“Jadi Rain benar-benar mempunyai hubungan spesial dengan petugas kebersihan itu? Menarik! Lebih menarik daripada dongeng Cinderella,” ucap pria paruh baya yang baru saja melepas jas dokternya dan menyampirkannya di sebuah kursi yang lalu ia duduki.
Di sebuah ruang kerja pribadi, pria itu tak sendiri, ada perempuan muda nan cantik yang berdiri tegak di hadapannya.
Perempuan itu tersenyum. Tapi senyum di bibirnya itu bukanlah sebuah senyum manis. Melainkan senyum licik.
Mereka merupakan ayah dan anak yang bersedia menghalalkan segala cara untuk memiliki rumah sakit besar ini. Tak terkecuali cara kotór seperti menjatuhkan sanak saudara sendiri.
“Orang suruhan Nella bahkan bilang kalau Rain beliin cewek itu ponsel baru. Terus makan bareng. Rain juga sering antar-jemput cewek itu. Oh ya Pa, namanya Apia,” beritahu si anak pada ayahnya.
Informasi bagus yang dibawanya itu membuat sang ayah tersenyum lebar dan memuji, “Bagus! Semakin seru saja. Rupanya Rain sedang kasmaran terhadap gadis biasa.” Kekehan pelan sarat akan meremehkan terdengar. Disambung dengan pendapat pentingnya mengenai hal tersebut. “Apa kata Om dan Tantemu nanti jika mereka sampai tahu kelakuan sepupumu? Papa yakin seratus persen mereka akan menentang hubungan Rain dengan gadis itu karena mereka tidak selevel! Lagipula Om dan Tantemu sudah menjodohkan sepupumu itu dengan gadis lain. Yang tentu saja jauh lebih baik dan pastinya selevel dengan putra kebanggaan mereka.”
Om dan tante yang dimaksud merupakan orang tua Rain—Sepupu Nella.
Mendengar itu, Nella hanya bisa manggut-manggut mengerti dan sependapat dengan papanya. Bahwasannya tidak mungkin gadis udik itu bisa masuk ke dalam keluarga besar mereka.
Kecuali, terjadi sesuatu yang tak terduga. Sebagai orang dewasa ia tahu hubungan antar orang dewasa itu seperti apa. Namun ia tak yakin sepupunya bisa melanggar norma-norma.
‘Tapi kalau cewek itu yang gatal, Rain bisa apa? Godaan itu berat. Dan, hanya menyuguhkan dua kemungkinan. Antara teguh pendirian atau tergoda rayuan.’
Ia tersentak dari pikirannya saat sang ayah memerintahkan, “Katakan pada orang suruhanmu untuk terus mengikuti dan mencaritahu apa saja yang dilakukan Rain dan Apia selama bersama, Nella. Semakin banyak informasi, semakin baik. Itu akan menjadi senjata kita selanjutnya untuk menjatuhkan Rain, seorang dokter yang menjalin hubungan spesial dengan petugas kebersihan.”
“Baik, Pa..” jawab Nella tunduk.
Perbincangan mereka tentang Rain pun berakhir.
Di sisi lain, sejak malam dimana Apia marah sampai menangis di hadapan Dokter Rain, Apia yang merasa malu memutuskan menghindari sang dokter sampai waktu yang tidak diketahui.
Aksi menghindar ini telah berlangsung selama lima hari. Sebisa mungkin Apia tak menampakkan batang hidungnya di hadapan sang dokter.
Untung saja sejauh ini aman. Apia tetap bekerja di shift pagi dan selalu bersembunyi saat Dokter Rain muncul.
Selain itu, Apia merasa tak enak hati pada Dina yang sudah pernah menasehatinya untuk menjaga jarak dengan Dokter Rain. Apalagi saat Apia tahu bahwa Dina sebenarnya tahu tentang kedekatannya dengan Dokter Rain.
Pergi ke counter ponsel bersama, makan malam nasi goreng pinggir jalan bersama, sampai diantar pulang ke kos, Dina tahu semuanya tapi tak menegur.
Hahh…Apia harap Dina tak kecewa padanya.
Ngomong-ngomong soal ponsel, kemarin Apia mengecek sendiri ke counter dan untungnya ponsel Apia sudah selesai diperbaiki. Apia langsung membayar biaya perbaikannya dan membawa pulang ponselnya.
Terkesan jahat saat Apia menghindari orang yang telah berbuat baik padanya, ikhlas membantunya, tapi..Apia belum siap jika ditanya-tanya Dokter Rain tentang alasan kemarahan serta tangisannya lima hari yang lalu.
“Kenapa bengong? Lagi mikirin apa?” tanya Dina menyentak Apia dari lamunan panjangnya. Wanita itu mengambil duduk di samping Apia.
Jam telah menunjukkan pukul tiga kurang lima belas menit. Pekerjaan Apia telah selesai semua. Saatnya Apia bersiap untuk pulang, tapi Apia malah duduk dan sibuk melamun di depan deretan loker.
Sebenarnya akhir-akhir ini banyak yang Apia pikirkan selain sang dokter. Tapi sayang, Apia belum memiliki tempat berbagi.
Dina? Apia tidak seyakin itu benar-benar membagikan semua hal tentangnya pada sang tetangga kos.
Bukan karena Apia meragukan Dina yang selama ini dikenalnya sangat baik dan amanah. Tapi ini tentang diri Apia sendiri yang memang belum seterbuka itu pada orang lain.
Terlebih perihal dirinya yang tengah berbadan dua.
Mengulas senyum tipisnya, Apia menoleh dan menjawab, “Enggak lagi mikirin apa-apa kok, Mbak.”
Bohong.
Nyatanya setiap hari Apia selalu ada saja yang dipikirkan. Bagaimana nanti nasib hidupnya kedepannya bersama calon anak yang saat ini tengah dikandungnya? Apia belum memiliki persiapan apapun.
Mungkinkah suatu saat nanti Apia pergi jauh tanpa persiapan?
Bisa jadi hanya berbekal keyakinan diri dan semangat untuk tetap hidup demi calon anaknya.
Semoga tidak ada yang menggoyahkan keputusan Apia untuk mempertahankan calon anaknya ini. Karena jika itu sampai terjadi, Apia akan melakukan dosa lagi, membunuh nyawa tak bersalah bahkan darah dagingnya sendiri. Oh Tuhan.. Apia menggeleng keras dan berusaha teguh pada keputusannya.
“Gimana? Masih sering jalan sama Pak Dokter?” tanya Dina tanpa basa-basi yang lebih panjang lagi.
Tentu saja Apia tahu siapa ‘Pak Dokter’ yang Dina maksud. Itu membuat Apia merasa tak enak hati. “Mbak Dina, maaf..”
“Kenapa minta maaf? Kamu enggak buat salah apa-apa, Apia.”
Dina tertawa kecil. Pasalnya, ia sungguh sedang bertanya. Bukan sedang menyindir apalagi menghardik. Toh, itu hidup Apia. Apia bebas melakukan apapun di hidupnya.
Apia menunduk dan membuat pengakuan. “Saya salah, Mbak. Salah banget karena mengabaikan saran Mbak. Padahal waktu itu saya sudah mengiyakannya. Kalau Mbak marah atau kecewa sama saya, wajar kok.”
Dina menggeleng meski awalnya memang sedikit kesal dan kecewa pada Apia. Tapi Dina mencoba memahami jiwa gadis muda ini. Dulu kan ia juga pernah muda.
“Namanya juga lagi kasmaran. Jadi apapun yang dikatakan orang tidak akan mempan, tidak akan bisa menghentikan.”
Sepasang mata Apia melotot sempurna. “Apa!? K—kasmaran?” Tidak terima dikatakan sedang kasmaran.
Namun Dina kian gencar menggoda. “Iya, kamu lagi kasmaran kan? Hayo ngaku..”
“E—enggak! Enggak kok, Mbak. Mbak Dina apa sih?” bantah Apia seraya menggeleng keras berulang kali. Apia mencoba meyakinkan lawan bicaranya. Walau sia-sia karena senyum Dina benar-benar menyebalkan. Sarat menggoda.
Sampai kemudian Dina berujar serius, “Tapi kalau bisa jangan terlalu, nanti sakit hati.” Lagi-lagi ibu satu anak itu menasehati Apia.
“Iya, Mbak. Saya cukup tahu diri, kok. Saya enggak pantes buat Pak Dokter,” balas Apia.
Tanpa dinasehati pun kalau perkara hati, Apia sudah sangat mengerti. Lebih tepatnya cukup berpengalaman. Kisah cintanya dengan Hanafi berakhir sad ending. Hanafi pergi tapi menitipkan kenangan luar biasa di hidup Apia.
“No, Apia. Cinta tak mengenal profesi dan kasta. Cinta itu sebuah rasa. Yang berkaitan dengan hati, yang dimana di sana tidak mengenal profesi, kasta, dan sebagainya. Lagipula semua sama di mata Tuhan. Tidak ada yang lebih tinggi. Yang membedakan amal ibadahnya selama di dunia.”
Sungguh, Dina tidak bermaksud mengecilkan hati apalagi diri Apia. Di mata Dina, Apia itu gadis yang baik dan sempurna! Maka dari itu Dina ingin Apia percaya diri.
Memberi jeda pada ucapannya barusan, Dina menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan kembali, “Cinta sama orang itu enggak dosa, Apia. Apalagi kalau orangnya masih sendiri. Pak Dokter kan belum beristri atau memiliki kekasih, dia bujang, jadi tidak salah jika kamu menjalin kedekatan dengannya. Sah-sah saja, kok. Hanya saja..kamu harus ingat bahwa hati merupakan tempat rasa sakit dan kecewa sebab kegagalan cinta. Jadi persiapkan dirimu apabila kedua rasa itu singgah nantinya.”
***