5. Darwin?

2028 Words
Galins dan Lian sedang berada didalam mobil dengan salah satu supir rumahnya. Revano masih bekerja dengan Lian, akan tetapi hanya akan bekerja dikantor saja. Tidak bekerja dua puluh empat jam seperti dulu lagi. Dan Lian memaklumi hal itu. Revano juga butuh waktu berkumpul bersama keluarganya, karena dia pun merasakannya sendiri kalau keluarga adalah tempat berkumpul ternyaman. Mengingat jika dia dulunya, tidak mempunyai keluarga harmonis seperti apa yang tengah ia bangun dengan Lisha. Di dalam mobil tidak ada percakapan sama sekali, Lian sibuk dengan laptopnya sementara Galins sibuk menatap jalanan di luar mobil yang lenggang, dan tertutup salju. Namun, tak banyak, karena salju belum turun terlalu deras. "Dad, besok libur kan tidak akan bekerja?" tanya Galins, membuat Lian mengangguk pelan. "Yes son, ada apa? Apa kau mau sesuatu?" tanya Lian, Galins segera menggeleng. Daddy-nya ini sering kali memanjakannya, itulah yang membuat dirinya sendiri lemah terhadap kedua orangtuanya. Akhirnya setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mereka sampai juga di kantor. Hari ini adalah hari terakhir dia dan karyawannya bekerja. Lian dan juga Galins menjadi pandangan setiap karyawan yang ada di kantor. Galins terlihat sangat berwibawa dan tampan seperti Lian, meskipun dia tidak memakai baju formal. Garis ketampanan yang Lian miliki diturunkan pada Galins, jika dilihat mereka seperti kakak beradik. Padahal kenyataannya mereka ini adalah daddy bersama anak laki-lakinya. *** Galins segera duduk di sofa yang ada di ruangan Lian. "Dad, jika aku bertanya tidak akan mengganggumu, kan?" ujar Galins, membuat Lian yang baru saja duduk di kursinya dan membuka laptop segera menoleh ke arah tunggal-putranya. "Tidak, bertanyalah sepertinya itu sangat penting. Kau menahannya sedari tadi." Galins tersenyum lalu mengangguk, "Semalam aku bertemu dengan seorang wanita di dalam hutan. Dia memiliki rumah disana... Tapi dad, dia hanya tinggal sendiri, aku semalam menginap di tempatnya. Aku berani bersumpah tidak melakukan hal yang aneh kok dad," jelas Galins, membuat Lian terkekeh. Karena mendapati perkataan Galins yang menurutnya sangat lucu di akhir kalimatnya. Padahal Lian begitu mengetahui, jika Galins pernah ke hotel membawa beberapa wanita. "Berhentilah bermain-main dengan wanita son, daddy mengetahui jika kau pernah check in hotel dan membawa beberapa wanita ke sana. Kau tidak usah bermain-main seperti itu lagi. Nanti juga setelah menikah, kau akan merasakan yang lebih dari itu. Apa kau tidak takut terkena virus? Dan nanti akibatnya fatal, Hmm?" nasihat Lian, Galins menelan susah payah salivanya. Perkiraannya salah, ia kira daddy nya tidak akan mengetahui perihal ini, mengingat jika dia sembunyi-sembunyi dari daddy nya. Permainan nya kurang rapi ternyata, tetapi kali ini Galins tak akan bermain dengan wanita lagi. Selain Alice. Ya, nanti saat waktunya telah tiba. Benar apa kata daddy-Nya "Baik dad, Galins berjanji tidak akan seperti itu lagi. Lagi pula sudah beberapa bulan ini aku tidak berkencan dengan wanita. Kau pasti tahu, aku hanya memilih wanita yang mahal." jawab Galins, pembelaan diri sekali dia. "Ya daddy percaya, lalu? Apa kau mau menikahi wanita itu? Alice? Sepertinya kau sangat menyukainya." "Bagaimana dad tahu? Aku juga berpikir seperti itu? Apa tak apa-apa jika aku menikah muda?" tanya Galins. Lian terkekeh pelan, "Kau adalah daddy. Jiplakan semuanya dari daddy, bukannya dari dulu kita selalu mempunyai takdir yang hampir sama, son. Sebelum kau merasakannya, aku sudah mengalaminya terlebih dahulu. Sampai akhirnya mom mu menjadi istriku." jawab Lian. "Menikah muda? Tidak buruk sepertinya asal kau dapat bertanggungjawab, dalam artian siap menghadapi wanita." sambung Lian. Galins mengangguk mengerti, "Sepertinya iya dad, tapi bukan sekarang. Kali ini aku hanya ingin bertanya apa dad kenal dengan Mr. Darwin? Pasti daddy mengenalnya kan?" Seketika mendengar nama Mr. Darwin, Lian segera menghentikkan pekerjaannya dan beralih menatap Galins dengan lekat. "Maksudmu? Yang telah meninggal karena perampokan itu? Jangan bilang dia anaknya." "Ya daddy benar, dia anaknya. Dia sangat kekusahan dad disana. Bahkan makanpun sangat susah, dia bekerja keras demi kelangsungan hidupnya." jelas Galins, membuat Lian terdiam. "Mr. Darwin adalah rekan kerja daddy. Dia baik. Akan tetapi, keluarganya tidak." jawab Lian. Lian nampak berpikir, dia sepertinya tahu sesuatu tentang keluarga Darwin. Hal itu membuat Galins tak sabar menunggu jawaban selanjutnya dari daddy nya. "Apa daddy mengetahui sesuatu?" tanya Galins kembali, karena daddy nya tak kunjung menjawab. "Yes son. Daddy sangat mengetahuinya." "Lalu apa yang harus aku lakukan, Dad?" "Apa kau benar-benar menyukai wanita itu? Atau hanya sekedar obsesi saja?" tanya Lian, "Son, Kalau kau tidak benar-benar mencintainya tinggalkan dia, karena dia itu berbahaya dan juga dapat membahayakanmu. Tetapi, jika kau benar-benar mencintai dan ingin melindunginya, perjuangankanlah. Daddy akan membantumu dalam hal apapun. Pikirkan baik-baik, keluarga Darwin bukanlah orang sembarang, kebanyakan dari mereka terkenal dengan kelicikannya. Ya, bahkan daddy mengetahui liciknya mereka itu seperti apa. Sampai-sampai Mr. Darwin meninggal dunia." sambung Lian, membuat Galins terdiam, dia speechless. Tak perlu merenungi ini terlalu dalam, karena ia sudah yakin dengan keputusannya. Dirinya akan membawa Alice ke dalam kehidupan dan keluarganya. Dia akan mengubah marga Alice menjadi Nyonya William. Seperti mommy-nya, Lisha. "Aku tidak takut dad dengan bahaya itu, aku akan memperjuangkannya. Jadi, apa Mr. Darwin di bunuh?" jawab Galins, Lian tersenyum lalu menggeleng kepalanya pelan, bahkan sangat pelan. "Ingat satu hal, jangan percaya pada siapapun selain pada diri sendiri. Mendiang kakekmu dulu pernah bilang, 'Hidup itu layaknya potongan Puzzle' " ujar Lian. Galins mengangguk, "Dan aku harus mengumpulkannya satu persatu, seperti apa yang telah dad lakukan dulu dengan mommy." "Ya, kau benar son." "Dad, tapi kenapa tidak ada yang mencari Alice?" Galins bingung. "Karena politik, kau akan mengerti suatu saat nanti, son. Sekarang ayo bantu daddy mengerjakan ini. Daddy sebentar lagi ada meeting, sesi tanya jawab hari ini kita akhiri dulu." ujar Lian, membuat Galins mengangguk. Galins mulai duduk disamping Lian, membantu sedikit demi sedikit pekerjaan daddy nya seperti apa yang sudah Lian ajarkan jauh-jauh hari. "Dad meeting dulu, kau kerjakan ini semua." ujar Lian, membuat Galins mengangguk setuju. Lian segera melangkahkan kakinya keluar, untuk pergi ke ruangan meeting. *** "Zea, dimana Galins? Kenapa tidak masuk kuliah?" tanya Sean pada Zea. Mereka semua kini tengah berkumpul dikantin setelah menyelesaikan jam mata pelajarannya. "Ikut bersama daddy, kerja." jawab Zea singkat. Dia kembali memakan makanannya dengan lahap. Sementara Kea hanya diam saja, dia merasa canggung setiap dekat dengan Bryan. Entahlah. "Ze, bagaimana dengan Alzy? Bukankah kabarnya dia terbunuh oleh Galins, kakakmu." Zea mendengus kesal menatap kearah Stella yang notabene adalah anak dari aunty Pricillian dan uncle Victor. "Tidak usah, bertanya itu padaku. Tanya saja sana kepada para pria." Zea kesal. Pasalnya, Alzy adalah laki-laki yang berkhianat. Untung saja, dia tak sempat memberikan keperawanannya pada Alzy. "Oh baiklah-baiklah. Aku mempunyai mangsa baru, dia adalah orang yang telah berselingkuh bersama Alzy. Sudah di markas juga, ayo kita kesana?" ajak Esme. Zea tersenyum sinis, "Wow ternyata bakat meng-hacker aunty Emelly turun pada ponakannya. Hebat sekali kau Esme." jawab Zea. Membuat Esme tersenyum bangga. "Yasudah, siapa yang akan ikut bersamaku?" tanya Esme. "Biar aku saja yang menentukan, Esme." jawab Zea. "Aku, Esme, Stella, Sean, Andreas. Kau ikut denganku. Sementara yang lainnya, jaga adikku dengan baik. Ok." jawab Zea. Sebelum Bryan protes Zea terlebih dulu pergi disusul oleh yang barusan namanya ia sebut. Percuma saja menyangkal, Bryan tidak akan pernah menang melawan saudarinya, Zea. Dan sekarang dia harus berhadapan dengan Kea? Kea semakin canggung, pipinya semakin memerah kala Zea berbicara seperti itu. Kini yang tersisa disana hanyalah Kenzie, Brayn, Rora dan juga Kea. "Jadi sekarang kau mau kemana? Atau ada rencana lain?" tanya Kenzie memulai pembicaraan. Kea menggeleng, sementara Rora begitu antusias. "Aku ingin pergi ke bukit, sekarang juga. Ya kak?" pinta Rora dengan melas dengan memasang wajah puppy eyes. Berhubung Kenzie tidak ada kegiatan lain, akhirnya dia mengiyakan saja. Dan dengan sangat terpaksa Bryan ikut bersama mereka dia tak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Selama diperjalanan, hanya suara celoteh Rora saja yang ada dalam mobil, Kea maupun Bryan memilih untuk bungkam. Kea juga sempat berpikir, berapa lama dirinya akan seperti ini dengan Bryan. "Ternyata rasanya di cintai tanpa mencintai itu seperti ini?" ujar batin Kea. Hanya memerlukan tiga puluh menit perjalanan mereka berempat sudah sampai ke puncak. Keadaan puncak tidak terlalu ramai, karena jam menunjukkan pukul satu siang. Untung saja ini bukanlah musim kemarau. Jadi tidak panas. Namun ini adalah musim salju, tetapi tidak turun lagi, setelah semalam. "Kea, kenapa tidak bersemangat? Kau tidak menyukai ini ya?" tanya Rora, dia mengerucutkan bibirnya seolah-olah dia juga ikut bersedih. "Tidak Rora, aku hanya sedang memikirkan pemandangan apa yang akan ku lukis nanti saat dirumah." jawab Kea, dia mencoba untuk tersenyum. Kenzie dan Bryan hanya diam saja, dia lebih memilih untuk menikmati angin yang berhembus lumayan kencang. Mereka jarang sekali menikmati hal seperti ini. "Kak, temani aku kesana yuk. Kita berfoto, apa kau mau ikut Kea?" tanya Rora kembali, membuat Kenzi mengangguk, sementara Rora menggeleng. "Bersenang-senanglah dengan kak Kenzie Rora. Aku disini saja." jawab Kea, membuat Zea menganggukkan kepalanya. Setelah Rora dan Kenzie menjauh, Kea juga ikut melangkahkan kakinya. Namun, berbeda arah. Pergerakan Kea tak pernah Bryan lewatkan sedikitpun. Bryan mencoba tidak akan peduli pada Kea, sebelum semuanya menjadi rumit, lebih baik ia menghentikan rasa baru yang akan datang. Kea adalah saudarinya, sangat tidak mungkin dirinya bersatu dengan Kea. Kea tersenyum dalam sedihnya, dia menatap pemandangan laut dari atas bukit dengan pandangan takjub. Sepertinya, dia harus sering-sering berlibur seperti ini. Sampai rumah dia akan mengajak kedua orang tuanya untuk berlibur diatas kapal pesiar, mungkin akan menyenangkan, pikir Kea. Pikiran itu tiba-tiba sirna, saat dia tak sengaja mengingat nama Bryan di otaknya. Dia kembali memasang wajah sedih, dan meratapi kisah asmaranya. Kenapa juga dirinya harus menyukai Bryan. Sebelum, hal itu terjadi hubungan keduanya begitu hangat dan akrab. Namun, sekarang jangankan seperti itu saling sapa pun bisa dihitung oleh jari saking jarangnya. Di dalam sedihnya dia jadi teringat kata-kata daddy nya 'Jangan sesali apapun yang terjadi, semuanya pasti ada alasan, jangan kau biarkan hidup ini penuh dengan penyesalan"' Ya, dan harusnya Kea berpikir. Kejadian itu bukanlah kebetulan, dia yakin suatu saat nanti akan ada kebahagiaan setelah kesedihan, dia tidak harus menyesali kejadian yang sudah berlalu. "Kea ayo pulang." ujar Rora. Kea segera berbalik arah dan mengangguk. "Ayo," Setidaknya dengan bukit ini, membuat hati Kea merasa lebih tenang. Biarlah, rasa sayang, cinta, dan sakit ia telan sendiri. Dia tidak harus membaginya pada siapapun itu. Didalam perjalanan pulang, Bryan memutuskan untuk duduk dibelakang bersama Kea, sedangkan yang mengendarai mobil adalah Kenzie dan di sampingnya ada Rora. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah Lian dan juga Lisha, jadi jarak tempuh akan bertambah sekitar dua puluh menit. Sedari tadi, Kea bergerak tak nyaman. Karena di sampingnya ada Bryan yang tengah duduk sambil kepalanya bersandar di bahunya. Kenzie dan Rora tak merasa risih, karena mereka sudah terbiasa seperti itu. Hatinya jadi tak karuan, tumben sekali Bryan seperti ini padanya. Apakah Bryan mulai membalas perasaannya? "Maaf," bisik Bryan tepat ditelinga Kea, membuat tubuh Kea menegang. Disini pertahanan Bryan juga runtuh, dia tak bisa menahan lagi semua perasaannya. "Kenapa tidak dijawab? Masih kesal padaku, hmm?" tanya Bryan kembali dengan nada berbisik. Kea segera menggeleng, "Ya tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu di maafkan." jawab Kea. Membuat Bryan tersenyum simpul. Bryan memeluk Kea dari samping, kepalanya ia taruh di bahu Kea. Lagi-lagi hal itu membuat Kea menegang. Dan... Kea bahagia. "Aku dingin, ini sangat dingin." ujar Rora. "Ya, kau benar. Perkiraan nanti malam akan ada badai salju." jawab Kenzie. "Oh ya? Wah aku akan pergi keluar untuk melihatnya." jawab Rora, membuat Kenzie memutar bola matanya jengah. Kenzi segera membuka jaketnya, lalu memberikannya pada Rora. Dia tak ingin adiknya membeku, bahkan nada bicara Rora saja sudah bergetar. Padahal jauh dalam lubuk hatinya, dia juga kedinginan. "Thank you, kakak." ujar Rora, Kenzie mengangguk pelan. Rora segera memakai jaket tebal itu, lalu memeluk kakaknya dengan erat. "Aku tahu kau juga sedang kedinginan. Jadi, aku akan memelukmu erat. Semoga saja kau menjadi hangat." ucap Rora, membuat Kenzie terkekeh. Di sela menyetirnya dia mengecup puncak kepala adiknya dengan sayang. Hal itu tak luput dari penglihatan Kea. Perhatian Kenzie tak jauh seperti kakaknya. Apakah Kea juga terlihat manis seperti mereka saat bersama Galins di penglihatan orang lain? Ah baru Kea sadari setelah keadaan hatinya membaik. Kalau dirinya begitu merindukan Galins. Sampai di rumah dia akan memeluk kakaknya, dan meminta Galins untuk tidur bersamanya. Pasti, Galins akan bersikap itu seperti itu juga padanya. Semoga ini bukan mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD