Humeera memperhatikan pantulan bayangan dirinya dicermin rias. Rambutnya yang semula tergerai telah tersanggul rapi dengan hiasan giok juga emas. Wajahnya pun telah di poles sedemikian rupa dengan bedak dan perona pipi. Begitu pula terhadap pusat daya tarik yang telah merah karena gincu yang digoreskan pada bibirnya. Dia tahu bila dirinya cantik. Oleh sebab itulah Kaisar tertarik dan menjadikannya sebagai satu-satunya selir. Dan hanya sampai sebatas itu saja. Sebab dahulu ada satu orang yang membuatnya tak bisa memanjat lebih tinggi. Birdella. Wanita dari kalangan bangsawan berdarah biru yang isi kepalanya telah dijejal dengan pemerintahan tersebut mengharuskan dirinya untuk mengalah dan bertahan di posisi selir selama satu dekade lebih. Seusia putrinya. Dan dirinya merasa bisa meraup apa yang seharusnya dia dapatkan sekarang setelah penantian yang cukup lama tersebut. Duduk berdampingan dengan kaisar. Tanpa perlu khawatir akan adanya sosok lain yang mengganggu.
Senyum terulas di wajahnya yang cantik, dengan segala kepuasan yang telah diraihnya. Satu langkah gemulai, Humeera berjalan menuju meja tehnya. Dayang setianya telah menuangkan untuknya. Aroma melati menguar dari tumbukan teh yang telah dibuatkan khusus untuk dirinya. Hanya perlu menggunakan gerak tangan yang gemulai sebagai sebuah gesture untuk mengusir para pelayan yang melayaninya. Hatinya saat ini tidak dapat dibendung oleh apapun. Kebahagiaan. Telah lama dirinya bertarung antara hidup dan mati di istana demi menjangkau apa yang diimpikannya. Dan tentu saja hasil ini adalah sebuah nilai yang berharga. Batu penghalang telah jauh tersingkir dan tidak akan bisa menjadi penghambat langkahnya lagi. Apa yang lebih bagus dari itu? status sosial putrinya akan menjadi satu-satunya putri Yang Mulia dan dirinya tidak perlu lagi khawatir mengenai masa depan putrinya. Sebab apabila Birdella masih hidup, kemungkinan bagi Elvina untuk hidup dalam kemewahan dan kekusaan tidak akan terlalu kuat. Karena ada Grizelle yang merupakan putri dari keturunan sah yang akan menjadi batu sandungan bagi sang putri. Karena itulah ketika kabar kematian Putri Grizelle sampai ketelinganya melalui kasim istana. Humeeraa sampai pada titik meluapnya kebahagiaan. Namun tentu saja kebahagiaan ini tidak boleh terlihat kepermukaan. Bahagia ini hanya akan menjadi sebuah rahasia. Tidak boleh ada yang tahu. Oleh sebab itu, Humeera akan mulai menjaga sikapnya untuk lebih semestinya. Humeera meniup cawan tehnya pelan sebelum pada akhirnya menyesap isinya dengan satu gerakan anggun.
Hanya waktu yang berselang tidak terlalu lama dari butiran pasir yang berjatuhan isinya, langkah kaki mendekat untuk memasuki ruangan sang selir. Dayang tua datang kehadapannya dengan wajah yang carut marut. Setengah berseri setengahnya lagi resah. Membuat Humeera nampak penasaran terhadap sebuah kabar yang akan diberikan sang dayang terhadapnya. Dia menutup pintu ganda yang menjadi pembatas antara ruangan dengan Lorong dibelakangnya sebelum pada akhirnya membungkuk untuk memberi sebuah salam penghormatan terhadap dirinya. “Selir Humeera saya membawa kabar yang saya rasa anda perlu untuk mendengarnya.”
Humeera meletakan cawan tehnya dengan satu gerakan mantap. Gerakan yang elegan seolah tidak terganggu sama sekali meski hatinya berkata berkebalikan. Dia kemudian menggunakan kain sulaman yang dia buat untuk mengelap beberapa bagian bibirnya dengan begitu anggun sebelum menatap si dayang tua dan mendengar sesuatu yang menarik dari dirinya. “Berita apa yang anda bawa untuk saya Kepala Dayang?”
“Izinkan saya terlebih dahulu untuk mendekat kearah anda.” Satu anggukan sebagai persetujuan, si dayang tua lantas berjalan ke samping sang selir. Membisikan sebuah berita yang dia bawa.
Ekspresi Humeera kali ini tidak terlalu bagus. Kedua tangannya mengepal. Terlihat betul apabila wanita itu berusaha mengendalikan emosinya. Sepertinya kabar yang dia dengar tidak terlalu bagus. “Yang Mulia sendiri kah yang memerintahkan hal tersebut?” tanya Humeera suaranya memang stabil namun tetap saja ada kemarahan yang tak bisa hilang begitu saja. Dia menoleh kearah sang dayang yang telah dia percayai dengan pandangan mata yang tidak bisa diterka.
“Ya, spontan. Beliau terlihat sangat murka atas kabar ini. Dari yang saya dengar beliau berteriak lantang untuk membawa Putri Grizelle hidup-hidup kehadapannya.” Jelas sang dayang lagi menambahkan informasi yang telah dia sampaikan pada Humeera. “Namun sisi baiknya, hamba rasa akan sangat sulit untuk menemukan putri dalam keadaan arus sungai yang deras. Luapannya terlalu tinggi, akan sangat mustahil bagi putri yang masih kecil untuk dapat selamat dari insiden itu.”
“Kalau begitu utus beberapa orang untuk menyisir pula. Kerahkan semuanya aku tidak peduli. Jika disinyalir Grizelle masih hidup maka bunuhlah dia. Jangan sampai hal ini bocor. Kau paham maksudku?”
“Ah.. baik Nyonya saya akan berupaya sebaik mungkin memenuhi perintah anda.”
Kabar ini bukanlah hal yang dia ingin dengar. Humeera tahu posisinya saat ini bisa diancam kapan saja. Terlebih meski Putra Mahkota tidak terlalu tertarik untuk duduk di atas tahta dan lebih memilih keluar istana semaunya. Tidak menutup kemungkinan segalanya akan bisa jadi berantakan. Jika Putri Grizelle terbunuh oleh beberapa orang yang telah dia siapkan dalam rombongan itu akan jadi sesuatu yang lebih baik. Karena darah dan jasadnya bisa dilihat. Tapi apabila jatuh kesungai tentu saja masih ada harapan baginya untuk hidup. Humeera jelas tidak suka sesuatu yang belum pasti seperti sekarang.
“Kecilkan suaramu.” Setidaknya disaat seperti ini Humeera perlu menjaga harkat dan martabatnya untuk tidak terlalu terbawa emosi. Namun disaat belum ada kepastian seperti ini akan lebih baik kalau dirinya mengambil langkah terlebih dahulu.
“Maafkan atas kelancangan saya Nyonya.” Sang dayang kembali membungkuk dalam.
“Kau tahu dimana Yang Mulia berada?”
“Menurut beberapa sumber, beliau masih menetap dan mengurung diri di Paviliun Daisy. Apa anda mau pergi kesana, Nyonya Selir Humeera?”
“Tentu saja.” Ujar Humeera. Lantas dia berdiri dari posisinya untuk melakukan apa yang bisa dia lakukan saat ini. “Aku seorang Selir di kerajaan ini. Mengingat posisi Permaisuri yang kosong. Aku harus bertindak dengan bijak untuk mempersiapkan upcara kematian bagi Putri Grizelle yang malang. Bagaimanapun dia memiliki status sebagai seorang putri sah dari kerajaan ini. Bukankah begitu?” dan kata-kata itu hanya sebatas dijawab oleh anggukan kecil sang dayang tua. Sebelum membukakan pintu ganda. Memberikan akses pada sang selir untuk melangkah keluar dari ruangannya.
***
Selepas kesadaran Chiyo telah kembali, dayang setiaku tersebut malah bersikukuh untuk melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Dia berkali-kali memohon ampunan dariku sebab karena dirinya lah perjalanan kami harus terhenti sesaat. Hal yang sama juga dikatakan oleh Hayden. Pria itu seolah mendukung permintaan sang dayang untuk kembali melanjutkan perjalanan kami. Apa yang ada dalam pikiran mereka berdua kurasa hanyalah mengenai keselamatan diriku. Sebab aku yakin bila laporan mengenai aku yang telah mati pasti telah sampai ketelinga Kaisar saat ini. Tidak menutup kemungkinan bila dirinya akan mulai mengerahkan pasukan untuk mencari keberadaanku yang sudah diduga berupa seonggok jenazah. Dan apabila jenazah tersebut sudah ditemukan, pihak istana akan tahu bila mereka telah dikelabui. Sebab bagaimanapun itu bukanlah aku.
Jika hal ini terungkap, bukan hanya istana saja yang akan memburu diriku. Melainkan musuh pula. Dua pihak akan mengejarku. Hal tersebut sudah mutlak, dan tidak terlalu sulit bagiku untuk mencerna apa yang dikatakan Hayden mengenai hal ini. Karena itulah aku harus berkeputusan.
“Kalau begitu, Chiyo kau tidak perlu ikut bersamaku.” Bukan berarti aku meragukan kesetiaanya. Bukan berarti aku tidak ingin bila dia berada disisiku. Hanya saja, bila kondisinya akan jauh lebih buruk. Dia adalah orang pertama yang akan terkena imbasnya. Dan aku tidak ingin lagi ada orang-orangku yang terluka meski mereka rela menjadi tameng bagiku. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Buat apa aku hidup bila orang yang kusayangi mati satu persatu?
“Apa anda bermaksud untuk membuang saya Tuan Putri?”
“Mulai sekarang aku bukan majikanmu lagi. Pergilah dan temukan kehidupanmu sendiri. Kau sudah tidak berguna untukku. Keikutsertaanmu hanya akan menjadi penghambat perjalanan kita” Kata-kata itu tidak kumaksudkan secara harfiah untuk menyakiti dirinya. Sebab ketika kata itu terucap dari mulutku, aku merasa adanya jarum tak kasar mata yang satu persatu menusuk didadaku. Apalagi ketika melihat ekspresinya yang terluka. Sejak aku kecil dia sudah berada disisiku. Sekarang aku mengusirnya dengan cara ini. Aku tidak boleh egois. Aku harus Tangguh dan tidak melibatkan siapapun dalam hidupku yang sudah hancur ini. Justru akan sangat menyakitkan bila dia ikut bersamaku.
“Saya tidak akan pernah lari dari sisi anda. Selamanya saya akan mengikuti anda. Tak peduli anda suka atau tidak.”
“Arogan sekali pelayan rendahan sepertimu membangkang perintahku!”
“Anda boleh menghukum saya nanti. Pokoknya saya menyatakan untuk mengikuti anda.”
Kenapa dia begitu egois saat aku mencoba mendorongnya pergi? Tidakkah dia paham maksud dari perkataanku? Bukankah bersamaku hanya akan membawanya kedalam sebuah keputusasaan dan jurang kematian lebih cepat? Mengapa dia memilih pilihan yang sulit saat aku memberinya penawaran yang mudah? Kenapa?
“Lihat? Saya benarkan? Anda tidak perlu berpura-pura tegar dihadapan saya. Anda hanyalah seorang anak kecil Tuan Puteri. Bagaimana bisa saya setega itu meninggalkan anda?” sebuah peluk justru kudapatkan dari Chiyo perempuan keras kepala itu malah membuatku kian tak bisa jauh darinya. Membuatku ingin terus bergantung padanya. Bukankah aku hanyalah entitas yang ada untuk menyusahkan dirinya?
“Kenapa kau bisa semudah itu menelanjangi hatiku Dayang Chiyo?” aku berkata disela-sela peluknya yang hangat. Tidak mudah bagiku untuk berkata sekenanya. Dan aku sendiri juga tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki kawan yang sebaya. Hanya kasih sayang dari Dayang Chiyo lah yang membuat hidupku bisa merasakan adanya secuil kebahagiaan meski tak lengkap apalagi sempurna.
“Saya mengenali anda Tuan Putri. Oleh sebab itu saya ingin mendampingi anda sampai akhir.” Basah. Apa aku menangis? Dadaku rasanya begitu sesak saat ini. Ketika aku melihat sekelilingku yang habis satu persatu. Ketika melihat orang-orang mulai pergi dariku. Mengapa orang ini malah memberikan seluruh jiwa dan raganya? Mau menemani masa sulitku ini dengan begitu mudahnya? Apa aku pantas menerima ketulusan sebanyak ini dari dia.
“Jika terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan bertanggung jawab.” Ujarku dengan nada bicara yang sama. Sekali lagi aku tidak mau terlihat lemah. Aku ingin bisa tegar hingga akhir. Dan anehnya dayang ini malah memberikanku sebuah senyumannya yang memukau seolah dia telah kuberi banyak bongkahan emas permata untuk kali pertama seumur hidupnya.
“Saya berjanji tidak akan mengecewakan anda, Tuan putri.”
Sebelum matahari terbit, Hayden memberi kami sebuah tanda apabila kami harus segera bergerak. Aku kembali duduk dikuda yang sama dengan Hayden sementara Chiyo aku posisikan didepan kami sehingga aku dapat mengecek keadaannya. Sampai kemudian suara langkah kaki kuda yang jumlahnya sepertinya lebih dari tiga menghampiri kami. Sebelum mereka mendekat Hayden berupaya memajukan kudanya untuk berlari lebih cepat begitu pula Chiyo. Kejar-kejaran terjadi. Beberapa anak panah mulai ditembakan untuk menghambat kami. Hal yang sangat mudah bagi Hayden untuk terus memacu kuda dengan cepat tanpa terkena anak panah satupun. Namun berbeda soal dengan Chiyo. Dia bukanlah seorang prajurit ditambah lagi karena kesadaran Chiyo dan kondisi tubuhnya belum terlalu stabil dia justru jauh tertinggal dibelakang dan tidak bisa menyusul kami. Apa dia terluka?
“Hayden kembalilah kau memacu kudamu terlalu cepat!” aku berkata nyaring. Hilang sudah harkat dan martabatku sebagai seorang putri yang berkepala dingin. Kondisi ini membuatku tak bisa berpikir jernih. Keresahan yang timbul terlalu banyak dan tidak bisa kutahan.
“Kita saat ini sedang berada dalam pengejaran Tuan putri, saya tidak bisa begitu saja kembali ketempat tadi.”
“Dibelakang sana ada Chiyo. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.” Aku menyentak Hayden. Bergerak memberontak sebagai upaya untuk membuatnya menuruti keinginanku.
“Apa yang hendak anda perbuat? Ini berbahaya Tuan putri”
“Kau tidak dengar aku! Kembali kubilang!!”
Belum sempat Hayden memutar balik kudanya aku bisa melihat sosok Chiyo yang berusaha untuk tetap berada dalam kondisi yang stabil diatas kudanya. Sekali lagi aku tahu bila dia sedang memaksakan dirinya. Namun kali ini ada yang berbeda. Sebelah kanan bahunya terdapat panah, darah mengalir deras. Apa itu penyebab dirinya tertinggal? Mataku terbelalak lebar karenanya. Aku sudah menduga sejak awal bila dia ikut bersamaku dia akan terluka. Mengapa semua orang selalu keras kepala? Aku mengepalkan kedua tanganku. Saat ini kuserukan pada Tuhan bila aku tak suka menjadi anak kecil. Tubuhku yang lemah tak bisa membuatku berbuat sesuka hati. Aku ingin cepat dewasa dan keluar dari situasi ini. Hayden bergegas memeriksa keadaan. Rupanya masih ada sedikit keberuntungan kecil karena musuh sepertinya kehilangan jejak kami. Kemurahan hati dari Tuhan supaya aku tetap bernapas. Kali ini Hayden membawa kami pada sebuah tempat yang lumayan agak jauh. Kaki gunung kerajaan Dengwa.
“Sebaiknya kita istirahat disini.” Seruku, dan menunjuk pada sebuah banguna tua yang keadaannya sangat menyedihkan. Sesuai titah dariku, Hayden memajukan kuda miliknya menembus ilalang dan rumput liar yang tinggi. Bangunan yang megah tersebut, tidak terawat dan seiring berjalannya waktu dibiarkan terbengkalai.
“Sudah kukatakan padamu untuk tidak mengikutiku! Lihat apa yang kau dapatkan karena melawan perintahku!” aku berteriak padanya atas ketidakberdayaanku untuk melindungi dia. Sepengecut itulah aku.
“Saya hanya ingin bersama anda hingga akhir.” Jawabnya lemah dan berusaha untuk turun dari kudanya dibantu oleh Hayden. Darah segar merembes dari bajunya. Menodai pakaiannya. Aku tahu itu menyakitkan tapi dia menahan rasa itu sendirian. Hingga Chiyo tak sadarkan diri lagi. Hayden kemudian mengambil alih situasi dan berupaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan Chiyo sesuai dengan titah dariku. Aku tidak bisa menangani darah. Tubuhku bergetar karena melihat luka yang ada ditubuhnya.