Perkataan Dokter Rain tentang menemani makan berubah menjadi makan bersama saat tiba-tiba sang dokter memesan dua porsi nasi goreng.
“Dok, saya enggak—”
“Makan, Apia. Kamu harus makan yang banyak agar sehat dan kuat.”
Mendengar itu Apia memutar kedua bola matanya dengan malas. Lagi-lagi ia diperlakukan seperti anak kecil.
Dokter Rain lantas bercerita singkat tentang nasi goreng pinggir jalan yang berada di sebelah kiri rumah sakit ini. “Nasi goreng di sini sangat enak. Dimasak menggunakan arang. Nanti akan terasa smokynya. Ini nasi goreng kesukaan saya, kamu harus mencobanya.”
“Tapi kan saya enggak lapar, Dok.” Saat Apia masih saja mengeyel, bunyi perutnya justru membuatnya malu sampai rasanya ingin pindah ke mars.
Sang dokter terkekeh kecil. “Suara perutmu tak bisa bohong. Kondisi tubuhmu berpihak pada saya. Mungkin tahu bahwa saya ini seorang dokter yang memperdulikan kesehatan orang. Sudah jangan malu begitu, tak apa, Apia. Kita makan bersama ya malam ini?”
Mau tak mau, Apia mengangguk pelan. Ia menghela napas, lalu berkata, “Makasih banyak, Dok. Lagi-lagi saya ngerepotin Dokter.”
“Sama-sama. Tapi saya minta balasannya kali ini adalah jangan memanggil ‘DOKTER’ saat di luar jam dinas saya. Cukup panggil ‘RAIN’.”
Permintaan Dokter Rain barusan tidaklah sulit. Namun berhasil membuat tenggorokan Apia terasa seperti tercekat sesuatu. Jelas saja Apia merasa tak enak hati memanggil nama pada sang dokter. Selain karena Apia telah mengetahui siapa sosok ini sebenarnya, Dokter Rain mungkin berusia lebih tua darinya.
Akan tetapi, tatapan penuh harap Dokter Rain berhasil mendorong Apia untuk melafalkan namanya walau masih dengan gugup. “R—rain..”
Saat itu juga senyum lebar Dokter Rain terukir, memuji Apia, “Bagus, Apia! Kalau nurut begini kamu makin imut. Seperti marmut.”
Apia tidak yakin itu sebuah pujian.
“Dokter!?” pekik Apia kesal dan melayangkan pukulan kecil di lengan sang dokter.
Sepertinya itu—lengan—merupakan tempat favorit untuk melampiaskan perasaan kesal.
“Rain, Apia. Rain,” tegas Dokter Rain meralat panggilan spontan Apia barusan.
Apia tak peduli dan membalas pujian sang dokter, “Kalau saya seperti marmut, lalu kamu seperti apa? Seperti jerapah!?”
Bukannya kesal, Dokter Rain justru tersenyum manis dan menatap lurus ke depan, seperti sedang membayangkan sesuatu. “Si marmut dan jerapah. Tidak buruk..”
Ketika Apia akan membalas lagi, bapak penjual nasi goreng datang membawakan pesanan mereka yang tengah duduk lesehan di atas tikar.
Heran? Sama.
Pertama kali Apia diajak kemari tadi Apia hampir tidak percaya jika selera seorang pewaris rumah sakit akan semerakyat ini. Haha!
Tapi baguslah, dengan begini Apia merasa seperti berteman dengan orang biasa karena Dokter Rain tidak pernah mempertegas batas atau perbedaan diantara dirinya dan Apia.
Si bapak penjual nasi goreng mengucapkan, “Selamat menikmati, Pak Rain, dan..” Ucapan menggantung si bapak langsung disahut oleh Dokter Rain yang memperkenalkan Apia. “Apia. Teman saya, Pak.”
“Ah iya, Bu Apia.”
Kedua mata Apia melotot saat dipanggil ‘IBU’ oleh si bapak. Dan itu semua tertangkap oleh Dokter Rain yang mati-matian menahan tawa. Dokter Rain paham bila Apia sedang tidak terima dipanggil demikian. Mungkin karena merasa dirinya masih muda.
Selepas kepergian si bapak dari hadapan mereka, barulah Apia melayangkan protes pada sang dokter, “Kenapa si bapak penjual nasi goreng manggil saya ‘Ibu’? Saya setua itu apa?”
Dengan penuh pengertian Dokter Rain menjelaskan, “Bukan seperti itu maksud beliau, Apia. Sekarang coba kamu pikir. Saya dipanggil ‘Bapak’, berarti tidak ada salahnya jika kamu dipanggil ‘Ibu’?”
“Ya tetap salah, Rain! Kan bisa panggil ‘Mbak’. Kenapa harus ‘Ibu’, sih?”
Nasi goreng serta minuman teh sudah tersaji di hadapan mereka, Dokter Rain rasa sudah saatnya mengakhiri perdebatan perihal panggilan. “Ini mau sampai kapan membahas soal panggilan? Nasi gorengnya kurang nikmat jika disantap dalam keadaan dingin, Pia.”
“Ah, iya. Silahkan makan, Pak Rain.” Apia mempersilahkan lengkap dengan keramahannya. Namun malah mendapat protes. “Kenapa kamu jadi ikut-ikutan si bapak?”
“Biar sopan. Kamu kan mungkin lebih tua daripada saya,” jawab Apia masuk akal.
Dokter Rain manggut-manggut mengerti seraya menyantap nasi goreng lezat kesukaannya itu. “Itu benar. Kamu terlihat masih kanak-kanak.”
“HEI!” seru Apia diiringi suara sendok dan piring yang nyaring. Rupanya si Apia terpancing emosi, tapi si dokter justru tertawa kecil. Puas menggoda.
“Makanlah, Apia..” Suara lembut Dokter Rain berhasil mengatasi emosi Apia.
“Hm.” Tiba-tiba saja emosi Apia lenyap tak bersisa.
Itu membuat Apia menyadari bahwa adanya pria seperti Dokter Rain di muka bumi ini adalah untuk menghadapi wanita emosian sepertinya.
Masih dalam konteks pertemanan, ya. Apia sadar diri. Ia tidak pantas mengharap pria baik seperti Dokter Rain.
Mereka makan dengan lahap. Terutama Apia yang katanya tidak ingin makan karena tidak lapar. Justru di sini Apia lah yang lebih lahap! Hal tersebut menjadi pemandangan bagus untuk Dokter Rain.
“Bagaimana? Enak?” tanya Dokter Rain berbasa-basi, sebenarnya ia sudah tahu jawabannya dari cara makan Apia yang lahap.
“Kamu bisa lihat sendiri piringku tiba-tiba hampir kosong, Rain.”
“Itu artinya..”
“Sangat enak! Bintang sepuluh kalau perlu! Sesuai dengan seleraku. Terima kasih sudah mengajakku makan di sini, Rain.” Begitu kata Apia jujur sejujur-jujurnya.
Memang enak. Seperti kata Dokter Rain sebelumnya bahwa nasi goreng ini dimasak dengan arang, jadi sudah pasti memiliki cita rasa yang khas. Lebih sedap dan pastinya smoky.
“Sama-sama. Maaf bukan sebuah resto mewah.”
Menyinggung soal ‘resto mewah’, bibir Apia gatal jika tidak mengomel panjang kali lebar.
Mengomeli siapa? Pak Dokter lah!
“Justru kalau diajak ke sana mungkin saya akan melarikan diri. Harga makanan di sana pasti sangat mahal, saya akan kepikiran terus nanti.”
“Memangnya kamu bisa melarikan diri dari saya?”
Pertanyaan tersebut dilayangkan oleh sang dokter dengan senyum penuh arti. Membuat Apia merinding sendiri..
“B—bisa! Kenapa enggak?”
‘Mungkin tidak lama lagi itu akan terjadi, Dokter Rain. Sebelum kandungan saya semakin besar, saya harus segera pergi jauh. Saya ingin menjalani masa kehamilan, melahirkan, hingga membesarkan anak dengan tenang. Kalau mungkin, saya juga ingin menjalaninya dengan bahagia.’ Begitu suara hati Apia yang jauh lebih jujur lagi.
Pandangan Apia kemudian tertuju pada pembeli yang baru saja tiba. Mereka merupakan pasangan suami-istri yang dimana istrinya sedang hamil besar.
‘..sebahagia ibu hamil yang sedang mengidam dan selalu ditemani oleh suaminya itu.’ Apia tersenyum getir. Seketika merasa kenyang sehingga nasi goreng yang sisa sedikit itu terpaksa ia abaikan.
‘Ah..mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya. Jadi cukup menjadi penonton saja agar tertular oleh kebahagiaannya,’ katanya lagi masih dalam hati.
Dadáá Apia terasa sesak membayangkan akan melewati masa-masa kehamilan tanpa sosok suami di sisinya. Tapi mau bagaimana lagi? Mencari Hanafi untuk meminta pertanggung jawabannya sama sekali tak pernah Apia pikirkan.
Menurut Apia, itu merupakan keputusan terburuk yang tak pernah ingin Apia ambil!
Hanafi sudah memutuskan pergi. Jadi tak perlu dikejar lagi..
“Fokus sekali memandanginya,” celetuk Dokter Rain menyadarkan Apia dari lamunnya yang terus memandangi si ibu hamil.
Apia mengulas senyum kecil dan berkata, “Hanya membayangkan diri sendiri yang kelak juga akan mengalami masa-masa mengandung.”
“Saat itu, yakinlah bahwa kamu akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini.”
Entah mengapa? Perkataan Dokter Rain barusan justru menyulut emosi Apia. Wanita yang sebenarnya tengah berbadan dua itu merasa sang dokter sok tahu!
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?! Tidak semua ibu hamil sebahagia wanita itu, Rain!”
‘Contohnya saya! Saya hamil di luar nikah! Saya hamil anak mantan saya! Bukankah ini suatu aib!? Dimana letak bahagia yang kamu sebut itu?!’
Melihat raut wajah Apia yang tiba-tiba merah padam, jelas Dokter Rain kebingungan. “Kenapa kamu tampak marah dan tiba-tiba menangis?”
Ya, saat ini lelehan bening itu membasahi kedua pipi Apia. Saat tangan Dokter Rain berusaha menghapus air mata Apia, Apia justru menghindar dan menghapusnya sendiri dengan gerakan kasar.
Dokter Rain menghela napas sebelum berbicara lagi. “Saya merasa wanita yang hamil itu sangat bahagia karena sedang menanti buah hatinya lahir ke dunia ini. Dimana letak kesalahan dari pemikiran saya, hm?”
Disitulah Apia baru menyadari bahwa kehamilannya saat ini membuatnya sensitif terhadap apapun. Tak terkecuali perkataan orang yang sebenarnya tidak salah.
“Kamu tidak salah, Rain. S—saya..saya hanya lelah. Ingin segera pulang dan beristirahat,” lirih Apia seraya menampilkan raut wajah memelas agar Dokter Rain segera mengajaknya pergi dari sini. Lagipula Apia sudah kehilangan nafsu makannya beberapa saat yang lalu.
Kalau sudah seperti ini Dokter Rain tidak bisa memaksa. Sebagai dokter, walau bukan psikolog, Dokter Rain tentu tahu bahwa saat ini kondisi Apia sedang tidak baik-baik saja.
Akhirnya Dokter Rain mengabulkan permintaan Apia. “Baiklah jika itu maumu. Tapi saya merasa ada yang salah dengan perkataan saya sampai kamu marah dan menangis seperti ini. Maka dari itu, maafkan saya, Apia. Maaf.”
Ungkapan ‘maaf’ Dokter Rain barusan membuat Apia semakin dilanda rasa bersalah. Bagaimana bisa dirinya yang penuh dosa dan tengah menanggung akibat dari perbuatannya bersama sang mantan ini malah melampiaskan kemarahan atau rasa tidak terimanya pada orang lain?
Jelas ini tidak bisa dibenarkan! Sekalipun beralasan sedang sensitif karena tengah berbadan dua.
“Ayo kita pulang..” ajak sang dokter masih mempertahankan nada lembut. Seolah mengerti bahwa hati Apia saat ini benar-benar sedang hancur. Jadi ia tidak bisa mengasari Apia.
Lebih tepatnya, tidak akan pernah bisa sebab tak sampai hati.
Bukankah itu mempertegaskan bahwa dia—Dokter Rain—merupakan pria sejati?
***