Semua yang dikatakan Dina benar adanya. Dina memang hidup lebih lama daripada Apia, perkara cinta dan sebagainya tentu lebih berpengalaman. Apia senang selalu diingatkan seperti ini. Itu artinya masih ada orang yang benar-benar peduli padanya, terlebih pada hatinya.
“Saya ngerti kok, Mbak. Makasih udah selalu peduli sama saya.”
Dina mengulas senyum tulus. “Kamu sudah seperti adik saya sendiri, Apia.” Tangan kanannya bergerak merangkul Apia seraya menepuk pelan lengannya.
Teringat akan sesuatu sebelum masuk ke dalam ruangan ini tadi, Dina lantas berbisik, “Tuh, di depan ada yang nungguin kamu.”
“Nungguin saya? S—siapa, Mbak?” tanya Apia merasa heran karena tidak membuat janji dengan siapapun. Sedangkan yang ditanya hanya mengangkat bahu. “Lihat sendiri, deh.”
Penasaran, Apia buru-buru mengemasi barangnya dan pamit pada Dina.
Setibanya di luar, betapa terkejutnya Apia saat mendapati sosok pria berjas dokter sedang berdiri membelakanginya, di posisi miring dan menyandarkan tubuhnya di dinding.
Seolah sudah menunggu lama sampai kakinya kesemutan berdiri sebab di lorong ini tidak ada kursi.
Pemandangan itu membuat Apia tersenyum miris.
Dengan gugup Apia memanggil pelan pria itu, “D—dokter Rain..”
Yang dipanggil langsung berdiri tegak dan berbalik badan. Saat itu juga Apia langsung mendapat tatapan dingin dari sang dokter. “Masih ingat sama saya?”
“M—masihlah, Dok.” Begitu jawab singkat Apia yang sebenarnya peka bahwa Dokter Rain sedang menyindirnya.
Sudah pasti ini karena Apia menghindari Dokter Rain selama berhari-hari lamanya.
Apia pikir, Dokter Rain akan melupakannya. Tapi ternyata..menghampirinya seperti ini. Hal itu membuat Apia tak enak hati sekaligus khawatir bila terlihat oleh rekan kerjanya sedang berduaan dan tampak dekat dengan Dokter Rain, bukan tak mungkin setelahnya akan tersebar gosip yang tidak-tidak.
Di lain sisi Apia juga tidak berani mengusir sang dokter? Ini kan rumah sakit milik kedua orang tuanya yang kelak akan diwariskan padanya.
Hahh..serba salah.
Kian menjadi tatkala sang dokter menyerang Apia dengan banyak pertanyaan yang Apia sendiri bingung harus menjawabnya darimana saking banyaknya. “Saya salah apa ke kamu? Kenapa kamu menghindar dari saya? Pasti soal malam itu, ya? Bukannya saya sudah minta maaf ke kamu? Jadi saya belum dimaafkan? Kamu masih marah? Saya harus bagaimana lagi, Apia?”
Tanpa keduanya sadari ada yang mencuri dengar dan seketika syok saat Dokter Rain mengungkit kejadian di suatu malam. Ia yang tak tahu apa-apa jelas berpikiran buruk.
Bayangkan saja. Seorang pria dewasa dan wanita dewasa, bersama, di suatu malam, pasti tidak jauh dari kegiatan yang membakar gairah cinta!
Setelah mendengar sepotong percakapan antara Dokter Rain dan Apia, sosok itu membatin, ‘Siapa yang menyangka bila perempuan yang tampak polos dan baik sepertimu ternyata mempunyai sisi lain seperti ini. muràhan.’ Lalu pergi membawa kesalahpahaman yang mengubah pandangannya tentang Apia.
“Dok, satu-satu,” protes Apia yang tiba-tiba pusing karena diseráng bertubi-tubi dan dari berbagai sisi.
Namun tanggapan Dokter Rain justru membuat Apia kian diselimuti rasa bersalah. “Mumpung bisa ketemu kamu. Jadi sekalian saja saya tanyakan semuanya. Belum tentu besok-besok saya bisa ketemu kamu lagi. Kamu kan hobi bersembunyi dari saya. Padahal kita tidak sedang bermain petak umpet.”
‘Pakai bawa-bawa permainan tradisional petak umpet. Hadehh..Dokter Rain bisa aja.’
“Maafin saya, Dok. Saya enggak marah kok ke Dokter.” Hanya itu yang bisa Apia katakan dan tentu saja itu tidak menjawab semua pertanyaan yang telah Dokter Rain lontarkan. Sehingga Dokter Rain mengulang inti pertanyaannya, “Lalu? Maksud kamu menghindari saya itu apa?”
“Ya..pokoknya saya belum siap ketemu Dokter lagi sejak saya marah sampai nangis malam itu.”
Apia memutuskan untuk jujur saja daripada perkaranya semakin panjang.
Firasat Apia mengatakan bahwa kejujurannya ini justru akan membuat Dokter Rain mengerti dan tahu batasannya. Meskipun berteman, Apia memang belum bisa seterbuka itu dengan Dokter Rain. Jadi wajar bila Apia menyimpan rahasia darinya.
“Jadi kamu khawatir bila saya mempertanyakan atau mencari tahu alasanmu marah sampai menangis malam itu, hm?”
“…….” Tak mengatakan sepatah katapun, anggukan kepala Apia cukup menjawab pertanyaan Dokter Rain barusan.
“Saya menghargai privacymu, Apia. Tenang saja. Kamu bisa bercerita bila memang ingin bercerita. Kamu bisa menyimpannya bila memang itu rahasia. Saya mengerti bahwa tidak semua hal dapat kamu ceritakan pada saya meski kita berteman baik. Memangnya saya tampak seperti pria pemaksa, ya?”
Kali ini Apia dengan cepat langsung menggeleng. “Dokter tidak seperti itu. Tapi pernah sih maksa saya buat makan.”
“Itu beda konteks, Apia.”
“Oh..”
Dokter Rain merotasi bola matanya. Antara kesal dan gemas pada Apia yang bisa-bisanya menilainya pemaksa dari kejadian itu. Padahal saat itu Apia memang lapar.
Bukannya orang lapar harusnya makan?
Ya Dokter Rain hanya bermaksud mengarahkan Apia saja.
Dimana letak salahnya? Toh, maksudnya baik.
Menepikan kejadian tersebut, Dokter Rain memohon, “Jangan hindari saya lagi, ya.”
Dalam hati Apia ngedumel karena tindakan Dokter Rain membuatnya merasa semakin tak enak hati. ‘Duhh..Dokter Rain ngapain, sih? Kesannya lagi mohon-mohon. Padahal aku enggak sepenting itu, enggak perlulah dia sampai kayak gini.’
Di pandangan Dokter Rain saat ini, Apia tampak sedang melamun. Hal itu membuat Dokter Rain semakin bersemangat membujuk Apia agar mengabulkan permohonannya. “Apia.. Kamu bilang, kamu enggak marah sama saya. Tapi—"
“Iya-iya, saya enggak hindari Dokter lagi!” sela Apia yang telah membuat keputusan.
Sebuah keputusan yang sekaligus mengabulkan permohonan sang dokter, yang lantas membuatnya bahagia karena hal itu. “Nah begitu, dong! Jadi mau makan dimana kita habis ini? Oh, atau..mau coba es krim di kedai dekat sini. Ada kedai es krim enak. Banyak varian rasa dan topingnya. Kamu pasti suka!”
Eh.
“Hah? Makan? Nge-es?” Apia ternganga mendapati Dokter Rain sangat excited mengajaknya melakukan hal bersama.
“Iya, saya lapar. Tapi juga pengen nge-es. Bersamamu tentunya. Ayo!”
Oh astaga!
Apa kabar hati Apia?
Semoga tidak terbawa perasaan sebab perlakuan manis pria yang berprofesi sebagai dokter ini.
Ingat, yang berperilaku manis kerap menyakiti.
Gula saja berisiko tinggi menyebabkan diabetes!
‘Hadehh..punya temen dokter begini amat, ya? Enggak masalah deh, nge-es. Nanti kalau pilek dia yang tanggung! Tapi kalau baper terus sakit hati, masih ditanggung enggak, ya? BPJS kan jelas enggak nanggung.’
***