Sore harinya Apia berangkat kerja lebih awal dari pergantian shift. Selain menghindari insiden apapun yang dapat berpotensi menyebabkan keterlambatan, Apia juga ingin menyapa rekan kerjanya yang bersedia bertukar shift dengannya.
“Makasih ya, Mbak. Saya enggak tahu lagi kalau enggak ada Mbak yang mengajukan diri bertukar shift dengan saya hari ini.”
Tak hanya mengucapkan ‘terima kasih’, Apia juga memberinya roti coklat dan minuman susú kedelai. Kebetulan tadi Apia sempat mampir ke kantin untuk membeli beberapa makanan dan minuman. Sekalian membelikan Dokter Rain, sesuai janjinya kemarin malam.
“Sama-sama, Dek. Adanya rekan kerja itu untuk saling membantu. Contohnya ya seperti hari ini.”
Ibu muda bernama Mia itu sangat baik dan tulus. Apia sangat terbantu olehnya yang bersedia tukar jam kerja dengannya.
Setelah berkenalan dan mengobrol singkat, mereka berpisah saat Apia harus mulai bekerja.
Menjelang petang, Apia beristirahat sejenak. Sampai kemudian teringat roti coklat dan susú kotak yang rencananya akan ia berikan pada Dokter Rain.
“Astaga, hampir lupa..” Apia menepuk dahinya sendiri, lalu bergegas mencari keberadaan dokter muda tampan itu.
Mencari kesana-kemari, akhirnya Apia menemukan sang dokter bersama beberapa rekan serta perawat di sebuah lorong rumah sakit.
Lorong ini sepi karena lorong ini menghubungkan ke ruang operasi.
Kini Apia bingung. Haruskah Apia menghampiri Dokter Rain? Atau, menunggu Dokter Rain berpisah dengan rekan-rekannya?
Apia yang takut melakukan kesalahanpun akhirnya memutuskan untuk bersembunyi daripada menemui sang dokter.
Namun disela-sela bersembunyi itu Apia masih terus mengikuti Dokter Rain sampai akhirnya Dokter Rain sendirian karena rekan-rekannya melangkah ke arah lain. Disitulah Apia tersenyum lebar dan hendak menunjukkan dirinya. Tapi kalah cepat dengan si dokter.
“Keluarlah. Kenapa kamu seperti kancil yang hendak mencuri timun? Saya tidak punya timun. Punyanya suntik bius. Barangkali kamu berminat.”
Rupanya Dokter Rain sudah mengetahui keberadaan Apia.
Jadi sejak tadi sia-sia dong Apia sembunyi!? Tidak keren sama sekali! Apia memang tidak memiliki jiwa-jiwa pengintai.
Perkataan Dokter Rain barusan membuat Apia tertawa kecil karena lucuuuu!
Walau Dokter Rain mengatakannya tanpa bereskpresi, tapi berhasil membuat Apia tertawa, melupakan sejenak kemalangan hidupnya. Bahkan secara tak sadar Apia menggeplak lengan sang dokter. Berani sekali petugas kebersihan sepertinya menggeplak badan dokter? Benar-benar..
“Eh. Maaf, Dok. Refleks.”
Dokter Rain tetap mempertahankan wajah datarnya. Tumben tidak seramah biasanya.
Apia berdehem, mulai serius, lalu menyapa sang dokter, “Selamat sore menjelang petang, Dok.”
“Hm.”
Balasan Dokter Rain barusan membuat Apia melotot.
Ini seperti bukan Dokter Rain!
Tapi wajahnya benar wajah tampan Dokter Rain, kok!
Masih sempat-sempatnya muji tampan. Harusnya kan mencari alasan atau solusi dari hilangnya beberapa persen ketampanan Dokter Rain karena kecuekannya itu. Apia-Apia..
Memberanikan dirinya, Apia bertanya, “Dokter kenapa, sih? Capek, ya? Atau lagi badmood.”
“Dua-duanya. Ada apa?”
Baiklah, sepertinya cukup sesi basa-basinya.
Saatnya Apia memberikan apa yang dibawanya dengan senyum merekah. Siapa tahu senyumnya ini dapat menular pada sang dokter yang sejak tadi wajahnya ditekuk terus.
“Ini..roti coklat dan susú kotak. Rotinya dua biar kenyang, Dok. Biar Dokter kuat menangani banyak pasien.”
Dokter Rain menerimanya dan langsung menginterogasi Apia dengan nada kesal, “Kamu kemana saja? Kenapa baru muncul? Saya pikir, kamu lupa.”
Boleh tidak Apia percaya diri bahwa Dokter Rain badmood karena Apia terlambat muncul dan menepati janji?
Oh..manisnya jodoh orang.
Apia sadar, Apia tidak pantas lagi mengharap pada Tuhan untuk menjadikan Dokter Rain jodohnya. Ia bukan wanita baik-baik. Ia pendosa yang saat ini sudah menanggung akibat dari dosa yang telah diperbuatnya bersama sang mantan.
Sesegera mungkin, Apia membalas dengan ceria seperti biasanya. “Mana mungkin saya lupa, Dok? Saya ingat, kok. Hanya saja hari ini saya tukar shift karena tadi pagi ada keperluan mendadak.”
Menangkap rasa penasaran Dokter Rain, Apia sigap memberi peringatan, “Eitt..jangan tanya keperluan apa!”
Untuk saat ini, Apia benar-benar ingin merahasiakan kondisinya dari siapapun itu.
Untung saja Dokter Rain tidak memaksakan keingintahuannya. Pria itu menghela napas dan kembali ramah seperti sebelum-sebelumnya. “Terima kasih, Apia. Padahal saya hanya minta satu roti coklat saja. Tapi kamu malah repot-repot seperti ini. Saya jadi tidak enak.”
Apia menggeleng, itu bukan masalah. Ia ikhlas memberikan makanan dan minuman tersebut pada Dokter Rain. Sekaligus senang karena Dokter Rain bersedia menerima pemberiannya yang tidak seberapa ini.
“Nah gitu, dong. Senyum.. Sama-sama, Dokter Rain. Dihabiskan semuanya ya, Dok.”
Senyum Dokter Rain saat mengatakan ‘terima kasih’ kian melegakan Apia sebagai pemberi. Ternyata diberi daripada memberi itu lebih menyenangkan memberi. Meski memberikan sesuatu yang tak seberapa, tapi kebahagiaannya itu lhoo..luar biasa!
“Pasti akan saya habiskan. Kamu mau lanjut kerja?”
“Iya, Dok. Sebentar lagi jam istirahat saya habis,” jawab Apia sambil melirik jam di tangannya, lantas bertanya balik pada lawan bicaranya, “Dokter sendiri mau lanjut kerja atau pulang?”
“Seharusnya pulang. Tapi tiba-tiba betah di rumah sakit.”
Bolehkah Apia percaya diri lagi jika penyebab betahnya sang dokter di rumah sakit adalah karena dirinya? Aduhhhh..pikiran Apia mulai kelewatan! Mulai kemana-mana.
Menggeleng keras, sebaiknya Apia segera hengkang dari hadapan sang dokter daripada pikirannya semakin tak jelas. Perlu diingat bahwa ini juga sangat tidak baik bagi kesehatan hati serta jantung.
Malam harinya sekitar pukul sebelas lebih, Apia akhirnya selesai bekerja. Ternyata bekerja di shift sore hingga malam tidak semenyeramkan yang ia pikirkan. Walau aktivitas di rumah sakit tidak sesibuk saat pagi sampai siang. Tapi tetap ramai orang, jadi tidak terlalu horror.
Tenaga Apia juga masih aman, masih sanggup, dan yang paling penting adalah teman berjuangnya bisa diajak bekerja sama.
Diam-diam Apia mengelus perutnya sendiri dan memuji, “Good job, Nak. Begini terus, ya..”
Tanpa Apia ketahui sejak tadi dari kejauhan Dokter Rain terus mengamati setiap pergerakannya. Sampai dahinya mengernyit heran karena Apia tiba-tiba mengelus perutnya sendiri.
“Seperti ibu hamil saja,” gumam Dokter Rain, lalu terkekeh kecil. Di matanya Apia memang unik.
Segera, Dokter Rain menghampiri sosok yang membuatnya menunda jam pulang kerja sampai berjam-jam lamanya.
“Apia..” panggil sang dokter membuat Apia berjingkat.
“D—dokter Rain? Belum pulang?”
Apia sangat terkejut dengan kehadiran Dokter Rain yang tiba-tiba! Sekaligus mulai ketakutan. Takut bila Dokter Rain sempat memergokinya mengelus perut apalagi sampai mendengar perkataannya.
Tapi untungnya Dokter Rain salah mengira. “Kamu pasti sedang lapar. Ayo kita cari makan yang enak. Kamu ingin makan apa, Pia?”
Itu membuat Apia lega dan langsung menghela napas.
Helaan napas Apia lagi-lagi disalahartikan. Dokter Rain iba sekaligus bangga dengan perempuan pekerja keras seperti Apia. “Pasti kamu sangat lelah. Tapi sebelum pulang dan beristirahat sebaiknya kita makan bersama terlebih dulu. Ayo..”
“Eh, Dok? Saya enggak lapar,” ujar Apia menahan langkah sang dokter. Apia tidak ingin berhutang budi lagi kepada Dokter Rain. Walau berulang kali Dokter Rain mengatakan bahwa mereka adalah teman, tidak ada hutang budi dan semacamnya.
Mengetahui ajakannya telah ditolak dengan alasan klasik, Dokter Rain tidak kehabisan akal. “Ya sudah, temani saya makan. Saya sangat lapar.”
“Tapi—”
“Pilih temani saya makan atau kamu yang saya makan, hm?” potong Dokter Rain dengan pertanyaan yang cukup membuat Apia merinding.
Ini bukan horror karena setàn, tapi karena si tampan! Haha..
Tak ada pilihan lain, akhirnya Apia memberi jawaban yang diinginkan sang dokter. “T—temani makan..”
Kalau jawab ‘bersedia dimakan’, beda lagi ceritanya.
Astaga! Pikiran Apia tidak jorók, kok. Hanya kadang situasi membuat pikirannya liar memikirkan yang tidak-tidak. Eh. Pakai acara menyalahkan situasi! Huu..
Merasa senang dengan jawaban Apia, Dokter Rain berucap sambil menepuk-nepuk pelan kepala Apia selayaknya anak kecil atau kucing peliharaan, “Nah, begitu. Jadi anak baik, ya. Nurut kata Pak Dokter.”
Ucapan seperti itu membuat Apia teringat akan interaksi dokter gigi dan seorang anak yang menjadi pasiennya. Persis! Sepertinya Dokter Rain sedang mengajak Apia bercanda.
Tapi Apia malah kesal dibuatnya. “Isshh..emangnya saya anak kecil yang lagi periksa gigi terus dilarang makan-makanan manis apa?!”
Apia tak terima diperlakukan seperti anak kecil yang sedang berobat pada dokter gigi. Mentang-mentang tubuh Dokter Rain lebih tinggi darinya dan Apia hanya selengan atasnya, Dokter Rain bisa menyamakannya seperti anak kecil begitu? Oh tidak! Apia ini wanita dewasa. Bahkan sebentar lagi akan punya anak kecil.
Sayangnya Dokter Rain belum mengetahui hal itu. Andai ia tahu, bagaimana reaksinya? Apia belum ingin membayangkannya.
Menggeleng keras, tatapan Apia lantas menyisir penampilan Dokter Rain dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Dokter Rain tidak tampak seperti dokter anak. Mungkin Dokter Rain itu dokter umum, utamanya ya pewaris rumah sakit ini.
Hebat! Kok mau berteman dengan Apia?
Apia sendiri tak tahu jawabannya. Sedikit di luar nalar. Tapi kan berteman tidak boleh memandang apapun.
Berteman ya berteman, tulus dari hati yang terdalam. Asal jangan terbawa perasaan. Itu ribet!
“Hehe.. Bukan anak-anak pasien dokter gigi, ya?”
Masih berlanjut rupanya.
“Bukanlah, Dok!” seru Apia benar-benar gemas.
“Lalu, pasien dengan keluhan apa? Sakit hati? Waduh..obatnya sulit didapat kalau itu.”
***