Dengan nafas menggebu dalam hatinya menahan amarah, Zea orang yang pertama membuka pintu mobil setelah mesin mobil di matikan. Zea segera masuk ke dalam markas tahanan yang berbentuk rumah mewah ini. Sengaja, untuk menipu semua orang kalau ini hanyalah rumah biasa saja. Padahal isinya adalah rumah tahanan untuk para pengkhianat.
Zea segera pergi ke ruang bawah tanah di susul oleh Stella, Esme, Sean dan juga Andreas.
Mereka berlima melangkahkan kakinya dengan tergesa, melewati beberapa pria berbadan tinggi dan besar, siapa lagi kalau bukan para boddyguard yang sedang berjaga.
Zea tersenyum sinis saat dia telah sampai ke ruang bawah tanah, ruangan itu di peruntukkan untuk bermain-main dengan orang yang telah berkhianat pada dirinya atau keluarganya.
Seperti saat ini, wanita yang ada di hadapannya jelas adalah wanita yang ia kenal. Dia adalah Anggela, wanita yang sudah berhubungan badan dengan Alzy beberapa hari yang lalu.
Zea tak sengaja memergoki Alzy di apartemen nya sedang berhubungan badan dengan Anggel, yang notabene adalah temannya di kampus.
Sebelumnya Zea sudah curiga, jika antara Alzy dan Anggel ada hubungan spesial di belakangnya. Dan dugaan Zea ternyata benar adanya. Alzy bermain api di belakangnya.
Alzy maupun Anggel belum tahu bagaimana kesadisan keluarga William dalam memberantas pengkhianat.
Waktu itu, Alzy mencoba menjelaskan kepada Zea jika dia berhubungan dengan Anggel karena dia tidak ingin merengut masa depan Angel, dia ingin Zea-lah yang menyerahkan badannya sendiri pada Alzy, tanpa paksaan. Lagi, Anggel hanya wanita penghibur untuk Alzy.
Namun, Zea sudah terlanjur terluka. Jika hanya sebatas berpegangan tangan atau berciuman, pasti akan Zea maafkan. Tapi ini berbeda, hubungan mereka sudah melewati batas wajar. Hal itu membuat Zea geram dan langsung meninggalkan apartemen dan bergegas pergi ke mansion kakeknya, Mr. Geraldo untuk mengadu.
Buah jatuh memang tidak akan jauh dari pohonnya, dulu Lisha juga begitu. Pernah membenci Reza karena berani berselingkuh dan berhubungan terlarang bersama sahabatnya, Rossa. Dan sekarang, kejadian itu terulang kembali pada anaknya, Zea.
Bukan hanya itu saja, masalah ini, langsung Zea adukan pada kakak satu-satunya, Galins. Sehingga malam itu Galins segera mengajak Alzy untuk bertemu. Dan terjadilah baku hantam itu, hingga mengakibatkan Alzy tak sadarkan diri. Dan Galins, bertemu dengan seorang gadis, yang sangat terpandang di Kota.
Dari sana juga kisah percintaan antara Galins di mulai, mungkin jika bukan karena Zea. Galins tidak akan pernah kenal dan tahu ada seorang wanita cantik yang tengah di asingkan dan tinggal seorang diri di hutan ralat, tapi dia sengaja tinggal di sana. Karena tidak tahu, jalan pulang.
"Hai Angel, apa kabar? Haha!" tanya Zea berbasa-basi, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Tak lupa, dengan tawa yang terdengar sumbang.
"Ze-zea ... Ku mo-mohon, maafkan a-aku. Hiks," ujar Angel di iringi isak tangisnya.
Karena terpikat dengan ketampanan Alzy, Angel sampai kalap dan tidak tahu malu telah merebut kekasih sahabatnya. Akan tetapi, semua ini tidak sepenuhnya salahnya, Alzy juga membuka hati untuknya. Bukankah jika pemilik rumah tidak membukakan pintu maka tamu pun tidak akan masuk? Alzy sudah di habisi oleh kakaknya, sekarang bagian dirinya. Menghabisi Angel.
"Apa memafkanmu? Jangan mimpi Angel." teriak Zea. Dia segera mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan segera mendekatkannya pada wajah Angel.
"Kau harus menerima kesakitan hatiku!" teriak Zea kembali. Dia menggoreskan pisau kecil yang sama dengan Galins itu pada wajah mulus Angel.
"Zea ampuni aku." lirih Angel, sambil meringis kesakitan.
Luka, darah dan air mata.
Tiga hal itu sangat Zea sukai, dari sang pengkhianat. Membuat musuhnya memohon seperti ini, menurutnya bagaikan lagu indah yang menjadi alunan merdu.
"Sudah berapa kali kau berhubungan dengan Alzy? Sialan!" Zea, kembali menggoreskan pisau kecil itu pada tangan Angle.
"JAWAB!" teriak Zea, karena Angle tak kunjung menjawab.
"Le-lebih dari li-lima." jawabnya lirih, sambil menunduk.
Zea tersenyum miring mendengar jawaban itu. Berarti dia sudah lama, di khianati oleh Alzy dan juga Angle.
"Lalu, hukuman apa yang pantas untuk dirimu Angle!" Lagi, Zea menggoreskan pisau kali ini di pipi sebelah kanan Angle.
Angel masil menangis, dia meratapi kesialan dan kesedihannya. Harusnya dia berpikir dahulu sebelum bertindak. Dirinya terlalu gegabah mengambil keputusan. Kekejaman keluarga William memang tidak ada tandingannya.
Semua penghuni kampus pun sudah tahu jika Zea adalah salah satu dari anak Mr. William dan juga cucu dari Mr. Geraldo yang di kenal akan kekejamannya pada setiap musuh. Harusnya Angel menyadari itu, harusnya Angel tak mencari pria lain dan tak mencoba menggoda Alzy.
"Alzy, you know? I need you" bisik Angel di telinga Alzy. Mereka berdua sedang berada di sebuah club malam.
Alzy tersenyum kecil, memang jika dasarnya buaya darat hanya di goda seperti itu pun, pasti sudah tergoda.
"Maukah kau, menikmati malam ini bersamaku, Alzy?" Angle berkata dengan s*****l, dia meniup kecil kecil telinga Alzy. Badan yang hanya terbalut gaun tipis nan ketat berwarna hitam ia tempelkan pada tubuh Alzy.
"Sure, baby." jawab Alzy. Dia melumat bibir Angel. Tak peduli dengan para teman-temannya dan orang lain, bahkan suara musik yang menggema pun tak menjadi penghalangnya.
Angel duduk di paha Alzy, dia menggerakkan pinggulnya kesana-kemari. Agar Alzy semakin terangsang. Lalu, membawa dirinya ke kamar. Seperti dengan apa yang telah ia rencanakan sebelumnya.
"Sialan!" umpat Alzy. Dia segera menggendong Angle ala brydal style, dan segera membawa ke kamar yang sebelumnya sudah ia pesan.
Angle tersenyum miring saat dirinya sudah berhasil memikat Alzy. Bahkan sekarang, Alzy begitu nafsu dengan tubuhnya.
"Zea, kau sudah kalah sekarang!" batinnya.
Tidak! Angle menggeleng pelan. Dia sudah salah, yang kalah ternyata dirinya. Mau sampai kapapun harusnya dia sadar kalau Zea tidak akan pernah kalah. Lagi, kenyataan menamparnya begitu sakit.
Sekarang dirinya hanya bisa pasrah, meratapi ajal yang sebentar lagi akan menjemputnya.
Tangan Zea mulai memainkan pisaunya, dia segera menyayat-nyayat kembali pipi Angel dengan gerakan perlahan. Membuat Angel yang kedua tangan dan kakinya sedang terikat, mencoba untuk bergerak dan meronta karena kesakitan. Bahkan, bibirnya tak henti meringis dan menangis.
"Awshhh. Sa-sakit, ini sakit sekali. Ku mohon Zea, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi." teriak Angel. Membuat mereka semua tertawa, terkecuali Zea. Dia tersenyum kecut.
"Sakit? Lebih sakit hati ku Angle. Kau harusnya berpikir dulu sebelum bertindak. Tidak ada kata maaf bagimu!" teriak Zea, membuat Angel semakin menunduk.
"Katakan selamat tinggal pada dunia, dan selamat menikmati neraka mu. Angelie Caroline Darwin." teriak Zea keras lalu tertawa. Dia segera menusuk-nusuk leher Angel sampai dia benar-benar menjemput ajalnya. Tak peduli dengan suara teriakan dari Angel.
***
Galins tengah berjalan bersama kedua boddyguard nya menyusuri hutan di sore hari. Mereka berdua tengah membawakan dua kardus besar yang berisi makanan untuk Alice.
Saat sudah sampai didepan pintu, Galins menyuruh agar kedua boddyguard nya langsung pulang, sementara dirinya akan menginap lagi. Dia begitu merindukan gadisnya.
Tanpa harus susah payah membuka pintu, Galins segera masuk dengan satu kardus besar berisi makanan ringan di tangannya, sedangkan kardus lain masih di luar.
"Huh, Galins. Kau selalu saja mengagetkan ku." ujar Alice, dia yang akan membuka pakaiannya tidak jadi karena melihat keberadaan Galins.
"Apa kau selalu mengganti pakaianmu pada jam-jam sekarang? Lalu kapan waktu mandi mu?" tanya Galins
"Kenapa pertanyaan mu seperti itu? Kau sangat mencurigakan Galins!"
"Lain kali, aku akan kemari saat kau sedang mandi." jawab Galins sambil menyeringai membuat Alice bergidik ngeri.
"Dasar, kau m***m sekali.." teriak Alice, membuat Galins terkekeh pelan.
"Alice lihat ini, aku membawakan banyak makanan untuk mu." ujar Galins sembari meletakkan dus itu di atas meja.
"Kenapa repot-repot segala, Galins" ujar Alice.
"Tidak sama sekali. Di luar juga ada satu dus lagi itu berisi bahan pokok mu. Ambilah, aku lelah." ujar Galins, dia segera merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Alice mengangguk, lalu mulai keluar sembari mengangkat dus yang lumayan berat itu.
"Terimakasih Galins, lain kali tidak udah repot. Kentang dan sayuran sedang berbuah banyak di belakang, jadi akan cukup untuk makan ku."
Galins tak bergeming, bahkan dia tak menjawab perkataan Alice sedikitpun sampai beberapa menit dia kembali membuka matanya.
Dengan ransel yang lumayan besar yang sedari tadi ia bawa di punggungnya, Galins segera membawanya ke arah ranjang Alice dan duduk di tengah ranjang sembari membuka ransel itu.
"Alice kemarilah." ujar Galins, membuat Alice mengangguk. Lalu duduk di samping Galins.
"Ada apa?" tanya Alice.
Galins segera mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, "Alice, kau tahu kan cara menggunakan benda ini?" tanya Galins, membuat Alice mengangguk.
"Ya tahu,"
Galins tersenyum, "Aku sengaja membelikanmu laptop dan juga handphone. Agar kau dapat menghubungi ku begitupun sebaliknya. Dan jika kau sedang bosan, nontonlah sesuatu di laptop ini. "
Alice segera menatap manik mata Galins. Tidak percaya. Bahkan, matanya sudah berkaca-kaca, siap untuk meluncurkan air matanya.
"Ga-galins kenapa kau sebaik ini, aku tidak perlu barang seperti ini. Hiks~" ujar Alice, runtuh sudah pertahanannya, dia sekarang sudah menangis. Air matanya keluar dengan deras, dan tangannya berusaha untuk menyingkirkan air mata nya sendiri. Hal itu mampu membuat Galins terkekeh gemas karena tingkah Alice.
"Sekarang jangan bekerja. Aku akan menanggung semua kebutuhan mu, Alice. Kemarilah." ujar Galins, sembari merentangkan kedua tangannya.
Tanpa menunggu lama lagi, Alice segera memeluk erat tubuh Galins, sehingga ia terhuyung kebelakang, mengakibatkan dia bersandar ditumpukkan bantal yang berada di belakangnya.
"Ingin nonton film bersamaku?" tanya Galins, membuat Alice segera mengangguk.
Lagi. Galins terkekeh, Alice begitu lucu menurutnya. Sangat tega sekali, orang itu membunuh orang tuanya dan keluarga yang lainnya mengasingkan Alice.
Tunggu.
"Di asingkan?"
Kata di asingkan begitu mengganjal.
***
Alice bersandar di bahu Galins, di depannya ada layar laptop yang menayangkan sebuah drama yang sangat ia gemari dari Negeri gingseng. Sebuah drama yang menceritakan tentang seorang perempuan yang harus masuk ke Negara yang ketat akibat kecelakaan paralayang yang di akibatkan oleh angin tornado. Bahkan, beberapa kali Alice meneteskan air matanya.
Sementara Galins, dia juga melakukan hal yang sama menonton sembari terus memakan cemilan yang berada ditangan Alice. Kalau saja, di dalam cerita itu tidak ada perdebatan yang berujung kematian. Galins, tak akan pernah menontonnya.
Keadaan diluar juga sedang turun salju, membuat mereka semakin menikmati film dan romantisme itu. Kedekatan keduanya, seperti sudah lama kenal.
"Galins, apa keadaan di kota masih sama? Hmm maksudku, apa banyak berubah?" tanya Alice sembari mendongak menatap Galins, saat film telah selesai ia tonton.
Galins tertegun mendengar pertanyaan itu, sebenarnya Galins tahu kalau pertanyaan Alice lebih ke keinginan jika dirinya ingin pergi ke kota. Ya, Alice pasti merindukan suasana kota. Lagi, mungkin juga Alice ketakutan tinggal di hutan sendirian.
"Hmmm, ya masih sama. Kenapa? Kau merindukan nya? Aku akan membawamu ke kota, suatu saat nanti." jawab Galins sembari mencium lembut bibir Alice lalu melepaskannya dengan lembut juga. Hal itu mampu membuat pipi Alice merona, dan melupakan soal keinginannya yang ingin pergi ke Kota. Karena setelah itu, Galins mencium bibirnya kembali, bahkan melumatnya.
***
"Bryan, apa kamu benar-benar sudah berubah?" tanya Kea, mereka kini sedang berada di kamar Kea. Sedang duduk berdua.
Bryan mengangguk, "Maafkan aku, Kea. Aku menyayangimu lebih dari saudara, tapi marga kita sama, pasti akan sulit sekali untuk kita bersatu." jawab Bryan, membuat Kea menunduk.
Kata-kata Bryan, memang tidak salah.
"Aku akan berjuang, Kea. Tapi untuk saat ini kita berhubungan seperti biasa saja. Biarkan takdir yang menjawab ini semua" jawab Bryan, membuat Kea mendongak lalu memaksakan untuk tersenyum.
Nyatanya, satu tetes bulir air mata Kea jatuh. Membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Bryan tersenyum kecil, mencoba menguatkan dan menghapus air mata itu dengan ibu jarinya.
"Sudahlah, berjuang itu adalah urusanmu. Kau hanya boleh menikmati hasilnya saja, aku yakin pasti akan bahagia." ujar Bryan. Membuat Kea mengangguk setuju.
"Aku akan bermain gitar. Kau ingin aku bernyanyi?" tanya Bryan.
Kea segera menatap Bryan. Lalu mengangguk antusias.
"Tentu saja Bryan. Aku menginginkan kau bernyanyi dan bermain gitar." jawab Kea.
Bryan segera berdiri dari duduknya. Dia mengambil gitar milik Kea dan segera memtiknya. Menyanyikan sebuah lagu romantis, di malam yang dingin.
Sungguh romantis sekali mereka. Semoga kebahagiaan berada di pihak mereka.
Tanpa mereka sadari, Lian mendengarkan mereka berbicara sedari tadi. Tidak ingin terlalu mencampuri, Lian segera pergi ke kamarnya. Ia yakin Bryan tak akan macam-macam pada Kea.
Lian, mendengar kabar dari orang yang menjaga CCTV, kalau Kea hampir tenggelam di kolam renang. Mendengar kabat itu, Lian segera menanyakan di mana anaknya sekarang. Dan orang yang berada di belakang CCTV memberitahukan bahwa Kea di bawa Tuan Bryan ke kamar dan dia juga yang menyelamatkannya.
Bryan dapat menghela nafas, dia segera bergegas ke kamar yang di tempati oleh Kea seorang diri. Di pertengahan jalan dia tak sengaja, bertemu dengan salah satu maid.
"Tuan." ujar salah satu maid sambil menunduk.
Lian mengangguk, "Apa kau habis dari kamar Keana?" tanya Lian.
Maid itu mengangguk, tapi masih menunduk. "Betul Tuan, saya habis membawakan s**u hangat hangan untuk Tuan Bryan dan Nona Keana. Saya juga telah menggantikan Nona Kea pakaian. Sekarang mereka sedang berada di kamar." jawab maid itu.
Lian mengangguk, lalu segera bergegas ke kamar untuk melihat kondisi putrinya.
Saat dia telah membuka pintu, dia segera berjalan ke arah Kea dan Bryan yang tengah tidur sambil berpelukan.
Kea di dalam selimut, sementara Bryan di luar. Lian tersenyum tipis. Lalu, segera menyentuh kening anaknya untuk memastikan jika dia tak demam.
"Memikirkan apa, hmm?" tanya Lisha. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Lian sedang melamun di atas ranjang mereka.
Lian segera menoleh, lalu menggeleng pelan. Dia menarik tangan Lisha agar berada di dalam pelukannya.
"Aku sedang memikirkanmu." jawab Lian, membuat Lisha segera mencubit pelan perut suaminya.
Lian segera mencium bibir Lisha, dan di sambut oleh Lisha. Ciuman itu semakin panas, Lian menggiring Lisha, agar meraskan kenikmatan lagi dan lagi.