10. Nightmare

2054 Words
Rapat masih berlanjut setelah, perdebatan sehat antara mereka sedari tadi menjadi acuan utama. Ya, Galins mengumpulkan mereka karena ingin mereka memberikan saran padanya. "Ada satu hal yang harus ku ceritakan." Lian memasang wajah serius, semua orang mengerutkan keningnya, kecuali anak dan istrinya. "Anakku, Zea." Lian menggantung ucapanya. "Dia membunuh Anggel Darwin." sambung Lian. Semua orang terdiam, karena terkejut sampai satu suara mengalihkan semuanya. "Wow, kau hebat Zea." ujar Arabella, semua menatap ke arah Arabella dengan tatapan berbeda-beda. "Dear, hebat dari mananya?" tanya Zayn, "Bukankah itu berarti, kita akan berperang kembali?" sambung Zayn. "Benar kak, apa kau mau membantuku?" tanya Lisha, memandang Zayn penuh harap. Zayn tersenyum kecil, "Kau masih adik kecilku yang manja." jawab Zayn, membuat Lisha tersenyum penuh binar. Sedari dulu, kakaknya masih memperlakukan dirinya sama meskipun dia sudah mempunyai anak dan istri. Kasih sayang dan perhatian kerap kali Lisha dapatkan dari kakak satu-satunya itu. "Ralat bukan hanya kau Zayn, tapi kita." jawab Victor. Lian mengembangkan senyumnya, tak terkecuali Zea. "Kita akan berperang? Ah sepertinya seru." kini Aurora lah yang berbicara. "Seru darimana Rora! Apa kau tahu ini pasti akan sangat membosankan dan menjijikkan." jawab Kea. "Baiklah, kalau begitu kau tak perlu ikut Kea" Esme yang menjawab, "Kita bisa menjadi penembak jitu dari kejauhan." sambungnya kembali. "Dan kau masih bisa menyelesaikan lukisanmu sambil berperang." perkataan Kenzie selanjutnya mengundang tawa. Kea berdecak kesal, melayangkan handphone ke arah kepala Kenzie yang persis berada di bangku depannya, Kenzie yang tak siap menerima seranganpun meringis kecil. "Mana bisa, aku membiarkan saudara kembarku celaka." jawab Kea, "Meskipun kau menyusahkan, aku masih sayang padamu, Zea." Tawa semakin pecah, bahkan kini Lian pun terkekeh mendengar jawaban putri bungsunya. "Kau menyebalkan. Kea" "Tetapi kali ini, aku akan memelukmu." Zea yang berada di samping adik kembarnya, segera memeluk Kea dengan erat. Suasana semakin hangat karena kedekatan mereka. "Lepaskan Zea!" ujar Kea menegaskan. Seperti biasa, Kea akan memasang wajah masam jika di peluk oleh kembarannya karena Zea selalu memeluk dirinya seolah-olah Zea gemas padanya. "Tenagamu bukan sainganku, bisakah kau memelukku lebih lembut hah!" kesal Zea. Hal itu membuat semua orang yang ada di sana tertawa. "Lalu, rencana selanjutnya apa?" tanya Reza, yang sedari tadi diam. "Aku akan membawa Alice kemari," jawab Galins. Semua mata memandang ke arah Galins. "You crazy, kak!" teriak Zea refleks. Galins menggeleng kepalanya, "this is my love story, i am attracted to it and love it." "Are you sure, son?" bersedekap d**a, memandang pamannya dengan seksama. "Ya tentu saja, uncle." jawab Galins. Zayn mengangguk, "Dia tak bisa tinggal di rumah kita." "Kenapa tidak tinggal disini saja?" tanya Reza. Lagi, semua mata memandang ke arah suara. Lian memandang Reza, adiknya dengan seksama. Yang di katakan Reza ada benarnya. Namun, juga ada salahnya. Rumah X sangat aman, jauh dari jangkauan dan juga orang lain tak mengira ini adalah markas besar. Jalan satu-satunya untuk menyembunyikan Alice, adalah di sini. "Kau benar." jawab Lian. "Jadi, kapan kau akan membawa Alice kemari?" "Tepat malam natal, karena aku yakin di malam natal tak akan ada orang yang berkeliaran. "Bagaimana jika badai salju turun lagi?" tanya Lisha, memandang khawatir pada putranya. "Mom, tenanglah." "Aku akan menjaga diri baik-baik, aku juga tak akan sendiri." sambung Galins kembali. Sampai Lisha menghela nafas, barulah Galins bisa tersenyum. "Baiklah, masih ada waktu dua hari lagi." jawab Lisha. Galins mengangguk, tersenyum ke arah mommy nya. "Oke, rapat kali ini kita bubarkan saja. Ayo kita ke ruang bawah, berkumpul di sana." ujar Lian, mereka semua mengangguk lalu mulai meninggalkan ruangan satu persatu. *** Bryan sedang berada di ruangan santai, dia tengah memandang hutan yang berada di belakang rumah X yang hanya tertutupi oleh sekat kaca. Dia menaikkan satu kakinya ke atas meja, di sebelah mejanya ada wine yang dapat menghangatkan tubuhnya. Memandang ruang belakang, nampak banyak pohon-pohon yang hampir tertutup dengan salju. Dia tersenyum miris melihat itu, mengingat tentang salju, dia jadi teringat dengan Alice-wanita yang masih ia cintai, bahkan sebelum bisa mengungkapkan perasaannya Alice sudah terambil oleh orang lain. Tentu saja, Galins bukan saingannya. Dia akan mengalah untuk sepupunya, masalah wanita tak akan membuat kekeluarga yang harmonis terpecah belah, Bryan masih waras jika dia harus bertengkar dengan Galins. "Hai, sedang apa?" tiba-tiba saja, Bryan menghentikan lamunannya. Dia segera menoleh ke arah leher yang terliliti oleh tangan mungil. "Kau harus memakai baju hangat, Kea." Bryan segera menarik tangan Kea untuk duduk di depannya, setelah dia menarik kakinya agar tak seperti tadi lagi. "Tidak mau, karena ada kau yang akan memelukku." Bryan terkekeh kecil, dia memeluk tubuh Kea yang jauh menurutnya mungil. Dagunya ia tempelkan di leher Kea. "Kenapa tak kumpul bersama yang lain, hmm?" tanya Bryan. "Aku mencarimu." jawab Kea, dia mengelus tangan Bryan yang berada di perutnya. "Lalu, apa alasanmu tidak memakai baju hangat? Apa kau mau modus padaku, heh?" tanya Bryan. Kea terkekeh kecil, "Aku baru saja bertengkar dengan Zea. Dia menumpahkan minuman di jaketku, sementara aku berhasil berhasil membawa permen kesukaannya, lihatlah Bryan!" Kea memperlihatkan permen yupi yang berada di tangannya. Bryan terkekeh, "Kau jahil sekali, dear." Menggeleng pelan, lalu dia segera menaruh permen itu di atas meja, yang berada tepat di sampingnya. "Tidak Bryan, aku menolong Zea." jawab Kea, "Dia tak boleh memakan permen di saat musim dingin seperti ini, akan sangat berbahaya untuk giginya bukan?" Bryan mengangguk, dia menyenderkan kepalanya di sofa, membawa kepala Kea untuk bersandar di dadanya, sedangkan tangannya masih meliliti perut ramping Kea. Jika sudah seperti ini, haruskah Bryan masih memikirkan Alice? Sudah jelas ada wanita lain yang mengharapkan cintanya, tinggal meyakinkan hatinya untuk berlabuh pada Kea lalu meminta restu orang tuanya, meskipun sedikit kemungkinan hubungannya dengan Kea akan di setujui. "Dingin," lirih Kea. Bryan memanggil salah satu maid lewat sesuatu berbentuk seperti remote yang memang di sediakan, dia menyuruh agar maid itu membawakan satu gelas cokelat panas dan menyalakan perapian. Jika saja, Bryan memakai jaket atau blazer mungkin sudah ia pakaikan di bahu Kea. Dia hanya memakai sweater berwarna putih dengan celana casual dan kaos kaki berwarna hitam senada dengan celananya. "Hangat?" tanya Bryan, begitu lembut di pendengaran Kea. Mengangguk, dia mengubah duduknya menjadi berhadapan dengan Bryan. Menurunkan sofa bed agar posisinya nyaman. Setelah itu, ia tidur di atas tubuh Bryan, menenggelamkan kepalanya di leher Bryan, sedangkan Bryan memeluk pinggang Kea. "Ya, aku hangat seperti ini." jawab Kea, membuat Bryan tersenyum. Badannya yang setengah berbaring, sambil menopang tubuh Kea, membuatnya masih bisa menikmati pemandangan yang berada di luar. Tak lama kemudian, dua orang maid datang, untuk melaksanakan apa yang Bryan perintahkan. "Kenapa aku tak boleh meminum alkohol itu." tanya Kea, tangannya menunjuk ke arah botol di atas meja. Bryan menggeleng. "Suatu saat nanti, kau boleh mencicipinya" jawabnya. "Ya, kau salah Bryan, aku pernah merasakan wine itu dari Zea. Rasanya lumayan juga, tapi sebagai perbandingan, kau benar, cokelat panas lebih enak menurutku." jawaban Kea, membuat Bryan terkekeh. Tanpa sadar, dia mencium wajah Kea dengan gemas. Tiba-tiba saja, dia mendengar suara ribut dari arah luar sana. Bryan tak menghiraukannya, paling juga para sepupu-sepupunya yang akan menuju kesini, mengingat jika ruangan yang mereka tempati ini adalah ruangan pavorit keluarga, karena view nya yang bagus. "Pakailah!" suruh Emely, dia membawakan dua blazer berwarna hitam dan gray. Bryan mengangguk, mengambil kedua blazer itu dari tangan mommy-Nya. Emely duduk di sofa lain, bersama yang lainnya. Tak lama kemudian, datanglah Zea yang di gendong oleh Lian dari depan. Bryan menghela nafas pelannya, ingin sekali melepaskan pelukan ini, karena tak enak pada Lian, ia yakin pamannya mengetahui hubungannya bersama Kea. Tetapi, dia juga tak ingin mengganggu kenyamanan Kea. Ruangan sudah penuh, ada yang duduk di sofa ada juga yang duduk di karpet tebal di bawah. Bryan tersenyum, moment seperti inilah yang sangat ia rindukan dan inginkan untuk selamanya. Jadi, bagaimana mungkin Bryan memiliki alasan untuk tak mengalah pada Galins. Satu bantal melayang, membuat Bryan meringis kecil. Pemilik bantal barusan yang adalah Kenzie. "Modus sekali, kau." ujar Kenzie, Bryan mengedikkan bahunya acuh, dia sampai lupa dengan blazer karena pikirannya. Bryan menaruh blazer di atas punggung Kea, menjadikannya selimut, sebelah tangannya menjadi bantal untuk dirinya sendiri sedangkan tangan lainnya masih memeluk pinggang Kea. "Bryan, apa kau tak ingin melepaskan Kea?" tanya Reza, daddy nya. "Lihatlah, daddy nya." sambungnya kembali. Bryan melihat ke arah Lian, "Dia tertidur." jawab Bryan. Lian mengangguk, "Tidak apa-apa, kalian kan saudara." Seakan menyinyir dengan statusnya dan Kea, hati Bryan merasa tertampar dengan perkataan uncle-Nya yang mengingatkan kalau mereka berdua adalah saudara. Benar rasa ini tak seharusnya ada, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dan Kea adalah saudara biologis. Bryan tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Benar! Tak apa-apa, kan?" Bryan malah balik bertanya. Sebenarnya, Lian sudah tahu hubungan antara anak dan keponakannya, Bryan. Tetapi, dia tak tahu harus melakukan apa, mencegahnya secara langsung bukanlah hal yang baik. Lian tak mau menyakiti hati anaknya, jadi biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Dia pasrahkan pada Kea dan Bryan, tak seharusnya dirinya ikut campur terlalu dalam. Akan tetapi, apa salahnya bukan sekedar mengingatkan? "Wow, aku akan memakan ini." ujar Aurora, dia segera mengambil yupi milik Zea, membukanya dan memakannya. Zea yang masih berada di gendongan Lian, segera beranjak. Zea berjalan ke arah meja dan menemukan yupi nya yang banyak. Tersenyum, lalu mulai mengambil satu persatu yupi itu ke tangannya sampai tersisa tiga. "Ini buatmu, Rora." ujar Zea, dia segera melangkahkan kakinya ke arah Galins, bersandar pada kakak laki-lakinya. "Hanya tiga? Sedangkan kau banyak." Zea mengangguk, "Kau tak boleh terlalu banyak memakan ini, nanti gigimu sakit." jawab Zea, membuat Rora berdecak kesal. "Kau sendiri bagaimana, Zea!" jawab Rora, nadanya terdengar tak suka. "Aku tak akan kenapa-napa." Galins terkekeh kecil, dia mengelus rambut adiknya dengan lembut. "Kau tahu? Kau juga tak boleh memakannya dengan banyak." Galins mengambil yupi dari tangan Zea, memasukkannya pada saku blazer yang Zea pakai dan dia menyisakan dua yupi untuk di makan sekarang. "Makanlah nanti lagi," ujar Galins. Zea tersenyum, mencium pipi kakaknya membuat semua orang yang melihat kelakuan mereka berdua tersenyum hangat. Sementara Rora masih mengerucutkan bibirnya kesal, "Tunggu saja pembalasanku, Zea." ujar Rora. "Saat Kea bangun, aku akan mengambil semua yupi mu bersama Kea." sambungnya kembali. "Stela dan Esme berada di pihakku." jawabnya, membuat semua orang yang berada di sana menggelengkan kepalanya. "Dad!" seru Rora, pada Zayn. Zayn yang tengah menikmati cokelat hangat pun segera menoleh ke arah putrinya, "Why baby girl? Kau mau yupi, berapa banyak?" ujar dan tanya Zayn. Saat Rora akan menjawabnya, tiba-tiba saja terpotong dengan suara lain. "Tidak! Daddy!" teriak Kea, matanya masih terpejam. Semua mata melihat ke arah Kea, yang pasti tengah bermimpi buruk. "Daddy, to-tolong." "Ge... gelap!" teriak Kea, bahkan keningnya sudah mengeluarkan keringat. Lian yang panik segera menghampiri anaknya. "Tenanglah, Kea." Bryan menenangkan Kea. "Aahhhhhh, tidak!" Kea, segera bangun dari tidurnya, dia mengusap wajahnya. Beberapa detik kemudian, ada tangan yang memeluknya. "Da...daddy." Kea menangis, dia menenggelamkan kepalanya di d**a Lian sedalam-dalamnya. "Tenanglah, kau hanya mimpi buruk dear." ujar Lian. Kea menggeleng, "Tapi, itu terasa nyata." jawabnya, air matanya tak bisa ia bendung lagi. Lian mengangkat tubuh Kea, dan membawanya ke arah Lisha. "Tak apa sayang, kau aman." ujar Lisha, dia mengelus puncak kepala Kea dan menciumnya. Namun Kea, masih betah berada di pelukan Lian. Menurutnya pelukan daddy dan mommy nya sangatlah menenangkan. "Kau juga aman bersamaku." ujar Zea, dia segera berjalan dan memeluk Kea, dia duduk di paha Lian dan ikut memeluk daddy nya. "Kau akan aman bersama kita, little girl" ujar Victor, semua orang mengangguk. Kea mendongak, "A-aku bermimpi sangat buruk sekali. Aku di culik bersama seseorang dan tak tahu dimana dan siapa orang itu." lirih Kea, dia menatap Lian dengan sisa-sisa air matanya. "Kau aman.. kau aman." jawab Lian. "Tak akan ada orang yang berani menculikmu." sambungnya kembali, membuat Kea memeluk daddy nya lebih erat. "Ta-tapi..hampir semua mimpi burukku selalu menjadi kenyataan." jawabnya, masih dalam keadaan terisak. "Tapi saat penculikan dulu, buktinya kau selamat kan?" tanya Lian. "Ta-tap~" "Kau aman, dulu aku masih kecil juga belum bisa menyelematkanmu. Sekarang, jika ada hal buruk menimpamu, aku akan selalu menjagamu." perkataan Kea, dipotong oleh Galins, kakaknya. Kea menunduk, menyembunyikan air matanya. Kejadian pasca dulu dia di culik saja, trauma dalam hidupnya belum hilang. Dia hanya mampu berdoa, dirinya dan keluarga yang lain tak kenapa-napa. Lian tersenyum, dia masih dalam keadaan memeluk kedua putrinya. Di sampingnya masih ada Lisha, yang mencoba menenangkan Kea, lewat usapan lembut. "Semoga, itu hanyalah mimpi dan tak pernah menjadi kenyataan." lirih Lian dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD