Jam 5 sore Moondy menjemputku. Seperti biasanya, karyawankulah yang mengurus butik sampai jam kerja selesai nanti.
"Sayang, kamu mau bulan madu kemana ?" Tanya Moondy.
"Bulan madu ? Kita rundingin aja sama Pelangi juga nanti ya ?" Jawabku.
"Kok Pelangi sih ? Kan aku ngajaknya kamu, kita yang bulan madu."
"Sayang, Pelangi juga istrimu. Kalau kamu mau mengajakku bulan madu, ajaklah dia juga. Dia juga belum pernah merasakan manisnya madu pernikahan denganmu."
"Mana bisa ? Enggaklah. Gak mungkin juga aku bercinta dengan dia selama ada kamu."
"Yaudah kalau gitu nggak usah. Dirumah kan juga bisa kalau cuma mau bercinta kan ?"
"Hmmmm ...... "
Aku tersenyum melihat sikap Moondy. Aku tau dia pasti marah karena sikapku. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan orang tuaku bahwa aku tidak akan memperlakukan Pelangi dengan tidak adil. Aku akan menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku mencoba berdamai dengan hatiku sendiri. Aku harus bisa menerima pernikahan poligami ini.
"Sayang udah makan malam belum ?" Tanyaku.
"Belum sayang. Kamu udah belum ?"
"Belum juga." Jawabku sambil menggeleng.
"Mau makan malam dimana ?"
"Pelangi kesukaannya apa sayang ?"
"Mana aku tau. Bicara dengannya saja aku tidak pernah."
"Yasudah, kita mampir ke warung makan di simpang lima dulu ya."
"Mau makan disana ?"
"Enggak. Cuma beli aja. Di bawa pulang, kita makan bareng-bareng nanti sama Pelangi ya dirumah."
"Kamu kenapa perhatian sekali sama dia ? Tidak perlulah kamu bersikap baik padanya."
"Aku mau berdamai dengan diriku sendiri. Aku akan mendekatinya, dia tidak punya siapa-siapa disini. Dia butuh seorang teman. Aku hanya perlu mendekatinya agar dia nyaman bersamaku dan bahagia dalam pernikahan ini."
"Untuk apa ? Toh pada akhirnya aku dan dia juga akan berpisah nanti."
Aku menggeleng dengan sifat Moondy. Dia tidak bisa seperti itu terus dengan Pelangi. Pelangi juga istri sahnya. Sama seperti diriku. Aku harus bisa merubah perasaan Moondy untuk bisa mencintai Pelangi, sama seperti Moondy juga mencintaiku.
Setelah sampai dirumah, kulihat rumah begitu sepi. Sama seperti malam kemarin. Tak ada tanda-tanda Pelangi ada dirumah. Tapi aku yakin dia pasti di kamarnya. Setelah aku dan Moondy selesai membersihkan diri aku langsung ke meja makan untuk mempersiapkan makan malam. Rumah begitu bersih, aku yakin pasti Pelangilah yang membersihkannya. Dia benar-benar bisa mengerjakan tugasnya dengan baik di rumah ini.
"Aku panggil Pelangi dulu ya sayang ?"
"Gak usah. Kalau lapar juga pasti dia keluar sendiri."
"Sayang ..... Ingat dia itu juga istrimu. Perlakukan dia dengan baik dan adil seperti kamu memperlakukan aku." Sedikit membentak Moondy nada bicaraku kali ini. Tapi ini perlu, agar dia tak menganggap remeh Pelangi terus.
Aku berjalan menuju kamarnya dan meninggalkan Moondy yang sudah bersiap di meja makan.
"Ngi ..... " Aku coba mengetok pintu kamar Pelangi.
"Iya ?" Pelangi membuka pintu kamarnya. Suara kecil nyaring kas jawanya baru kudengar kali ini.
"Makan malam yuk. Aku udah siapin. Kamu pasti lapar kan ?"
"Kalian aja yang makan. Aku nggak lapar."
"Ayolah, aku tau kamu belum makan kan ?"
"Sudah tadi."
"Aku tau lho kamu belum tau Semarang. Mana mungkin kamu berani keluar sendiri. Ayok makan ya. Ini makan malam pertama kita Pelangi." Sengaja kurayu agar dia mau ikut malam malam bersama kami.
"Yaudah ayok."
Kami berdua berjalan beriringan menuju meja makan. Aku sedikit tersenyum karena akhirnya Pelangi mau bergabung denganku dan Moondy.
"Lama banget sih ? Jangan manja kamu jadi orang ! Kalau sudah waktunya jam makan segeralah ke meja makan tanpa harus disuruh!" Omel Moondy begitu melihat Pelangi datang.
"Sudah jangan di dengarkan. Dudulah Pelangi. Tadi aku sudah beli makanan di simpang lima. Aku belum tau apa makanan kesukaanmu jadi kubelikan ayam goreng. Semoga kamu suka ya ?" Kataku.
"Terima kasih. Aku tidak pilih-pilih makanan kok." Jawabnya singkat sambil duduk dan makan.
Pada akhirnya kami bertigapun makan malam bersama. Meskipun pada awalnya Moondy harus mengomel dulu memarahi Pelangi karena terlambat datang ke meja makan. Selama makan malam Pelangi tak berbicara sepatah katapun. Namun sepertinya dia kecewa padaku dan Moondy. Aku tak bisa melarang rasa kekecewannya padaku, jika aku di posisi dia mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Salah Moondy juga sih dia harus kembali membahas bulan madu itu di hadapan Pelangi. Dan aku yakin pasti Pelangi sakit hati. Hingga saat dia selesai makan dia langsung mencuci piring dan pamit masuk kamar kembali.
"Sayang ! Bisa tidak kamu jaga perasaan Pelangi ?"
"Apa salahku ?"
"Berhenti membahas bulan madu atau hal yang ada hubungannya dengan aku dan kamu. Jagalah perasaan dia sedikit saja. Kamu boleh tidak mencintainya tapi jangan menyakitinya."
Entah kenapa aku merasa seperti Pelangi menjaga jarak denganku. Aku merasa dia membenciku. Dia terus menghindariku. Atau memang hanya perasaanku saja, aku juga tidak tau. Hari ini aku sengaja tidak masuk kerja. Jika biasanya Moondy mengantarku kerja, kali ini aku memang ingin berangkat sendiri. Memakai mobil sendiri membuatku bisa leluasa kesana kemari tanpa harus menunggu Moondy menjemput atau menunggu taxi online. Moondy sudah berangkat pagi tadi jam 8. Setelah selesai sarapan bersama dia langsung berangkat. Dan seperti yang kuduga, Pelangi pasti selalu menghilang masuk kedalam kamarnya.
Sekitar pukul 9 aku keluar dari kamar setelah mendengar Pelangi membuka pintu kamarnya. Dan benar saja, kulihat Pelangi ada di halaman belakang. Berarti benar dugaanku jika dia memang sengaja menghindariku.
"Ngi... " Kupanggil dia.
"Bulan ?" Dia nampak kaget melihatku.
"Kamu lagi ngapain Ngi ?" Aku mendekat ke arahnya.
"Oh ... Ini mau nyuci baju." Jawabnya sambil memperlihatkan keranjang dengan cucian menumpuk.
"Perlu kubantu ?" Tanyaku.
"Enggak usah. Aku bisa sendiri. Kamu kenapa masih dirumah ?" Tanyanya.
"Aku gak enak badan Ngi, badanku rasanya capek semua." Jawabku berbohong.
"Oh, mau kubuatkan teh hangat ?" Tawarnya.
"Boleh Ngi kalau enggak ngrepotin." Jawabku.
"Enggak kok. Kamu tunggu disitu aja. Biar aku buatkan dulu ya."
Aku menunggu Pelangi di ruang TV sesuai perintah Pelangi. Kupikir dengan cara ini akan berhasil untukku mendekati Pelangi. Dia harus tau bahwa aku bersamanya. Bahwa aku akan membuat Moondy mencintainya sama seperti Moondy mencintaiku. Meskipun jujur aku juga tidak rela. Wanita mana yang mau dimadu ? Jujur saja aku bahagia Moondy lebih memilih bersamaku dan memanjakanku ketimbang dengan Pelangi. Tapi jika mengingat bagaimana Pelangi mengijinkan kami menikah, bahkan dia menutup mulutnya dari orang tua Moondy aku merasa ini tak adil untuknya. Sedikit hatiku mulai tersentuh akan pengorbanan dia.
"Kamu sudah bilang sama mas Moondy kalau kamu sakit ?" Tanyanya sambil memberikan teh hangat buatannya.
"Belum." Jawabku sambil menerima teh pemberiannya.
"Kenapa ?"
"Ada hal yang tidak perlu Moondy tau juga kali Ngi."
"Tapi dia pasti kawatir. Moondy sangat mencintaimu. Dia pasti tidak akan membiarkan kamu sakit."
"Moondy juga akan mencintai kamu Ngi."
"Hah ?"
"Kita berdua akan sama-sama dicintai Moondy. Kita berdua istri Moondy. Jadi kita berdua harus sama-sama dicintai dan mencintai Moondy aku pengen kita berdua selalu akur dan setia sebagai istri Moondy Ngi." Kataku sambil menggenggam tangan Pelangi.
"Moondy hanya mencintai kamu, tidak denganku. Moondy menikahiku karena perjodohan, bukan karena dia mencintaiku. Jangan memberikan aku harapan palsu Lan. Karena aku sudah cukup sakit hati dengan pernikahan kalian berdua." Setelahnya Pelangi pergi meninggalkanku.
"Ngi tunggu !" Aku menarik tangan Pelangi yang beranjak meninggalkan aku.
"Tidak lihatkah pekerjaanku banyak Lan? Cucianku menumpuk. Jika aku tidak segera mencucinya, suamimu bisa memarahiku habis-habisan. Disini aku hanyalah seorang pembantu. Aku masih harus membersihkan rumah dan halaman, belom lagi menyetrika pakaian kalian berdua."
"Tidak seperti itu Ngi. Kamu tidak perlu melakukannya. Kita bisa melakukannya sama-sama. Kita bisa bicara baik-baik untuk membagi tugas rumah Ngi."
"Istirahatlah. Hubungi suamimu. Aku tidak mau dipersalahkan nanti jika terjadi sesuatu padamu."
Pelangi menghempas tanganku dan meninggalkanku. Pelangi mengunci kamar mandi tempat dia mencuci baju. Dia menyalakan air kran, percuma saja aku melanjutkan pembicaraanku padanya karena dia pasti tidak akan mendengarkannya.
***