9. X

1840 Words
"Dad, apa aku boleh ikut ke ruangan X bersamamu?" Lian mengangguk, membolehkan putrinya untuk ikut, "Tentu." jawabnya, membuat Zea tersenyum. Zea segera beranjak dari tidurnya, dia baru saja bangun dan tak menemukan Lisha dan Lian di sampingnya. Ternyata Lisha sudah tak ada Zea berpikir pasti mommy nya itu sudah berada di dapur, sedangkan Lian baru saja keluar dari kamar mandi lengkap dengan pakaian casual nya. "Terimakasih, dad. Aku akan mengajak Kea juga." jawab Zea antusias, dan segera mencium Lian yang tengah menyisir rambut, setelah itu dia melenggang pergi. Lian tersenyum, melihat putrinya. Dan melanjutkan kegiatannya kembali, untuk segera sampai ke lantai bawah lalu melihat istri cantiknya yang sedang membuatkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Kea dan Galins turun dari tangga, sambil bergandengan tangan, keduanya sudah nampak rapi dan terlihat sudah mandi juga. "Pagi dad and mom." sapa Kea riang, lalu mencium pipi Lian sekilas dan membantu Lisha menyiapkan sarapan. "Pagi, dear." jawab Lian. "Pagi, dear. Di mana Zea?" tanya Lisha. "Im here!" teriak Zea, lalu menuruni tangga dengan tergesa. Hal itu membuat Lian, menggeleng. "Hati-hati Zea, nanti kau terpeleset!" ujar Lian, sedikit berteriak dan menegaskan. Zea tersenyum, memperlihatkan gigi rapi kelincinya, lalu duduk di samping kakaknya, Galins. "Pagi kak," sapa Zea. Galins tersenyum, lalu mencium kening Zea. "Pagi kembari, dear." jawab Galins. "Kau sudah rapi, mau kemana?" tanya Zea. "Hmm, keruangan X." jawab Galins sembari mengedikkan bahunya. Zea menatap kakaknya antusias, "Benarkan? Aku juga akan kesana bersama dad-" "And mom." putus Lisha, membuat semua orang menatap ke arah Lisha dengan tatapan berbeda-beda. "Benarkah mom, kau akan ikut juga?" tanya Kea. Lisha mengangguk, "Boleh kan, dad?" putusmya, sambil melihat ke arah Lian, suaminya. Lian tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Tentu, kita akan pergi kesana bersama-sama." jawab Lian. Membuat Lisha tersenyum senang. Merekapun memakan sarapan dengan tenang, dan di akhiri dengan kelucuan antara Kea dan Zea. Mereka selalu saja berdebat, membuat Lian menggelengkan kepalany. Tetapi, inilah yang Lian rindukan jika dia pergi ke luar Negeri. Kebersamaan dengan istri dan anak-anaknya. *** Galins, tolong aku! Itulah kiranya, pesan yang Galins dapatkan dari kekasihnya, Alice. Galins yang akan menaiki mobil bersama dengan orang tua dan adiknya, mengurungkan niatnya. "Dad, kalian duluan saja aku ada urusan penting." ujar Galins, membuat kening Lian mengerut. "Urusan penting?" tanya Lian memastikan. "Ya, sepertinya dia dalam bahaya." ujar Galins, dia segera kembali ke arah basemant untuk mengambil mobil miliknya, melewati mobil daddy nya dan membunyikan klakson sebelum benar-benar pergi. Lian menghela nafas pelan, dia memanggil beberapa boddyguard untuk menyusul Galins secara sembunyi-sembunyi. Bagaimanapun juga, kalau benar Galins pergi untuk urusan seperti apa yang Lian pikirkan, itu akan sangat membahayakan bagi Galins. "Dad, Galins kenapa?" tanya Lisha. Saat Lian sudah duduk di sampingnya, sementara Kea dan Zea di mobil bagian belakang. Lian tersenyum, menyembunyikan kekhawatirannya. " Tidak apa-apa, hanya ada urusan. Dia akan menyusul kita setelah selesai." jawab Galins, dia mencoba menggenggam tangan Lisha. "Aku tahu, semoga apapun itu adalah yang terbaik untuk anak kita." jawab Lisha, Lian tersenyum menatapnya. Tangannya ia ulurkan mengusap lembut wajah sang istri. "Semoga Tuhan, selalu mendengarkan doa kita." jawab Lian. *** Pikiran Galins berkecamuk, hatinya merasa gundah kala mendapati pesan seperti itu dari Alice. Dia langsung memacu kecepatan mobil di atas rata-rata. Sebenarnya dia tahu, ada mobil yang mengikutinya dari belakang, dan ia yakin jika itu adalah suruhan Lian, daddy nya. Di sela mengemudikan mobilnya, Galins tersenyum kecil, daddy nya selalu begitu, mengutamakan keselamatan semua anak-anaknya, dia bersumpah tidak akan mengecewakan Lian dan akan berjuang untuk membahagiakan kedua orangtuanya juga adik kembarnya yang begitu menggemaskan dan cantik. Galins semakin menambah kecepatan laju mobilnya, beberapa kali dia mengumpat dalam hati. Karena jarak yang harus ia tempuh lumayan lama sekitar satu jam. *** Alice masih bersembunyi di ruang bawah tanah, yang tidak orang lain ketahui. Bahkan akses kesini pun sangat sulit di lihat dengan mata sekilas. Setelah melihat sepupunya, Alzy di luar. Alice segera berjalan ke belakang rumahnya dan segera masuk ke dalam ruang bawah tanah. Pintu nya cukup sulit di temukan, karena tepat di dalam bath up. Ya, orang tuanya sengaja memanifulasi agar tidak ada yang tahu. Alice semakin ketakutan, untung saja dia sempat membawa handphonenya. Jadi, dia bisa mengubungi Galins. Dan dia mampu menghela nafas, kala ruangan ini kedap suara. Jadi Alice mencoba untuk menelepon Galins. "Alice! Di mana kau!" teriak Alzy. Beberapa kali, Alice mengusap keringatnya. Dia duduk di sofa yang di sediakan dan menyalakan lampu. Ruang bawah tanah ini tak seseram apa yang di bayangkan. "Alice! Keluar atau ku habisi dirimu!" suara Alzy semakin mendekat. Tepat, seperti berada di atasnya. Keringat Alice semakin bercucuran. Bahkan, air matanya sudah mengalir bebas membasahi pipinya yang sedikit chubby. "Sialan! Kau bersembunyi dimana, Alice!" Alzy masih mengumpat, mencari keberadaan sepupu kandungnya. Bukan tanpa sebab Alzy mencari Alice, keberadaan Alice di kota sudah tercium dan di pertanyakan kembali. Dan ada yang memberitahukan jika Alice selamat dari perampokan yang keluarganya rencanakan. Sebenarnya, keberadaan Alice di villa ini Alzy dan orang tuanya yang sama licik sudah mengetahui. Hanya menunggu waktu yang pas, untuk Alzy membawa Alice pergi ke kota, mengurungnya, menyuruh menandatangani sebuah warisan yang keluarganya rekayasa dan terakhir membunuh Alice. Hal itu sebenarnya, akan di lakukan setelah semuanya mereda. Namun, Alzy dan orang tuanya Mr. Aleson Darwin mengubah rencana, mereka harus bergegas cepat, sebelum ada orang lain yang mengetahui keberadaan Alice. "Hallo, Galins." ujar Alice, saat sambungan tersambung. Terdengar helaan nafas dari seberang telepon, tentu saja Galins yang menghela nafas itu. "Apa kau baik-baik saja, sayang?" tanya Galins. Dalam nadanya terdengar begitu khawatir. "Ya, aku sedang bersembunyi di tempat yang dingin. Kurasa disini aman." ujar Alice, mencoba menenangkan Galins. "Galins?" tanya Alice. "Ya, kenapa?" jawab Galins. "Tolong jangan kemari sekarang, di luar tidak aman. Ada Alzy, dia mengincarku." Alice menceritakan, hal yang sedang ia alami. Dia tak ingin membahayakan Galins. "Lalu, aku harus kesana kapan?" tanya Galins. "Nanti, saat gelap. Kemarilah, hati-hati salju sedang turun." jawab Alice. "Kau serius, Alice? Kau sedang dimana?" tanya Galins sekali lagi, memastikan. "Aku sedang berada di tempat yang paling aman, yang kau sendiri mungkin tak akan mengetahuinya. Jangan khawatir!" jawab Alice, menegaskan. "Baiklah. Lalu?" Alice menganggukkan kepalanya, seolah-olah Galins sedang berada di hadapannya. "Ya Galins, itu akan aman untuk kita. Tapi, aku mau satu hal. Aku ingin pergi ke Kota. Ku rasa di sini tidak aman lagi." Alice berkata dengan lesu. "Baiklah, aku ada rapat. Hubungi aku jika kau kenapa-napa." ujar Galins, membuat Alice tersenyum kecil lalu mengiyakan perkataan Galins. Setelah itu, Alice menutup teleponnya. Dia melempar telepon itu ke arah ranjang yang tak terlalu besar, cukup jika untuk dua orang. Di sana juga ada kamar mandi kecil, dan juga wine yang berusia sekitar sepuluh tahun. Mungkin nanti, Alice akan meminumnya. Ruang bawah tanah yang sempurna, karena ini sengaja di desain untuk tempat persembunyian. Juga, terdapat banyak senjata di balik lemari. Alice tersenyum miris, dia meratapi nasibnya yang begitu sial. Jika saja, orang tuanya tak meninggal mungkin dia masih asyik hidup di kota, berhura-hura dengan para teman-temannya, dan juga orang yang sudah lama mengejarnya. Dia jadi teringat dengan Bryan. "Apa kabar dia?" lirihnya, namun pikiran itu segera ia tepis. Dia dan Bryan, hanyalah teman ya tak akan lebih dari seorang teman. Suara Alzy semakin menjadi di luar sana, bahkan ia mendengar beberapa barang pecah. Mungkin gelas atau piring, karena sebelum berlari ke ruangan bawah tanah ini. Alice telah mengamankan laptop beserta handphone pemberian dari Galins. Dia tak habis pikir, pamannya-Mr. Aleson Darwin. Begitu tega terhadap keluarganya, mereka benar-benar licik. Membenarkan semua cara agar keinginannya tercapai. Kenapa semua orang begitu, tergila-gila dengan harta. Tidaklah manusia berpikir jika Tuhan menyaksikan semua kegiatannya di dunia? Tidaklah mereka berpikir jika akan ada balasan yang setimpal jika mereka melakukan kesalahan fatal. Alice menghela nafas kasar, lagi dia begitu benci dengan situasi seperti ini. Alice mengusap wajahnya kasar, lalu berpikir bagaimana dirinya merebut semua hak orang tuanya, bagaimana dirinya bisa keluar dari penjara ini, dan bagaimana dirinya keluar dari hidup seperti ini. Rasa-rasanya Alice ingin pergi ke Kota sekarang juga, mengumumkan pada semua orang jika dirinya masih hidup dan memberitahukan pada media bahwa Mr. Aleson Darwin berniat untuk membunuhnya. Bahkan, pamannya juga yang menyebabkan orang tuanya meninggal. Mengatur skenario, dan Alice menjadi ratunya. Mustahil. Alice berdecih, dia menjambak rambutnya. Keadaan di luar salju sedang turun. Harusnya dia menikmati moment ini bersama dengan keluarganya seperti tahun lalu. Menyambut Natal, menyiapkan hadiah, menghias pohon, dan rumahnya di ketuk oleh sinterklas yang akan memberikannya hadiah. Bukan hanya itu, jika semua ini tak terjadi, dia tak akan hidup susah seperti ini lagi. "Apa aku harus menjadi orang jahat?" tanyanya pada diri sendiri. Alice tersenyum miring. *** "Kemana saja, son." ujar Lian berbasa-basi, "Di luar salju sedang turun." sambungnya kembali. Galins mengangguk, lalu duduk di kursinya. " Ada urusan sebentar." jawabnya santai. Lian menyeringai kecil ke arah Galins, lalu mengangguk sebagai jawabannya. "Bisa kita mulai?" ujar Bryan, semua mata menatap ke arah Bryan dengan keheranan. "Tumben sekali kau, biasanya kau begitu malas kalau sudah duduk di kursi panas ini." jawab Victor. Bryan mengangguk. "Ya, karena aku mengerti dan mengetahui apa yang akan di bahas oleh Galins dan juga uncle Lian." jawabnya enteng, membuat semua orang yang ada di sana menatap ke arah Bryan, dengan tatapan tak percaya dan bertanya-tanya. "Maksudmu?" kali ini, Emelly yang menjawab pernyataan anaknya. "Sudahlah, Mom." jawab Bryan, "Ayo kita mulai, agar semua tahu apa yang aku maksudkan." jawab Galins. Lian mengangguk, lalu mulai melakukan tugasnya sebagai orang yang akan menjelaskan semuanya. "Jadi maksud mu, Alice anak dari Mr. Ailin Darwin masih hidup?" tanya Zayn. "Bisa kau jelaskan, Galins." tanya Lian, Galins mengangguk. Dia mulai menjelaskan awal mula dia bertemu dengan Alice, hingga saat kejadian beberapa saat yang lalu, dirinya pergi karena mendapat pesan yang tidak mengenakan. Dia juga menceritakan perihal Alzy, sepupu Alice mantan Zea yang tengah mencari dimana keberadaan Alice. "Apa! Kenapa kau tak bilang pada mommy." Lisha terkejut dengan penjelasan yang di lontarkan oleh anak laki-lakinya. Galins menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia mencari pembelaan sembari menatap daddy nya, sementara yang di tatap hanya mengedikkan bahunya acuh. "Sejauh apa hubungan kalian?" Lisha bertanya, menatap tajam anaknya. Galins akan menjawabnya dengan jujur, dia tahu kekhawatiran mommy nya akan dirinya, mengingat jika Alice, bukanlah orang sembarangan. "Tidak sejauh apa yang kau pikirkan, Mom" jawab Galins, "Hanya pernah tidur bersama, hanya tidur!" sambungnya menegaskan. Lisha mengangguk, ia mana mungkin tak percaya kepada anaknya. Mengingat jika semua anaknya, tak pernah berbohong padanya. "Baiklah, lanjutkan!" perintah Lisha. Lian mengangguk, "Giliran dirimu, Bryan." Lian mempersilahkan keponakannya untuk berbicara. "Tidak! Biar aku yang menjelaskannya. Aku juga ingin memberi peran penting," potong Kea, semua orang menatap Kea dengan tatapan bingung. Tak terkecuali dengan Lian. Hanya Bryan yang nampak biasa saja, karena dia mengetahuinya. "Tentu, baby." jawab Bryan, "Jelaskanlah." sambungnya membuat Kea menatap ke arah Bryan dengan mata binar. "Silahkan jelaskan, little girl" Lian mempersilahkan anaknya untuk menjelaskan. Dia juga sangat penasaran, mengingat jika Kea minim keluar rumah. Sebelum menjelaskan, Kea menghela nafas terlebih dahulu. Dia mulai bercerita dari saat dia tak sengaja bertemu dengan Alice di toko pengrajin dan berakhirlah dengan dia membuat lukisan lalu Bryan mencari data tentang Alice Darwin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD