PERNIKAHAN

1062 Words
Hari ini pernikahanku dengan Moondy. Aku merias diri secantik mungkin. Meskipun jauh dari pernikahan impianku setidaknya aku tetap bahagia karena bisa dinikahi oleh kekasihku Moondy. "Kamu benar-benar sudah siap dengan keputusanmu ?" Tanya ayahku. "Jika tidak siap tentu aku tidak akan sampai disini ayah." "Mana yang namanya Pelangi ?" Tanya mamaku. Aku melihat sekeliling mencari keberadaan Pelangi. Dia sedang duduk di sudut rumah dengan pandangan kosong. Dia bahkan tidak merias wajahnya sedikitpun. "Apakah dia orangnya ?" Tanya ayahku yang mengerti arah mataku memandang. "Lihatlah, bahkan tatapan matanya kosong. Dia masih terlalu muda untuk di poligami nduk." Kata mamaku dengan nada sendu. "Ma .... Jangan begitu. Fikirkanlah kebahagiaanku. Jangan orang lain. Bukankan Moondy janji akan menjadikanku satu-satunya nanti jika waktunya sudah tepat ?" "Berbaik hatilah kamu padanya. Dia hanya butuh seseorang untuk lebih sedikit mengerti. Bersikaplah adil padanya juga." "Iya ma." "Sah !" Hari ini pernikahanku dengan Moondy. Pernikahan kami dilakukan di rumah Moondy dan Pelangi. Pelangi yang membantu menpersiapkan semuanya. Mulai dari dekorasi, catring, dan semuanya Pelangi yang mempersiapkan. Sejak dari perkenalan kita waktu itu aku belum bicara sepatah katapun pada Pelangi. Dia terus menghindariku. Aku tau, pasti Pelangi sakit hati. Pasti dia terluka. Pasti dia kecewa pada Moondy dan aku. Aku pernah sekali melihat Pelangi menangis setelah dia selesai menata dekor pernikahanku. Aku tau aku salah, menjadi orang ketiga pada pernikahan Moondy dan Pelangi, pernikahan yang seharusnya menjadi madu manis bagi mereka, harus ternodai karena kehadiranku. "Sayang .... " Panggilku pada Moondy. "Iya sayang, kenapa ?" "Aku kok nggak lihat Pelangi ya ?" "Mungkin dia tidur." Jawab Moondy singkat. "Apa kamu yakin dia baik-baik saja ?" "Kenapa sayang ? Sudahlah tidak perlu memikirkan dia." "Tapi kan ?" "Ini malam pertama kita, aku tidak mau kamu membicarakan orang lain." Aku sebenarnya ingin berbicara lagi pada Moondy mengenai Pelangi, tapi Moondy sudah terlanjur menarik tubuhku dan membungkam mulutku dengan ciuman dan lumatan bibirnya. Moondy menciumku dengan penuh gairah. Gairah yang mungkin selama 4 tahun ini dia tahan. Selama kami pacaran, Moondy tidak pernah menyentuhku. Ciumannya tak lebih dari tangan dan keningku. Padahal bisa saja kami melakukan lebih dari itu mengingat kami punya rumah masing-masing dan sepi selain asisten rumah tanggaku. Tapi syukurlah Moondy tidak pernah menganggapku sebagai perempuan murahan. Dia menghargaiku. **** Aku dan Moondy tidur di lantai kamar atas. Sedangkan Pelangi tidur di kamar bawah. Kamar yang digunakan Pelangi itu sebenarnya dipersiapkan Moondy untuk anak kita kelak jika sudah menikah. "Sayang.." "Iya sayang kenapa?" "Kamu tidak mencoba tidur dengan Pelangi ?" "Aku tidak bisa tidur bersama dengan orang asing." Jawabnya. "Tapi dia adalah istrimu, bukan orang asing." Sanggahku. "Aku tau, tapi aku tidak bisa melakukan itu, karena menurutku pernikahan kami itu karena terpaksa." Jawabnya lagi. "Masih ada satu kamar kosong di lantai atas, kenapa tidak kamu suruh dia tidur disana ? Setidaknya biar kamu tidak terlalu jauh membagi waktumu." "Tidak mau! Sudah cukup aku melihatnya di bawah, jangan sampai dia menginjakkan diri di lantai atas, kecuali jika dia ingin bersih-bersih." "Dia istrimu, bukan pembantumu." Kataku. "Sudahlah sayang, aku sedang tidak ingin kita ribut hanya karena Pelangi." "Aku hanya mengingatkanmu sayang. Biar bagaimanapun juga dia istrimu." "Istri diatas kertas sayang. Istriku yang paling kucintai hanya kamu. Haram bagi dia menginjakkan diri di lantai atas kecuali bersih-bersih. Sudah kupenuhi kebutuhan lahirnya. Tapi aku tidak bisa memberikan kebutuhan batin padanya. Karena aku tidak mencintainya sama sekali." Begitulah Moondy. Dia selalu menganggap rendah Pelangi di matanya. Aku memang belum terlalu mengenal Pelangi. Tapi aku janji setelah ini aku akan melakukan pendekatan dengan dirinya. Dia gadis muda yang seharusnya masih menikmati masa remajanya, tapi dia harus menikah dengan orang yang tidak pernah mencintainya. Dia juga rela jauh dari orang tuanya, tanpa kasih sayang dari suaminya pula. Entah kenapa hatiku teriris memikirkan Pelangi. Saat aku seumuran dia aku masih menikmati masa mudaku. Aku berkarir, berpacaran, pergi kemanapun aku suka. Masa mudaku sungguh indah. Jauh berbeda dari Pelangi. "Ayo sayang kita berangkat." Ajak Moondy. "Tunggu dulu. Aku belum melihat Pelangi sayang dari tadi malam." "Mungkin dia masih tidur." "Apa tidak sebaiknya kita berpamitan dulu pada Pelangi ?" "Aku sudah hampir terlambat. Hari ini aku ada breefing sayang. Ayolah. Nanti malam kan kita masih bertemu sama dia ?" Baiklah, aku menuruti kata Moondy. Moondy memang bilang ingin mengantarku ke butik. Aku memang memiliki butik sendiri, tapi bukan berarti aku bisa berangkat seenaknya. Pagi-pagi aku selalu berangkat ke butik untuk mengecek laporan. Tapi karyawanku datang saat butik buka, yaitu jam 10 siang. Jika siang aku berusaha melayani customerku bersama karyawan-karyawanku. Butik tutup jam 9 malam. Butikku menjual baju-baju limited edition tapi harga tetap mahasiswa, agar para gadis-gadis remaja itu bisa tampil modis dengan harga yang merakyat. Selain itu aku juga menerima pesanan kaya bikin baju pengantin, baju pesta, kebaya wisuda dan yang lainnya. Kriinggg .... Kringgggg ...... Gawaiku berbunyi. Kulihat dari layar gawaiku ada tulisan nama "my lovely" itu berarti dari Moondy suamiku. Nama itu tak pernah kurubah dari sejak pertama Moondy mengutarakan perasaannya padaku. "Halo sayang .... " Jawabku. "Halo juga sayang, hari ini aku tidak bisa menjemputmu untuk makan siang. Ada rapat penting." Kata Moondy. "Iya tidak apa-apa. Kamu fokus saja pada kerjaanmu. Aku bisa pulang naik taxi nanti." Kataku. "Oke sayang. Aku minta maaf ya. I love you." "Love you too." Setelahnya kumatikan sambungan telponnya. Moondy memang selalu romantis dari dulu. Aku menyenderkan tubuhku pada kursi. Aku tiba-tiba teringat akan kata-kata orang tuaku kemarin sebelum mereka pulang. Ayah dan ibuku juga sudah kukenalkan pada Pelangi. Pelangipun nampak ramah pada kedua orangtuaku. Dia juga melayani kedua orang tuaku layaknya orang tuanya sendiri. Senyum selalu merekah dari bibirnya kepada setiap tamu yang datang meski sekalipun tak pernah dia melirik singgasanaku dan Moondy. Meski aku tidak tau bagaimana dengan isi hatinya. "Nak .... " Panggil ayahku. "Njih yah?" Jawabku. "Ayah sudah bertemu dengan Pelangi." Kata ayahku begitu semua tamu sudah pulang. "Dia bicara apa sama ayah ?" Tanyaku. "Kami hanya berkenalan. Dia tidak banyak bicara nduk. Nak jaga baik-baik sikapmu padanya. Jangan tanamkan kebencian padanya, karena biar bagaimanapun dia adalah istri pertama Moondy." Kata Ayah. "Dia juga sudah mengijinkan kalian menikah. Terlepas dari bagaimana kisah kalian, tapi dia tetap madu kamu Lan. Kamu tetaplah istri kedua, jangan menyakitinya, karena mengijinkan kalian menikah saja itu sudah menyakiti hatinya. Jangan ditambah lagi ya." Kata ibu. "Iya yah, buk. Bulan juga sudah memikirkan hal itu. Bulan akan menganggap Pelangi seperti adik Bulan sendiri. Bulan juga tidak akan cemburu pada Pelangi atau menyakiti Pelangi." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD