarin malam. Apakah Alice kedinginan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD